SBY 04
Sepasang mata tidak terlalu besar milik Erie seketika membeliak. Perempuan berkulit kuning langsat itu menoleh ke kiri dan beradu pandang dengan sepasang mata besar milik Harry yang menatapnya dengan lekat. Pria itu mengangguk samar, seakan-akan memberikan tanda agar Erie tidak menyanggah ucapan ayahnya."Ehm, mohon maaf sebelumnya, Pak. Tapi, saya dan Erie belum ada pembicaraan ke arah sana," jawab Harry dengan nada suara yang terdengar tegas."Apa kamu nggak serius dengan Erie?" tanya Hendra. Pria berusia lima puluh lima tahun itu sedikit kecewa dengan jawaban Harry, sebab tadinya dia berharap hal yang berbeda."Saya serius, Pak. Tapi ... ini harus kami bicarakan berdua dulu. Mohon maaf, Pak. Saya dan Erie hanya tidak mau terburu-buru mengambil keputusan. Takutnya nanti ada masalah di depannya dan pondasi pernikahan kami belum kuat."Hendra terdiam sesaat. Menyandarkan tubuh ke belakang dan melipat tangan di depan dada. Memandangi kedua anak muda yang duduk berdampingan di kursi seberang dengan saksama, seakan-akan ingin memastikan bila Harry tidak tengah mengada-ada. Pria yang lebih tua itu menghela napas berat dan mengembuskannya perlahan. Berharap rasa kecewa tadi bisa ikut sirna seiring dengan keluarnya napas tadi."Bapak cuma ingin Erie segera menikah denganmu, Mas. Nggak baik lama-lama pacaran, takutnya akan timbul fitnah," ungkap Hendra. "Kalian pun sudah dewasa. Kamu sudah dua puluh delapan tahun, dan Erie sudah dua puluh enam tahun. Kalau nikahnya kelamaan, Bapak takut nggak berumur panjang untuk melihat cucu dari kalian," sambungnya dengan suara pelan.Erie menunduk, seketika dia merasa sangat bersalah karena telah membohongi orang tuanya. Perempuan berhidung mancung itu menelan ludah, merasa bingung hendak mengemukakan alasan penundaan pernikahan, sebab tidak mungkin dia membuka rahasia tentang hubungan kasihnya dengan Nick, orang yang tidak disukai Hendra.Sentuhan di punggung tangan kiri membuat Erie spontan menoleh. Perempuan itu terkesiap kala melihat senyuman di wajah Harry yang makin mengokohkan ketampanan itu kini ditujukan padanya. Entah kenapa, hal itu selalu bisa menenangkan hatinya, sejak dulu."Setelah acara ini, saya akan mengajak Erie untuk membicarakan tentang hal itu." Harry mengalihkan pandangan pada Hendra yang seketika tampak semringah. "Mohon izin, Pak. Kami pulangnya agak malam. Apakah boleh?" tanyanya.Hendra mengangguk menyetujui permintaan Harry. "Boleh, Mas. Tapi sebelum jam sebelas sudah balik lagi ke sini, ya. Bapak tunggu kabar baik dari kalian," sahutnya."Siap, Pak."Harry berdiri sambil menarik tangan Erie. Kemudian pria itu maju dua langkah untuk menyalami Hendra dengan takzim, dengan diikuti oleh Erie. Kala pasangan muda itu membalikkan tubuh dan jalan menjauh, Hendra memperhatikan mereka hingga menghilang di balik pintu.Sudut bibir Hendra terangkat membingkai senyuman kala membayangkan berita bahagia yang sangat ingin didengarnya dari Harry dan sang putri. Hendra sudah menyukai Harry sejak pria itu pertama kali berkunjung beberapa tahun lalu. Rasa suka itu kian bertambah kala mengetahui bila Harry adalah putra dari Farid Abiyaksha, seniornya waktu kuliah dulu.Kendatipun tidak dekat dengan Farid, tetapi Hendra pernah beberapa kali menjadi rekan bisnis Farid dan sangat menyukai pria santun tersebut, yang menurunkan sifat-sifat baiknya pada ketiga anaknya, yang pernah berkunjung saat acara ulang tahun Erie beberapa bulan silam.Sementara itu di dalam mobil HRV putih yang dikemudikan oleh Harry, Erie tengah melamun. Memandangi lalu lalang kendaraan di sisi kanan dan kiri jalan raya, tanpa berbincang sedikit pun dengan sang sopir yang beberapa kali mencuri-curi pandang padanya.Tiba-tiba Erie mengubah posisi tubuh hingga berhadapan dengan pria berambut tebal yang tengah serius menyetir. "Mas, kenapa tadi Mas ngomong gitu?" tanyanya tanpa basa-basi."Ngomong gimana?" Alih-alih menjawab, Harry justru balik bertanya."Bilang ke Ayah, mau membicarakan tentang pernikahan. Maksudnya apa?" terang Erie."Aku nggak bilang pernikahan. Cuma ngomong masalah lamaran." Harry mengerling pada Erie, sengaja