"Suka tidak suka, kau telah menjadi milikku mulai detik ini!" ** Laura tak pernah membayangkan malam kelam itu akan mengubah hidupnya selamanya. Kesuciannya direnggut paksa oleh Smith Leonardo, pria tampan sekaligus pewaris kekayaan keluarga Leonardo. Dengan hati hancur, Laura melaporkan kejadian itu pada Vincent, sang atasan dan ayah Smith. Namun, harapan Laura akan keadilan pupus ketika Vincent justru memaksa Smith menikahinya sebagai bentuk tanggung jawab. Terperangkap dalam pernikahan tanpa cinta, Laura harus menghadapi pria yang telah menghancurkan hidupnya. Saat kebencian tumbuh di antara mereka, rahasia demi rahasia keluarga Leonardo mulai terungkap. Akankah Laura menemukan kekuatan untuk melawan takdir yang memenjarakannya? Atau justru kebencian itu perlahan berubah menjadi sesuatu yang tak pernah ia duga?
View More“Tolong hentikan! Aku bukan wanita panggilan!” teriak Laura, suaranya pecah di antara ketakutan dan ketegasan yang tak mungkin ia sembunyikan.
Mata cokelatnya penuh kesedihan, memandang pria yang sudah kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Dengan ketenangan yang sudah retak, Laura Angelina mengeratkan jemari kecilnya di ujung lengan bajunya, tubuhnya gemetar di bawah pandangan dingin dan liar pria itu. “Berhenti bertingkah layaknya wanita suci! Aku sudah membayarmu, maka kau harus melayaniku malam ini,” geramnya, nadanya penuh amarah bercampur mabuk. Ia meraih tangan Laura dengan tangan kasar, seakan menganggapnya tak lebih dari benda yang bisa ia miliki. Dengan sekuat tenaga, Laura meronta, mendorong bahu pria itu seolah nyawanya tergantung pada kekuatannya sendiri. “Aku mohon, jangan lakukan ini. Sudah kukatakan berulang kali padamu. Kau sedang mabuk, Tuan!” pekiknya. Tangannya yang mungil memukul-mukul dada pria itu, namun itu tak lebih dari gigitan nyamuk baginya. “Aku tidak peduli!” jawabnya, suaranya berubah menjadi gemuruh, penuh nafsu tak terkendali. Ia meraih wajah Laura, menyatukan bibirnya dengan bibir gadis itu dalam ciuman paksa yang membara, menghancurkan segala pertahanan Laura dalam sekejap. “Kau! Pria tidak punya hati,” ucapnya dengan suara serak yang dipenuhi getir. “Kau sudah merenggut kesucianku!” Pria itu menoleh ke arahnya, alisnya terangkat seakan Laura baru saja menuduhnya sesuatu yang konyol. “Ya. Aku memang sudah merenggut kesucianmu,” katanya tanpa penyesalan sedikit pun. “Tapi, kau juga menikmati sentuhanku, bukan?” Nada suaranya ringan, penuh sindiran tajam yang membuat dada Laura semakin sesak. Pernyataan itu membakar hati Laura. Tangannya mengepal, dan kemarahannya membuncah meski tubuhnya masih sakit dan terasa lemah. "Jaga bicaramu, bedebah gila!" Laura mendesis tajam, matanya yang berkaca-kaca menantang pria itu. “Aku akan melaporkanmu pada atasanku karena kau telah menodai pegawai di hotel ini!” Pria itu hanya terkekeh, tatapan matanya menunjukkan ketidakpedulian yang menambah luka di hati Laura. “Silakan laporkan, gadis manis. Aku tidak takut sama sekali,” ucapnya, suaranya sarat akan tantangan dan penghinaan yang membakar telinga Laura. Laura menggertakkan giginya, tak ingin lagi melihat wajah pria itu. Setelah mengenakan pakaiannya, meskipun harus menahan sakit yang menyayat tubuhnya, ia berjalan keluar dari kamar itu dengan langkah tertatih. Pintu kamar itu ia tutup dengan keras, seolah itu adalah caranya mengekspresikan kemarahan yang bergemuruh dalam dadanya. Dengan napas dalam, ia melangkah ke arah ruangan Tuan Vincent, langkahnya semakin mantap meski hatinya terus berdegup keras. Di depan pintu, ia mengetuk pelan, berharap ada jawaban cepat dari dalam. “Masuk!” Suara berat namun ramah Vincent terdengar dari balik pintu. Laura menelan ludah, melangkah masuk dengan kepala sedikit tertunduk. “Permisi, Tuan. Saya Laura. Ada yang ingin saya bicarakan dengan Anda,” ujarnya dengan sopan, suaranya terdengar sedikit gemetar. “Ah, ya. Aku pun ingin bicara denganmu.” Vincent menatap Laura dengan tatapan lekatnya. “Begini, Laura. Aku telah memperhatikan kinerjamu sebagai resepsionis di hotel ini. Dan karena kerja kerasmu, aku ingin menawari posisi baru untukmu,” kata Vincent memberitahu. Laura mengerjap-ngerjapkan matanya, tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. “M—maksud Tuan?” tanyanya dengan terbata-bata. Vincent