Romeo memandangi langit-langit di atasnya dan mendengar isak tangis tertahan dari Hana. Ia memutar tubuhnya menghadap Hana. Tangannya bergerak hendak menyentuh Hana, namun dia bisa merasakan bahwa setiap saraf yang berada di telapak tangannya terasa bergetar. Tenggorokan Romeo kering. Sulit sekali untuk menyebut nama wanita itu.
Hana memunggungi Romeo. Wanita itu berusaha untuk tidak melihat lelaki yang baru saja dia minta untuk bercinta dengannya. Ketika tangan Romeo menyentuh pundak Hana, perempuan itu meringkuk semakin dalam, berusaha untuk melindungi dirinya sendiri.
“Hana,” panggil Romeo pelan. Ada nada bersalah yang tersirat dalam suara lelaki itu.
Hana bergeser menjauh secara perlahan, sehingga Romeo tidak bisa mengetahui bahwa kini jarak di antara mereka cukup jauh. “Saya nggak pa-pa. Saya baik-baik saja. Saya tahu Bapak benar-benar mencintai kakak ipar saya, saya janji saya nggak akan kasih tahu ke kakak saya,” ungkap Hana dengan suara lirih.
“Kamu ngomong apa barusan?” Tenggorokan Romeo terasa kering. Banyak pengalaman yang sudah terjadi antara dirinya dengan Susi, istri dari sahabatnya. Sialnya sahabatnya itu adalah kakaknya Hana, seorang perempuan yang sama sekali tidak boleh dia sentuh.
Setelah Hana berkata demikian, ia segera membenamkan wajahnya ke dalam perlindungan lengannya.
“Saya bilang Bapak menginginkan Mbak Susi.” Andai saja Romeo bisa melihat wajah Hana yang mengeras saat ini, pasti Romeo bisa menangkap perasaan yang hancur yang sedang dirasakan Hana sekarang. “Bapak mencintai Mbak Susi,” tuduh Hana dengan amat jelas.
Romeo memandangi punggung Hana dengan tatapan galak. “Kamu nggak tahu apa yang sedang kamu bicarain, Han,” kata Romeo dengan wajah marah.
“Saya bisa merasakannya, Pak. Bapak mungkin bisa berbohong ke Kak Rangga, tapi Bapak nggak bisa bohong ke saya.”
Romeo menghela napas. Dia tertohok mendengar penuturan Hana.
“Itu alasan Bapak nggak menikah sampai sekarang, kan. Karena Bapak belum bisa melupakan Mbak Susi sampai sekarang. Mbak Susi pasti juga bisa merasakan perasaan Bapak ke dia, tapi Mbak Susi sudah menjadi istri kakak saya, karenanya Mbak Susi lebih memilih untuk menjaga jarak dengan Bapak.”
“Kamu sedang banyak pikiran, Han. Kamu nggak semestinya bicara seperti itu.”
Hana mengerang. Dia setengah berteriak saat mengatakan, “Hati saya memang dicampakkan oleh seseorang, tetapi pikiran saya masih waras sepenuhnya.”
“Saya nggak bilang kamu nggak waras, saya cuma bilang kamu lagi banyak pikiran.”
“Sama saja. Maksud Bapak pasti ke sana. Pasti Bapak bakal bilang kalau pikiran saya penuh, dan butuh istirahat.”
“Sebaiknya memang begitu,” jawab Romeo tegas. Emosi sudah menguasai tubuhnya. Pengin sekali Romeo kini menarik tubuh pegawainya itu dan mengguncang-guncangkan pundak ringkih perempuan itu. Meminta agar perempuan itu bisa berpikir dengan lebih baik. “Saya berhutang banyak ke Rangga. Dia satu-satunya sahabat yang saya miliki sejak kami kuliah.”
“Dan Mbak Susi juga. Mbak Susi juga sahabat Bapak selama Bapak kuliah, kan?” Hati Hana mengiba mengetahui bahwa cinta Romeo selama ini sudah bertepuk sebelah tangan sejak hari pernikahan Kak Rangga dan Mbak Susi. Karenanya sulit untuk Romeo membuka dirinya pada cinta lain.
Perdebatan ini nggak akan pernah berakhir, pikir Romeo. Dia mengepalkan tangannya hingga terlihat jelas buku-buku jarinya memutih. Menyalurkan segala emosinya pada tangannya yang dia letakkan di depan perutnya.
"Nggak ada hubungannya dengan Shera," jawab Romeo. Suaranya meninggi.
