"Kau pikir kau saja yang akan membuatku tidak betah menjadi istrimu? Aku pun akan membuatmu tidak betah menjadi suamiku, pria sialan!" Ucapan itu meluncur begitu saja dari bibirnya, sarat dengan dendam yang semakin mengeram dalam hati.
Tak lama kemudian, langkah tegas terdengar dari arah pintu, dan Smith muncul. Setelan jas hitam yang rapi dan wangi menusuk udara, tapi Laura hanya meliriknya sekilas, matanya kosong, tidak ada secuil pun perhatian yang ia berikan. Sarapan itu terus ia buat, seakan tak ada yang bisa mengganggu ketenangannya.
Setelah beberapa saat, sarapan itu selesai. Laura menaruhnya di atas meja, duduk dan mulai menyantapnya dengan tenang. Sementara itu, Smith yang baru saja memasuki ruang makan tampak terkejut melihat kenyataan itu. Matanya membesar, tak percaya, seolah-olah melihat dunia runtuh di hadapannya.
“Mana sarapan untukku, Laura?” tanyanya dengan nada dingin, penuh tuntutan yang seakan tak terbantahkan.
Laura mendongak sedikit, menatapnya dengan tatapan tajam dan dingin. “Kau memiliki kedua tangan dan kaki, bukan? Buat saja sendiri,” jawabnya ketus, suara yang hampir terhenti dalam tenggorokan, namun sangat jelas dan penuh penekanan.
Tangan Smith mengepal, perasaan frustrasinya membuncah begitu mendalam. Ia merasa seolah-olah bisa menghancurkan meja itu dalam sekejap, namun ia menahan diri, meski tubuhnya bergetar menahan amarah.
“Mulai berani kau, huh? Awas saja aku akan membuatmu menyesal karena telah memperlakukanku dengan buruk!” ancamnya, suara berat dan menekan.
Laura hanya mengangkat bahunya, tak terpengaruh. Ia mengangkat gelas air putih dan meneguknya dengan tenang, seakan tak ada yang perlu ia bicarakan lagi.
"Terserah kau saja," ucapnya pelan, sambil beranjak dari tempat duduknya, melangkah pergi dengan sikap yang acuh tak acuh.
Smith terdiam sejenak, darahnya mendidih, wajahnya memerah karena amarah yang tak terungkapkan. Ia merasa seperti terperangkap dalam permainan yang ia tak pernah inginkan. “Rupanya kau memulai perang denganku, Laura,” bisiknya dengan nada datar, namun mata yang tajam seperti pisau.
Ia bangkit dari duduknya, mengancingkan jas hitamnya dengan gerakan tegas, dan menyunggingkan senyum tipis di bibirnya. Sebuah senyum yang tak mengandung kebahagiaan, melainkan ancaman.
“Kita mulai sekarang,” katanya dengan suara yang penuh tantangan, seakan perang ini baru saja dimulai dan tak akan ada yang bisa menghentikannya.
*
Waktu sudah menunjuk angka dua siang. Laura begitu sibuk dengan pekerjaannya di kantor sebagai sekretaris pribadi Smith. Dia tetap mengambil jabatan itu karena gaji yang lumayan, agar bisa segera melunasi utang ibunya yang menumpuk.
“Laura. Tuan Smith memanggilmu. Wajahnya sangat merah. Apa yang sudah kau lakukan?” bisik Diana, suaranya penuh kekhawatiran yang jelas terlihat.
Laura menghela napas berat, hatinya mulai merasakan ketegangan yang mendalam. Tak ada lagi yang bisa disembunyikan, apalagi dari Smith. "Apa lagi kali ini."
Dengan perlahan, ia berdiri dan melangkah menuju ruang kerja pria itu, merasakan setiap detak jantungnya yang semakin cepat, berdebar keras di dada.
Begitu Laura melangkah masuk ke dalam ruangan, Smith langsung melemparkan dokumen dengan penuh kekesalan, dokumen itu melayang dan tepat mendarat di wajahnya.
Papan klip yang menempel di atasnya berbunyi keras, menambah rasa terkejut yang menghantam jantung Laura. Ia menatap Smith, mata pria itu memancar penuh amarah, dan udara di dalam ruangan terasa semakin berat.
“Apa yang kau lakukan, huh? Stok daging di dapur hotel masih banyak. Dan kau menyetujui permintaan pembelian daging lagi dalam jumlah banyak? Untuk apa?” Smith berteriak tepat di depan wajah Laura, suaranya menggema, menghantam telinganya seperti petir yang membelah langit.