tertawa kecil, tampak menikmati keterkejutan Laura. “Aku ingin menjadikanmu sebagai sekretaris pribadi anakku. Dia baru saja menyelesaikan pendidikannya di luar negeri dan kembali kemarin malam. Aku merasa kau adalah kandidat yang cocok untuk mendampingi anakku,” jelasnya dengan penuh keyakinan. Laura tercengang, tawaran itu melampaui dugaannya. “A—apakah Tuan tidak bercanda?” tanyanya dengan suara terbata-bata. Vincent tersenyum semakin lebar, menatap Laura dengan tatapan penuh kepercayaan. “Tidak, Laura, ini bukan candaan. Aku percaya pada kemampuanmu. Jadi, kau bersedia?” Laura hampir tanpa sadar menganggukkan kepalanya dengan cepat, senyum haru mengembang di bibirnya. “Bersedia, Tuan! Saya sangat bersedia!” ucapnya penuh antusias, suaranya menggema dengan kebahagiaan yang nyaris melupakan rasa sakit yang ia rasakan semalam. “Syukurlah kalau begitu,” Vincent menepuk meja kecil di depannya, tampak lega mendengar jawaban Laura. “Aku sangat lega karena kau bersedia menjadi sekretaris anakku. Aku yakin dia akan senang bekerja sama denganmu, dan aku tak perlu pusing mencari kandidat lain yang cocok.” Laura mengulas senyumnya yang penuh rasa syukur, hatinya terasa lapang dan lebih ringan. Di sela-sela kebahagiaan yang perlahan memenuhi dirinya, ia merasakan semangat yang seolah baru untuk melanjutkan hari-harinya. “Kalau begitu,” ujar Vincent, tersenyum lembut, “ceritakan apa yang ingin kau bagi denganku, Laura.” Seketika, wajah Laura berubah kelabu, senyumnya pudar, dan matanya kembali menunjukkan rasa sakit yang ia coba redam. Ia menundukkan kepala, menatap jemarinya yang kini ia mainkan gelisah di pangkuannya, seakan mencari kekuatan di dalam dirinya untuk mengungkapkan kebenaran pahit yang ingin ia sampaikan. “Semalam…” Laura menarik napas panjang, suaranya sedikit bergetar. “Ada salah satu pengunjung hotel yang menyeret saya ke dalam kamarnya. Dia mengira saya adalah wanita panggilan… lalu memperkosa saya.” Vincent membeku di kursinya, wajahnya tiba-tiba memucat seakan baru saja diterpa angin badai yang menderu. “Apa?” Suaranya terdengar kasar, penuh dengan amarah yang berusaha ia redam. “Siapa pria yang berani menodai pegawaiku? Kurang ajar!” tinjunya mengepal, menggigil dalam marah. Baru saja Laura hendak membuka mulutnya, tiba-tiba pintu dibuka. Derap langkah kaki seorang pria memasuki ruangan itu tanpa permisi. “Hi, Dad. Maaf, aku terlambat ….” Pria itu tidak meneruskan ucapannya, pandangannya langsung tertuju pada Laura yang kini beranjak dari duduknya. “Ka—kau …?” Laura menunjuk wajah pria itu dengan mata membola sempurna.Diana tidak akan memungkiri perasaannya kepada Louis meskipun dia belum bisa mengatakan bahwa itu adalah perasaan cinta.Namun, rasa nyaman dan lepas yang dirasakannya bagi Diana sudah cukup membuatnya yakin kalau Louis adalah orangnya. Tapi lagi-lagi bayangan ketika dirinya menangis tersedu-sedu setelah mengetahui bahwa lelaki yang dia cintai, lelaki yang juga sering mengatakan cinta padanya malah berkhianat terlintas di pikiran.Diana sangat benci perasaan itu tapi dia juga sulit sekali menghilangkannya karena sudah membentuk trauma. Dan itu semua adalah tugas Louis, Louis harus menyembuhkan Diana dan membuat gadis itu dapat berdamai dengan traumanya."Diana, kamu tahu aku, kita sudah lama kenal. Ke mana pun aku pergi kamu selalu ikut. Kamu juga tahu perempuan mana saja yang ingin dekat denganku tapi aku menolak mereka, kan? "Kamu harus tahu, Di, penolakan demi penolakan yang kulakukan semata karena aku ingin kamu bisa lihat kalau selama kita bersama, aku bukan lelaki yang mudah t
Diana memejamkan matanya mendengar ucapan Louis yang sungguh di luar dugaan. Gadis itu membeku di tempatnya sekarang tanpa bereaksi apa-apa.Sementara itu, Smith langsung menghampiri Louis dan mempertanyakan keseriusan sang adik atas ucapannya barusan. "Aku serius, Smith. Aku mencintai Diana bahkan sebelum dia jadi asisten pribadiku, aku sudah memiliki rasa suka padanya meskipun, ya ... cinta itu baru benar-benar tumbuh setelah kami sering bersama," ungkap Louis lagi.Diana dapat mendengarnya dengan jelas, tapi dia tidak percaya. Apa yang Louis lakukan terhadapnya selama masa kerja sungguh berbanding terbalik dengan apa yang Louis ungkapkan barusan."Diana, maafkan aku," ucap Louis.Diana tak menjawab dan malah geleng-geleng kepala. Setelah itu, Diana pergi karena merasa sudah tak sanggup lagi berada di situasi itu."Om, Laura, Smith, aku pulang dulu, ya," pamitnya.Vincent ingin menahan tapi dia paham akan perasaan Diana yang sudah pasti merasa bingung atas sikap Louis yang sangat m