ingin menggoda perempuan itu yang seketika merengut. "Apa kamu mau kita langsung bahas pernikahan?" selorohnya yang lengannya langsung dipukuli Erie."Mas, jangan main-main!""Kapan aku pernah bercanda?""Mas, aku hanya mencintai koko. Sampai kapan pun!"Harry mendengkus sambil mengalihkan pandangan ke luar. Meskipun sudah sering mendengar ucapan itu, tetap saja hatinya tercubit. Dia menimbang-nimbang untuk mengungkapkan hal yang selama ini ditutupi rapat-rapat, dan akhirnya memutuskan untuk membicarakan tentang itu nanti, saat mereka hanya berdua.Kendaraan melaju membelah padatnya jalan raya, yang baru terurai setelah memasuki tol yang menuju Bekasi, tempat di mana keluarga Harry tinggal. Sepanjang perjalanan itu Erie memutuskan untuk memejamkan mata, niatnya untuk tidur ternyata tidak bisa dilakukan dan hanya terlelap dalam hitungan detik.Harry sekali-sekali menoleh untuk memastikan kondisi perempuan tersebut. Hasrat ingin menggenggam jemari Erie harus ditahannya dalam-dalam karena tidak mau ditolak. Terutama karena saat itu kondisi hati Erie sedang kurang baik.Setibanya di sebuah restoran di kawasan Bekasi Selatan, Harry menghentikan mobil di tempat parkir yang dipenuhi banyak kendaraan roda dua dan roda empat. Harry membuka pintu dan keluar. Menutup benda itu sebelum memutari mobil dan membantu membukakan pintu untuk Erie.Perempuan itu refleks merapikan pakaian dan seketika tergemap kala menyadari bila warna gaun yang dikenakannya hampir sama dengan kemeja yang digunakan Harry, yaitu hijau lumut. Erie menengadah dan beradu pandang dengan Harry yang mengulurkan tangan, sedikit ragu-ragu untuk menyambutnya karena tiba-tiba ada desiran dalam hati.Harry mengangkat alis, kemudian menarik tangan Erie dan mengarahkan perempuan itu menuju pintu masuk. Harry berusaha keras untuk menahan diri agar tidak melakukan tindakan lebih dari sekadar bergandengan tangan, padahal dia sangat ingin melingkarkan tangan di pinggang langsing perempuan tersebut."Akhirnya, kalian datang juga," tukas Farid, saat Harry dan Erie tiba di ruangan VIP yang berada di lantai dua bangunan tersebut."Sorry, Yah. Tadi ngobrol sebentar sama ayahnya Erie," jawab Harry sambil melepaskan tangan perempuan itu dan menyalami kedua orang tuanya dengan takzim, kemudian berpindah menyalami kerabat lainnya.Erie yang sudah sering ikut dalam acara keluarga itu sama sekali tidak merasa canggung berada di antara kerabat Harry. Demikian pula dengan Farid, Yunia dan yang lainnya. Mereka sangat menyayangi Erie yang sangat ramah dan menyangka bila perempuan itulah yang akan menjadi bagian dari keluarga sebagai calon istri Harry.Seperti halnya Hendra dan Wiryani, Farid dan Yunia pun berandai-andai bila Harry dan Erie akan segera menikah. Selain karena sudah telanjur menyayangi Erie, Farid dan Yunia sudah sangat menginginkan bila putra sulung mereka segera melepas masa lajangnya.Seusai pembacaan doa, acara santap siang dilaksanakan dengan penuh keakraban. Erie tanpa canggung ikut larut dalam obrolan dengan Yunia dan kerabat perempuan Harry yang lainnya. Sama sekali tidak menyadari bila dirinya tengah diperhatikan oleh Harry yang berada di seberang meja."Jangan cuma dilihatin. Buruan lamar," bisik Farid yang nyaris membuat Harry tersedak minuman."Ayah nih," sahut pria yang lebih muda itu sambil menyeka mulutnya dengan tisu. "Emang boleh, aku nikah sama dia?" tanyanya sambil memandangi wajah sang ayah yang memiliki kemiripan dengannya itu seraya mengulaskan senyuman."Boleh, justru Ayah dan Ibu mengundangnya ke sini untuk membicarakan tentang hal tersebut.""Ehm, Yah, tapi kalau menurutku, lebih baik kami bicara berdua dulu, baru nanti Ayah dan Ibu yang ngomong sama dia.""Kenapa harus begitu?""Biar dia nggak kaget, Yah."Farid menaikkan alis, kemudian mengalihkan pandangan pada perempuan yang tengah diperbincangkan itu dan memperhatikan Erie dengan saksama. Pria berkumis tipis itu menimbang-nimbang sejenak, kemudian berkata, "Oke, kalian bicarakan dulu berdua. Setelah itu, ayah dan ibu akan langsung mengunjungi orang tuanya."SBY 05Mobil HRV putih itu melaju di jalan raya Kota Jakarta, setelah