"Pasti ada. Bapak menerima perempuan itu agar Kak Rangga nggak tahu perasaan Bapak ke Mbak Susi."
Romeo menarik tubuh Hana, hingga perempuan itu menghadap ke arahnya.
"Kamu nggak usah mikir macem-macem. Itu urusan saya. Lebih baik kamu makan. Setelah itu istirahat." Wajah Romeo mengeras. Rahangnya menegang.
Hana melihat ke arah mata cokelat itu. Wajah tampan penakluk hati para perempuan itu ternyata memiliki cinta terpendam. "Saya nggak pernah berbicara tanpa sebab. Menjadi bawahan Bapak sekaligus adik dari sahabat Bapak, membuat saya mengetahui apa yang ada di dalam hati Bapak." Dada Hana naik turun. Hatinya terasa sakit.
“Kamu belum makan.” Romeo menolak membicarakan dirinya. Dia mengalihkan pembicaraan. Berusaha menutup topik tentang masalah pribadi dan mengingatkan Hana pada nampan makanan yang sudah dibawa lelaki itu satu jam yang lalu. “Kakak kamu bilang kamu harus makan.”
Hana ragu kalau dia dapat menelan makanan sekarang, pikiran dan tubuhnya kacau sekali. Dia segera membalikkan tubuhnya lagi. Malu sekali melihat Romeo saat ini.
“Saya nggak lapar. Bapak keluar saja dari kamar ini,” jawab Hana, hatinya tak keruan. Dia pikir setelah melakukan hubungan singkat dengan Romeo, harga dirinya sebagai perempuan yang baru saja tertolak di hari pernikahannya dapat segera pulih, ternyata Hana salah. Saat ini dia malah semakin malu. Harga dirinya terasa terinjak-injak, karena tidak mendapat balasan yang sama dari lelaki yang berbagi tempat tidur dengannya saat ini.
“Rangga minta bukti nampan itu harus kosong waktu saya ke bawah nanti.”
“Kalau begitu saya akan makan nanti,” seloroh Hana. Wajahnya masih saja disembunyikan.
Romeo menghela napas kasar. “Bagaimanapun saya atasan kamu, Han. Saya memang menghormati kakak kamu, tetapi kamu harus tahu batas-batas antara atasan dan bawahan.”
“Saya masih ingat itu dengan jelas, Pak,” bantah Hana.
"Tapi kelihatannya nggak seperti itu." Romeo mengatakannya dengan ekspresi datar dan dingin.
Wajah Hana memerah.
Benar-benar memalukan. Dia belum pernah terhina seperti saat ini. Seakan pernikahannya yang gagal belum cukup untuk mempermalukan dirinya.
Romeo segera bangun dari tempat tidur. Dia duduk di tepi ranjang, sementara matanya memperhatikan Hana yang masih meringkuk tak jauh dari dirinya. Romeo memaki dirinya sendiri. Ia segera berdiri, memakai kembali celana panjangnya, dan pergi meninggalkan Hana sendiri di kamarnya.
“Pak,” panggil Hana dengan suara lirih. Sayangnya Romeo sudah tidak berada lagi di kamar. Suasana hening dan menyayat, mendera perasaan Hana.
Dia membalikkan tubuhnya hingga telentang. Dengan tangan gemetar, dia membenarkan rambutnya yang acak-acakan.
“Oh, ya ampun. Ke mana akal sehat saya tadi?” tanya Hana dengan suara pelan. Dadanya terus berdegup kencang. Perasaan bersalah menghantuinya.
Pintu kamar kembali diketuk. “Hana.” Suara berat itu lagi.
Hana menelan ludahnya susah payah, mulutnya terbuka lebar ketika mendengar suara Romeo di balik pintu kamar.
Kenapa Romeo harus kembali ke sini lagi? batin Hana. Dia tertekan.
“Masuk,” diucapkan Hana dengan kaku.
Romeo tidak masuk ke dalam kamar Hana. Hanya kepalanya saja yang terjulur dari balik pintu. "Kamu harus tetap makan. Rangga baru saja telepon," kata Romeo. Tanpa menunggu jawaban dari Hana, dia segera menutup pintu dan lagi-lagi meninggalkan Hana sendirian.