Diana baru selesai menyiapkan jadwal Louis untuk besok ketika dia hendak pulang. Waktu menunjukkan pukul 7 malam dan rasanya badan Diana sangat remuk saking sibuknya hari ini."Ini sudah terlalu malam, kamu pulang ke rumahku saja supaya besok bisa langsung berangkat denganku. Kamu, kan, suka lelet," ujar Louis.Mendengar ejekan Louis padanya, Diana langsung menyipitkan matanya. "Apa maksud kamu bilang begitu? Aku lelet? Hey, sudah hampir satu bulan aku bekerja denganmu dan setiap hari aku pulang jam 6 atau jam 7 malam. "Setiap hari juga, aku sampai jam 8 malam dan baru bisa istirahat setelah jam 10 malam karena kamu selalu menyuruhku banyak hal. Aku capek dan kamu malah bilang aku suka lelet?" Diana memelototi Louis saking kesal."Lah, memang kenyataannya kamu lelet, kamu sering terlambat setengah jam bahkan sampai satu jam. Itu dinamakan lelet, kan?" balas Louis."Iya, tapi seharusnya kamu memahami alasanku sampai lelet begitu, aku kurang istirahat dan seharusnya kamu juga jangan me
Tiga hari kemudian, Laura pulang ke rumah dan disambut dengan suka cita oleh para asisten rumah tangga serta kerabat dekat yang masih berada di sana. Rencananya, mereka akan pulang hari ini karena Laura sudah sehat dan pulang.Suasana rumah Smith sangat ramai di sana mereka melakukan syukuran kecil-kecilan dengan makan bersama di taman belakang yang sudah dihias sedemikian rupa oleh para pekerja.Smith menggendong Daniel sementara Laura menggendong Davide, mereka mengumumkan nama bayi mereka secara resmi bahkan Diana juga ada di sana."Diana, kesibukan kamu sekarang apa?" tanya Vincent pada gadis yang sudah Laura anggap seperti saudaranya sendiri."Aku baru resign dari pekerjaanku sebelumnya, Om. Aku mau cari kerjaan lagi tapi belum sempat persiapan, mungkin bulan depan aku mulai cari lagi," jawab Diana.Vincent mengusap dagunya, menatap Diana lekat lalu beralih menatap Louis yang dia lihat tak hentinya curi-curi pandang pada Diana.Terlintas ide dalam pikiran Vincent, bagaimana kalau
"Smith ... aku berhasil pulang."Suara itu terdengar sangat lirih di telinga Smith, bahkan hampir tak terdengar. Namun, lelaki itu yakin kalau Laura memang berbicara dan itu membuatnya merasa amat sangat lega.Vincent yang sejak tadi menunggu dengan harap cemas juga langsung mengucap syukur, dia menatap Laura yang masih dalam keadaan setengah sadar karena masih berada dalam efek anestesi."Manantuku, menantu kesayanganku ...." isak Vincent."Ayah, aku bertemu sahabatmu," ucap Laura. "Kami hampir pergi bersama.""Oh, Laura, jangan sampai hal itu terjadi. Anak-anakmu membutuhkanmu," sahut Vincent yang paham bahwa sahabat yang dimaksud Laura sudah pasti Ferdy, ayahnya."Ya, dia bilang takdirku yang sesungguhnya memang di sini," kata Laura pelan."Kamu gak nanya sama aku, Sayang? Aku sejak tadi di sini menunggu kamu sadar tapi saat bangun kamu malah ngobrol sama Ayah," ucap Smith membuat Laura tersenyum."Aku selalu bersamamu bahkan ketika kamu meminta do'a pada anak-anak kita," jawab Lau
Operasi telah selesai dilaksanakan tapi kondisi Laura ternyata malah menurun, tekanan darah yang tinggi membuat detak jantungnya justru semakin melemah.Laura dibawa keluar dari ruang operasi menuju ruang pemulihan dengan berbagai alat yang terpasang di tubunya. Smith sama sekali belum melihat anak kembarnya kecuali hanya di ruang operasi tadi. Dia memilih mendampingi Laura dan meminta perawat menjaganya dengan baik di ruang yang terpisah dari ruang bayi lain."Smith, mana Laura dan cucu-cucu ayah?" tanya Vincent.Lelaki itu datang tergopoh-gopoh setelah mendengar kabar bahwa Laura melahirkan cucunya. Vincent bahkan sampai meninggalkan pekerjaan dan rapatnya dengan klien-klien penting."Cucu-cucu Ayah ada di ruang perawatan khusus, sedangkan Laura masih di ruang pemulihan. Dia belum sadarkan diri dan kondisinya menurun," jawab Smith seraya menutup wajahnya dengan kedua tangan.Vincent tercengang mendengar kabar tersebut sebab saat berangkat tadi dia masih berbincang dengan menantunya.