Laura terpaku, matanya tak bisa lepas dari dokumen yang tergeletak di meja, yang kini jelas-jelas berisi tanda tangannya. Sejenak ia merasa seluruh tubuhnya kaku, tak tahu harus berkata apa.
"Ta—tapi... ini bukan—"
“Bukan apa?” teriak Smith lagi, semakin mendekat dengan wajah yang memerah penuh amarah. “Kau mau mengelak jika ini bukan kesalahanmu? Jelas-jelas di sini tertanda tangan tanganmu, Laura!” kata Smith, setiap suku kata keluar dengan tekanan yang hampir membuat Laura tercekik.
Rasa panik mulai memenuhi dada Laura. Ia memejamkan mata sejenak, mencoba mengumpulkan kekuatan, dan kemudian menatap Smith dengan tegas. Namun, ia bisa merasakan ketakutan itu menggerogoti dirinya sedikit demi sedikit.
“Aku bersumpah tidak pernah menyetujui permintaan dengan jumlah banyak seperti ini. Ini pasti keliru. Mana mungkin aku menyetujuinya sementara aku belum melaporkannya pada Anda, Tuan Smith!” Suaranya penuh dengan penegasan, meski batinnya bergolak, tidak ingin menerima tuduhan tanpa bukti yang jelas.
“Bullshit!” Smith mendesis, suaranya kasar dan menggema di dalam ruangan. Ia menatap Laura dengan tatapan tajam, seakan mencari celah untuk meruntuhkan segala pembelaan yang ingin ia lontarkan.
“Ganti semua kerugian yang sudah dikeluarkan bagian keuangan atas kelalaianmu ini, Laura."
Diana tidak akan memungkiri perasaannya kepada Louis meskipun dia belum bisa mengatakan bahwa itu adalah perasaan cinta.Namun, rasa nyaman dan lepas yang dirasakannya bagi Diana sudah cukup membuatnya yakin kalau Louis adalah orangnya. Tapi lagi-lagi bayangan ketika dirinya menangis tersedu-sedu setelah mengetahui bahwa lelaki yang dia cintai, lelaki yang juga sering mengatakan cinta padanya malah berkhianat terlintas di pikiran.Diana sangat benci perasaan itu tapi dia juga sulit sekali menghilangkannya karena sudah membentuk trauma. Dan itu semua adalah tugas Louis, Louis harus menyembuhkan Diana dan membuat gadis itu dapat berdamai dengan traumanya."Diana, kamu tahu aku, kita sudah lama kenal. Ke mana pun aku pergi kamu selalu ikut. Kamu juga tahu perempuan mana saja yang ingin dekat denganku tapi aku menolak mereka, kan? "Kamu harus tahu, Di, penolakan demi penolakan yang kulakukan semata karena aku ingin kamu bisa lihat kalau selama kita bersama, aku bukan lelaki yang mudah t
Diana memejamkan matanya mendengar ucapan Louis yang sungguh di luar dugaan. Gadis itu membeku di tempatnya sekarang tanpa bereaksi apa-apa.Sementara itu, Smith langsung menghampiri Louis dan mempertanyakan keseriusan sang adik atas ucapannya barusan. "Aku serius, Smith. Aku mencintai Diana bahkan sebelum dia jadi asisten pribadiku, aku sudah memiliki rasa suka padanya meskipun, ya ... cinta itu baru benar-benar tumbuh setelah kami sering bersama," ungkap Louis lagi.Diana dapat mendengarnya dengan jelas, tapi dia tidak percaya. Apa yang Louis lakukan terhadapnya selama masa kerja sungguh berbanding terbalik dengan apa yang Louis ungkapkan barusan."Diana, maafkan aku," ucap Louis.Diana tak menjawab dan malah geleng-geleng kepala. Setelah itu, Diana pergi karena merasa sudah tak sanggup lagi berada di situasi itu."Om, Laura, Smith, aku pulang dulu, ya," pamitnya.Vincent ingin menahan tapi dia paham akan perasaan Diana yang sudah pasti merasa bingung atas sikap Louis yang sangat m
Diana baru selesai menyiapkan jadwal Louis untuk besok ketika dia hendak pulang. Waktu menunjukkan pukul 7 malam dan rasanya badan Diana sangat remuk saking sibuknya hari ini."Ini sudah terlalu malam, kamu pulang ke rumahku saja supaya besok bisa langsung berangkat denganku. Kamu, kan, suka lelet," ujar Louis.Mendengar ejekan Louis padanya, Diana langsung menyipitkan matanya. "Apa maksud kamu bilang begitu? Aku lelet? Hey, sudah hampir satu bulan aku bekerja denganmu dan setiap hari aku pulang jam 6 atau jam 7 malam. "Setiap hari juga, aku sampai jam 8 malam dan baru bisa istirahat setelah jam 10 malam karena kamu selalu menyuruhku banyak hal. Aku capek dan kamu malah bilang aku suka lelet?" Diana memelototi Louis saking kesal."Lah, memang kenyataannya kamu lelet, kamu sering terlambat setengah jam bahkan sampai satu jam. Itu dinamakan lelet, kan?" balas Louis."Iya, tapi seharusnya kamu memahami alasanku sampai lelet begitu, aku kurang istirahat dan seharusnya kamu juga jangan me
Tiga hari kemudian, Laura pulang ke rumah dan disambut dengan suka cita oleh para asisten rumah tangga serta kerabat dekat yang masih berada di sana. Rencananya, mereka akan pulang hari ini karena Laura sudah sehat dan pulang.Suasana rumah Smith sangat ramai di sana mereka melakukan syukuran kecil-kecilan dengan makan bersama di taman belakang yang sudah dihias sedemikian rupa oleh para pekerja.Smith menggendong Daniel sementara Laura menggendong Davide, mereka mengumumkan nama bayi mereka secara resmi bahkan Diana juga ada di sana."Diana, kesibukan kamu sekarang apa?" tanya Vincent pada gadis yang sudah Laura anggap seperti saudaranya sendiri."Aku baru resign dari pekerjaanku sebelumnya, Om. Aku mau cari kerjaan lagi tapi belum sempat persiapan, mungkin bulan depan aku mulai cari lagi," jawab Diana.Vincent mengusap dagunya, menatap Diana lekat lalu beralih menatap Louis yang dia lihat tak hentinya curi-curi pandang pada Diana.Terlintas ide dalam pikiran Vincent, bagaimana kalau
"Smith ... aku berhasil pulang."Suara itu terdengar sangat lirih di telinga Smith, bahkan hampir tak terdengar. Namun, lelaki itu yakin kalau Laura memang berbicara dan itu membuatnya merasa amat sangat lega.Vincent yang sejak tadi menunggu dengan harap cemas juga langsung mengucap syukur, dia menatap Laura yang masih dalam keadaan setengah sadar karena masih berada dalam efek anestesi."Manantuku, menantu kesayanganku ...." isak Vincent."Ayah, aku bertemu sahabatmu," ucap Laura. "Kami hampir pergi bersama.""Oh, Laura, jangan sampai hal itu terjadi. Anak-anakmu membutuhkanmu," sahut Vincent yang paham bahwa sahabat yang dimaksud Laura sudah pasti Ferdy, ayahnya."Ya, dia bilang takdirku yang sesungguhnya memang di sini," kata Laura pelan."Kamu gak nanya sama aku, Sayang? Aku sejak tadi di sini menunggu kamu sadar tapi saat bangun kamu malah ngobrol sama Ayah," ucap Smith membuat Laura tersenyum."Aku selalu bersamamu bahkan ketika kamu meminta do'a pada anak-anak kita," jawab Lau
Operasi telah selesai dilaksanakan tapi kondisi Laura ternyata malah menurun, tekanan darah yang tinggi membuat detak jantungnya justru semakin melemah.Laura dibawa keluar dari ruang operasi menuju ruang pemulihan dengan berbagai alat yang terpasang di tubunya. Smith sama sekali belum melihat anak kembarnya kecuali hanya di ruang operasi tadi. Dia memilih mendampingi Laura dan meminta perawat menjaganya dengan baik di ruang yang terpisah dari ruang bayi lain."Smith, mana Laura dan cucu-cucu ayah?" tanya Vincent.Lelaki itu datang tergopoh-gopoh setelah mendengar kabar bahwa Laura melahirkan cucunya. Vincent bahkan sampai meninggalkan pekerjaan dan rapatnya dengan klien-klien penting."Cucu-cucu Ayah ada di ruang perawatan khusus, sedangkan Laura masih di ruang pemulihan. Dia belum sadarkan diri dan kondisinya menurun," jawab Smith seraya menutup wajahnya dengan kedua tangan.Vincent tercengang mendengar kabar tersebut sebab saat berangkat tadi dia masih berbincang dengan menantunya.