Setelah pernikahannya yang gagal dengan Bima, Hana pikir kemarin adalah hari yang paling buruk untuk dirinya, ternyata dia salah. Kemarin bukanlah hari terburuknya, melainkan hari ini. Entah mengapa dia merasa ketakutan sekali.Apa kakaknya akan tahu tentang apa yang telah dia perbuat semalam?Apa Romeo telah memberitahu kakaknya, hal bodoh apa yang telah dia minta pada lelaki itu semalam?Apa yang akan terjadi bila kakaknya sampai mengetahui skandal antara dirinya dengan Romeo?Jantung Hana berdebar cepat. Wajahnya pucat. Mengingat kembali kejadian semalam, rasanya tidak mungkin.Romeo ... Romeo ... Romeo ... apa aku perempuan yang sesuai dengan idaman kamu? tanya Hana pada dirinya sendiri. Hatinya perih sudah mengetahui jawaban atas pertanyaannya.Benar kata Romeo, tindakannya ini hanya memalukan dirinya saja.Romeo tidak akan pernah menyukai dirinya. Romeo terlalu mencintai Mbak Susi. Itu alasan Rom
"Kamu sakit?" tanya Rangga sembari memicingkan mata. Dia sudah memperhatikan Hana sejak beberapa waktu yang lalu. Ada yang berbeda dari sikap adiknya.Hana menggelengkan kepalanya. "Nggak, Kak. Aku nggak sakit."Rangga masih curiga. Dia tidak percaya dengan yang diucapkan Hana baru saja.Nggak mungkin, batin Rangga."Susi sedang masakin opor ayam, kamu makan dulu, ya."Sekali lagi, Hana merasakan tenggorokannya tercekat. Mual sekali.Hana biasanya sangat menyukai masakan Mbak Susi, tetapi mengapa akhir-akhir ini, mencium baunya saja sudah membuat Hana kewalahan.Setelah pernikahan gagalnya dengan Bima, Hana tinggal di rumah Rangga, kakaknya."Nah, ini sudah matang," ujar Susi. Dia berjalan menuju meja makan.Lagi-lagi aroma masakan yang menguar di ruang makan, membuat Hana tidak bisa lagi menahan rasa mualnya."Huek ... huek ... huek ...
Rangga duduk melamun di dalam bar. Dia memikirkan kembali pertengkaran yang terjadi antara dirinya dengan Hana kemarin.Rasa kecewa, marah, serta putus asa meliputi hati Rangga. Belum pernah dia merasa benar-benar kecewa seperti saat ini.Hana sungguh mengecewakan dirinya. Bagaimana bisa Hana bertindak bodoh seperti sekarang."Sudah lama kamu menunggu?" tanya Romeo yang baru saja datang ke dalam ruangan yang biasa mereka datangi sebelum Rangga menikah dengan Susi.Rangga menengok ke sumber suara, itu sahabatnya yang sudah lama dia tunggu hampir setengah jam terakhir ini."Hay ... macet?" tanya Rangga tidak segera menjawab pertanyaan Romeo.Romeo mengedikkan alisnya. "Iya, begitulah." Romeo duduk tidak jauh dari Rangga. Dia memperhatikan Rangga, sedikit waswas.Apa yang akan dibicarakan Rangga malam ini? pikir Romeo gugup.Akhir-akhir ini, di kantor, Hana berubah menjadi sosok yang pendiam. Wajahnya lebih
"Halo, Han," sapa Romeo di ujung sambungan telepon. Rahangnya masih sakit akibat bogem mentah dari Rangga.Hana terkesiap mendapat telepon dari Romeo. Dia menggigit bibirnya. Jantungnya deg-degan menerima telepon dari Romeo. Seharusnya menerima panggilan telepon dari Romeo adalah hal yang wajar; sudah puluhan kali Hana menerima telepon dari Romeo, atasannya. Tetapi mengapa kali ini dia merasa ada sesuatu yang berbeda dari panggilan Romeo?Dadanya berdebar terlalu cepat."Halo, Pak. Ada yang bisa saya bantu?" tanya Hana gugup.Baru kemarin, Rangga meminta Hana untuk mengundurkan diri dari pekerjaannya karena Hana tidak mau memberitahukan siapa lelaki yang bertanggung jawab atas perbuatannya terhadap Hana."Kakak kamu sudah tau kalau saya yang telah melakukannya ke kamu," cetus Romeo secara tiba-tiba yang segera membuat mulut Hana terbuka lebar. Dia benar-benar sangat terkejut. Jantungnya bertalu-talu dan lututnya terasa lemas se
"Kamu mau mengundurkan diri?" Ada sesuatu yang aneh dalam diri Romeo ketika mendengar Hana mengatakan ini. Sudah empat tahun lamanya Hana bekerja dengannya. Melihat Hana setiap hari adalah hal yang biasa. Mereka sering melakukan segala sesuatu berdua. Tetapi semua adalah tentang pekerjaan, dan itu adalah hal yang sangat biasa. Sebelum Hana bekerja untuknya, Romeo juga sering melihatnya di rumah Rangga. Sehingga melihat Hana adalah sesuatu yang amat biasa.Namun hal yang tidak biasa adalah ... apabila Hana meninggalkannya.Dan kejadian hari ini membuktikan semua ketakutannya ... bermula dari Rangga yang hanya dalam hitungan detik saja menjadi begitu murka setelah mengetahui bahwa dirinyalah yang telah menghamili Hana ... disusul dengan berita bahwa Hana akan pergi meninggalkannya, membuat segala sesuatu menjadi runyam dan tidak menentu bagi Romeo.Ada yang salah di sini, pikir Romeo, tetapi dia tidak tahu apa itu."Iya, Pak," jawab
Lima menit telah berlalu sejak Romeo mendatangi rumah Rangga."Romeo!"Suara berat dari belakang Romeo, membuat perhatian lelaki itu teralihkan."Mau apa kamu ke rumah saya!" tanya seseorang yang suaranya sudah familier di pendengaran Romeo."Rangga," lontar Romeo setelah dia membalikkan badan."Masih berani kamu ke sini! Sudah saya bilang, saya nggak akan biarin kamu nikah sama adik saya!" perintah Rangga dengan emosi yang segera tertumpah. Romeo benar-benar telah menginjak-injak harga diri keluarganya."Rangga, kalau kamu memang cari orang yang sudah berbuat kesalahan ke Hana. Itu saya, Rangga! Sekarang saya sudah di sini! Saya mau tanggung jawab! Tolong jangan halangi saya untuk menikahi Hana! Beberapa bulan lagi perut Hana akan bertambah besar, orang-orang akan tau. Saya mau bertanggung jawab untuk janin yang ada dalam tubuh Hana." Napas Romeo tersengal-sengal.Rangga masih menatap Romeo dengan kebencian yang belum meredup. &
"Hana! Hana, bangun!"Romeo bisa mendengar Susi yang sedang menjerit-jerit memanggil nama Hana.Dengan sangat tergesa-gesa, Romeo segera berlari menuju suara itu berasal.Rangga sudah lebih dulu menemui Hana."Hana! Bangun, Hana! Kamu kenapa!" Kali ini suara Rangga.Rahang Romeo mengeras. Pikirannya berputar-putar mencoba menebak apa yang sedang terjadi pada Hana.Itu Hana! Rangga dan Susi sedang menggoncang lengan Hana, berusaha membuat Hana bangun.Entah mengapa mata Romeo segera membelalak. Dia terkejut sekali melihat tubuh wanita ringkih itu yang sedang tergeletak tak berdaya di atas ranjang."Hana!" Kepanikan melanda Romeo. Dia sungguh khawatir melihat bawahannya dalam keadaan seperti itu.Dengan cepat, Romeo segera berlari ke arah Hana. Dan tanpa diduga-duga oleh yang lain, juga oleh dirinya sendiri, Romeo mengangkat tubuh Hana. Dia membopongny
Romeo menepikan mobilnya di klinik terdekat yang berada tak jauh dari rumah Rangga. Pikirannya kacau sekali, melihat Hana seperti ini.Apakah Hana benar-benar tertekan?Apakah Hana tidak mau menikah dengannya sehingga dia jatuh pingsan seperti sekarang?Dia hanya berharap Hana akan segera membaik. Sangat tidak baik untuk ibu hamil berada dalam keadaan tertekan.Romeo mematikan mesin mobil.Dia segera keluar, dan memutari bagian depan mobil menuju pintu mobil bagian penumpang.Romeo menghela napas ketika melihat Hana. Wajah perempuan itu sangat pucat. Tampak tertekan meski dalam keadaan tidur."Hana. Setelah ini, saya harap kamu akan baik-baik saja," bisik Romeo ketika dia mengangkat tubuh wanita itu.Kulitnya halus. Dia pernah merasakan kulit itu menyentuh kulitnya.Pintu mobil tertutup, dan dengan cepat dia berjalan menuju ke klinik."Silakan, Pak," seorang sekuriti klinik membu