"Lakukan apa pun yang terbaik bagi istri dan anak-anak saya, Dok. Lagi pula, istri saya sudah sangat kesakitan, saya tidak tega melihatnya."Smith berbicara seraya menatap dokter kandungan tersebut dengan seksama. Dokter pun mengangguk, siap melaksanakan prosedur operasi caesar.Namun, sebelum nya Smith mesti menandatangani dulu surat persetujuan karena prosedur ini bisa dibilang sakral, tidak boleh dilakukan sembarangan.Setelah selesai semua persyaratan, Smith langsung menemui Laura yang sedang kesakitan di ruang bersalin. Smith mengabarkan kalau Laura akan dioperasi demi keselamatan buah hati mereka."Gak papa, kan, kalau operasi? Kondisi kamu tidak memungkinkan, Sayang. Plasentanya menghalangi jalan lahir dan itu akan membahayakan anak-anak kita. Begitu kata dokter," tanya Smith seraya menjelaskan.Laura sudah pasrah, apa pun tindakan yang akan diambil terhadapnya, Laura tidak akan mencegah apalagi melawan. Melahirkan secara normal maupun caesar baginya sama saja, sama-sama memerl
Setelah mendengar kabar bahwa Laura kemungkinan akan melahirkan dalam waktu dua minggu ke depan, Smith mempersiapkan segalanya salah satunya yakni dengan mengambil cuti dari kantornya.Meskipun dia adalah seorang CEO, pemilik perusahaan yang tentu memiliki kuasa, Smith tetap bersikap profesional dengan mengajukan cuti secara resmi. Untuk sementara, posisi dan pekerjaannya akan ditangani oleh Louis, adiknya."Smith, sebenarnya tanpa ada yang menggantikanmu pun sepertinya bukan masalah besar, pekerjaan CEO, kan, tinggal ongkang-ongkang kaki saja," ujar Louis membuat sang kakak sontak mendelikkan matanya."Jadi, begitu yang kamu pikirkan selama ini, aku hanya ongkang-ongkang kaki saja?" Smith menatap Louis dengan seksama."Hehehe, aku hanya bercanda, Smith. Jangan melotot begitu lah, serius amat!" sahut Louis menggaruk kepalanya yang tak gatal."Lihat saja, kamu nanti akan merasakan apa yang aku rasakan. Kamu akan sangat sibuk bahkan melebihi kesibukanku dulu. Kamu akan kewalahan dan men
Smith sangat sigap menuntun Laura yang merasakan sakit seperti kram di perutnya. Dengan tertatih, Laura berjalan menuju mobil yang sudah siap di depan."Jangan-jangan kamu kecapean, Sayang," tebak Smith. "Kalau melahirkan, kan, waktunya belum genap."Smith terus berbicara dengan perasaa resah dan gelisah. Sementara itu, Laura hanya bisa menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Aktifitas itu cukup mengurangi rasa sakitnya.Saat ini, Laura dan Smith sudah berada di perjalanan ke rumah sakit demi memeriksa keadaan Laura yang sempat merasakan sakit di perutnya.Namun, baru juga setengah perjalanan, sakit yang dirasakan Laura sudah reda bahkan menghilang. Laura yang belum memiliki pengalaman sebelumnya merasa heran, dia ingin mengatakan hal itu pada suaminya tapi merasa enggan."Sayang, apa kamu baik-baik saja? Sakitnya masih terasa?" tanya Smith mengelus perut istrinya. Laura sedikit meringis. "Sepertinya perutku sudah lebih baik, Sayang. Aku juga gak paham kenapa. Apa kita pu
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments