Share

Bab 2 Cinta yang Terpendam

Romeo memandangi langit-langit di atasnya dan mendengar isak tangis tertahan dari Hana. Ia memutar tubuhnya menghadap Hana. Tangannya bergerak hendak menyentuh Hana, namun dia bisa merasakan bahwa setiap saraf yang berada di telapak tangannya terasa bergetar. Tenggorokan Romeo kering. Sulit sekali untuk menyebut nama wanita itu.

Hana memunggungi Romeo. Wanita itu berusaha untuk tidak melihat lelaki yang baru saja dia minta untuk bercinta dengannya. Ketika tangan Romeo menyentuh pundak Hana, perempuan itu meringkuk semakin dalam, berusaha untuk melindungi dirinya sendiri.

“Hana,” panggil Romeo pelan. Ada nada bersalah yang tersirat dalam suara lelaki itu.

Hana bergeser menjauh secara perlahan, sehingga Romeo tidak bisa mengetahui bahwa kini jarak di antara mereka cukup jauh. “Saya nggak pa-pa. Saya baik-baik saja. Saya tahu Bapak benar-benar mencintai kakak ipar saya, saya janji saya nggak akan kasih tahu ke kakak saya,” ungkap Hana dengan suara lirih.

“Kamu ngomong apa barusan?” Tenggorokan Romeo terasa kering. Banyak pengalaman yang sudah terjadi antara dirinya dengan Susi, istri dari sahabatnya. Sialnya sahabatnya itu adalah kakaknya Hana, seorang perempuan yang sama sekali tidak boleh dia sentuh.

Setelah Hana berkata demikian, ia segera membenamkan wajahnya ke dalam perlindungan lengannya.

“Saya bilang Bapak menginginkan Mbak Susi.” Andai saja Romeo bisa melihat wajah Hana yang mengeras saat ini, pasti Romeo bisa menangkap perasaan yang hancur yang sedang dirasakan Hana sekarang. “Bapak mencintai Mbak Susi,” tuduh Hana dengan amat jelas.  

Romeo memandangi punggung Hana dengan tatapan galak. “Kamu nggak tahu apa yang sedang kamu bicarain, Han,” kata Romeo dengan wajah marah.

“Saya bisa merasakannya, Pak. Bapak mungkin bisa berbohong ke Kak Rangga, tapi Bapak nggak bisa bohong ke saya.”

Romeo menghela napas. Dia tertohok mendengar penuturan Hana.

“Itu alasan Bapak nggak menikah sampai sekarang, kan. Karena Bapak belum bisa melupakan Mbak Susi sampai sekarang. Mbak Susi pasti juga bisa merasakan perasaan Bapak ke dia, tapi Mbak Susi sudah menjadi istri kakak saya, karenanya Mbak Susi lebih memilih untuk menjaga jarak dengan Bapak.”

“Kamu sedang banyak pikiran, Han. Kamu nggak semestinya bicara seperti itu.”

Hana mengerang. Dia setengah berteriak saat mengatakan, “Hati saya memang dicampakkan oleh seseorang, tetapi pikiran saya masih waras sepenuhnya.”

“Saya nggak bilang kamu nggak waras, saya cuma bilang kamu lagi banyak pikiran.”

“Sama saja. Maksud Bapak pasti ke sana. Pasti Bapak bakal bilang kalau pikiran saya penuh, dan butuh istirahat.”

“Sebaiknya memang begitu,” jawab Romeo tegas. Emosi sudah menguasai tubuhnya. Pengin sekali Romeo kini menarik tubuh pegawainya itu dan mengguncang-guncangkan pundak ringkih perempuan itu. Meminta agar perempuan itu bisa berpikir dengan lebih baik. “Saya berhutang banyak ke Rangga. Dia satu-satunya sahabat yang saya miliki sejak kami kuliah.”

“Dan Mbak Susi juga. Mbak Susi juga sahabat Bapak selama Bapak kuliah, kan?” Hati Hana mengiba mengetahui bahwa cinta Romeo selama ini sudah bertepuk sebelah tangan sejak hari pernikahan Kak Rangga dan Mbak Susi. Karenanya sulit untuk Romeo membuka dirinya pada cinta lain.

Perdebatan ini nggak akan pernah berakhir, pikir Romeo. Dia mengepalkan tangannya hingga terlihat jelas buku-buku jarinya memutih. Menyalurkan segala emosinya pada tangannya yang dia letakkan di depan perutnya.

“Itu alasan Bapak juga memutuskan Shera,” cetus Hana dengan sisa-sisa keberaniannya. Sekarang dia bisa berkata seperti ini, namun tidak tahu apa yang akan terjadi bila mereka nanti bertemu di kantor.

"Nggak ada hubungannya dengan Shera," jawab Romeo. Suaranya meninggi.

"Pasti ada. Bapak menerima perempuan itu agar Kak Rangga nggak tahu perasaan Bapak ke Mbak Susi."

Romeo menarik tubuh Hana, hingga perempuan itu menghadap ke arahnya.

"Kamu nggak usah mikir macem-macem. Itu urusan saya. Lebih baik kamu makan. Setelah itu istirahat." Wajah Romeo mengeras. Rahangnya menegang.

Hana melihat ke arah mata cokelat itu. Wajah tampan penakluk hati para perempuan itu ternyata memiliki cinta terpendam. "Saya nggak pernah berbicara tanpa sebab. Menjadi bawahan Bapak sekaligus adik dari sahabat Bapak, membuat saya mengetahui apa yang ada di dalam hati Bapak." Dada Hana naik turun. Hatinya terasa sakit.

“Kamu belum makan.” Romeo menolak membicarakan dirinya. Dia mengalihkan pembicaraan. Berusaha menutup topik tentang masalah pribadi dan mengingatkan Hana pada nampan makanan yang sudah dibawa lelaki itu satu jam yang lalu. “Kakak kamu bilang kamu harus makan.”

Hana ragu kalau dia dapat menelan makanan sekarang, pikiran dan tubuhnya kacau sekali. Dia segera membalikkan tubuhnya lagi. Malu sekali melihat Romeo saat ini.

“Saya nggak lapar. Bapak keluar saja dari kamar ini,” jawab Hana, hatinya tak keruan. Dia pikir setelah melakukan hubungan singkat dengan Romeo, harga dirinya sebagai perempuan yang baru saja tertolak di hari pernikahannya dapat segera pulih, ternyata Hana salah. Saat ini dia malah semakin malu. Harga dirinya terasa terinjak-injak, karena tidak mendapat balasan yang sama dari lelaki yang berbagi tempat tidur dengannya saat ini.

“Rangga minta bukti nampan itu harus kosong waktu saya ke bawah nanti.”

“Kalau begitu saya akan makan nanti,” seloroh Hana. Wajahnya masih saja disembunyikan.

Romeo menghela napas kasar. “Bagaimanapun saya atasan kamu, Han. Saya memang menghormati kakak kamu, tetapi kamu harus tahu batas-batas antara atasan dan bawahan.”

“Saya masih ingat itu dengan jelas, Pak,” bantah Hana.

"Tapi kelihatannya nggak seperti itu." Romeo mengatakannya dengan ekspresi datar dan dingin.

Wajah Hana memerah.

Benar-benar memalukan. Dia belum pernah terhina seperti saat ini. Seakan pernikahannya yang gagal belum cukup untuk mempermalukan dirinya.

Romeo segera bangun dari tempat tidur. Dia duduk di tepi ranjang, sementara matanya memperhatikan Hana yang masih meringkuk tak jauh dari dirinya. Romeo memaki dirinya sendiri. Ia segera berdiri, memakai kembali celana panjangnya, dan pergi meninggalkan Hana sendiri di kamarnya.

“Pak,” panggil Hana dengan suara lirih. Sayangnya Romeo sudah tidak berada lagi di kamar. Suasana hening dan menyayat, mendera perasaan Hana.

Dia membalikkan tubuhnya hingga telentang. Dengan tangan gemetar, dia membenarkan rambutnya yang acak-acakan.

“Oh, ya ampun. Ke mana akal sehat saya tadi?” tanya Hana dengan suara pelan. Dadanya terus berdegup kencang. Perasaan bersalah menghantuinya.

Pintu kamar kembali diketuk. “Hana.” Suara berat itu lagi.

Hana menelan ludahnya susah payah, mulutnya terbuka lebar ketika mendengar suara Romeo di balik pintu kamar.

Kenapa Romeo harus kembali ke sini lagi? batin Hana. Dia tertekan.

“Masuk,” diucapkan Hana dengan kaku.

Romeo tidak masuk ke dalam kamar Hana. Hanya kepalanya saja yang terjulur dari balik pintu. "Kamu harus tetap makan. Rangga baru saja telepon," kata Romeo. Tanpa menunggu jawaban dari Hana, dia segera menutup pintu dan lagi-lagi meninggalkan Hana sendirian.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status