sebelumnya berada di Bekasi. Tubuh yang letih dan perut sudah terisi penuh membuat Erie mengantuk. Dia berusaha menahan agar mata tidak memejam, tetapi akhirnya tidak kuat dan menutup jua. Harry yang melihat perempuan itu menyandar ke pintu, menarik tangan Erie dan menggenggamnya erat. Sudut bibirnya terangkat membingkai senyuman karena merasa senang bisa melakukan hal itu, yang hanya bisa dilaksanakan saat Erie tertidur dan tidak sanggup menolak ataupun menghindar. Pria berhidung bangir itu mengarahkan kendaraan menuju apartemennya yang berada di kawasan Pancoran, sebab dia ingin membicarakan hal penting dengan Erie di tempat yang privasinya terjaga. Harry tahu bila nantinya Erie akan mengomelinya, tetapi Harry bertekad untuk mengungkapkan hal yang sudah lama ditutupinya rapat-rapat. Langit senja telah menggelap saat kendaraan roda empat itu berhenti di tempat
SBY 06Keheningan yang tercipta membuat Erie larut dalam rasa nyaman dipeluk oleh Harry. Aroma parfum pria itu yang tidak berubah sejak dulu terhidu indra penciuman Erie yang masih memejamkan mata. Perempuan berambut sebahu itu sebetulnya sudah tahu dengan perasaan sayang Harry padanya, karena pria itu pernah keceplosan menyebut itu beberapa waktu lalu, tetapi ungkapan cinta sejak lama pria tersebut yang baru saja diutarakan membuat Erie gamang. Bayangan wajah Nick melintas dan membuat Erie sadar. Perempuan itu menolak tubuh dan berusaha untuk melepaskan diri, tetapi rengkuhan Harry yang erat membuatnya kalah dan pasrah saat pria itu kembali merapatkan tubuh. "Mas, lepasin," lirih Erie. "Biarkan aku memelukmu lebih lama, Rie. Agar bayangannya bisa hilang dari benakmu," jawab Harry yang membuat Erie spontan menengadah. "Kamu pasti lagi mikirin dia, kan?" tanyanya yang dibalas anggukan oleh perempuan tersebut. "Itu yang ingin aku hilang
SBY 07Desahan yang lolos dari bibir Erie membuat Harry makin semangat. Akan tetapi, alarm otaknya memperingatkan untuk menjauh dan tidak melanjutkan aktivitas. Harry memutus keintiman dan mengusap sudut bibir Erie dengan ujung jari. Mengulaskan senyuman tipis untuk menenangkan perempuan itu yang kini tengah mengerjap-ngerjapkan mata. "Ini baru permulaan, Rie. Masih banyak cara yang akan kulakukan untuk membuatmu jatuh cinta padaku," ucap Harry, kemudian dia menolak tubuh dan menarik tangan Erie agar bisa sama-sama duduk. "Dengar, aku tidak akan memperlakukanmu seperti halnya dia melakukan hal-hal di luar batas pacaran. Karena aku mencintaimu dan ingin menjadikanmu ratuku, bukan sebagai alat pemuas nafsu," sambungnya yang membuat Erie tertegun. Sesaat suasana hening, kemudian Harry berdiri dan mengulurkan tangan yang dipandangi Erie sejenak, sebelum perempuan itu menyambutnya dan berpegangan untuk berdiri. Harry mengajak Erie jalan menuju pintu
SBY 08Mentari pagi menyapa insan yang tengah berada di luar rumah dengan kehangatan yang menyentuh hati. Embusan lembut angin membelai kulit yang terbuka dan menciptakan kesejukan udara yang menyegarkan. Tiga orang anak muda tengah jalan berdampingan di jalan raya utama komplek yang lebar. Alfian jalan di sisi paling kanan sambil merangkul pundak Erie yang berada di tengah. Sementara Lisa yang berada di sisi kiri, menggamit lengan sang kakak sambil memperhatikan sekeliling.Pada kedua sisi jalan itu berderet lapak-lapak pedagang yang menyediakan berbagai makanan untuk makan pagi. Banyak kendaraan roda dua dan empat terparkir di sekitar tempat parkir yang berada di kawasan tersebut."Pada mau makan apa nih?" tanya Erie sembari celingukan."Aku mau kupat sayur," jawab Lisa sambil menunjuk ke lapak di seberang jalan. "Aku pengen nasi uduk," timpal Alfian. "Ya udah, yang di situ aja. Gerobaknyq deketan." Erie m
SBY 09Erie tengah menyisir rambut ketika mendengar suara mobil berhenti di depan rumah. Perempuan itu berdiri dan jalan mendekati jendela, mengintip dan seketika mempercepat gerakan berias. Tak berselang lama Erie sudah lari menuruni tangga. Menyambar sepatu pantofel hitam kesukaan dari rak sepatu yang berada di bawah tangga. Kemudian dia menghampiri sang ibu dan mencium punggung tangan perempuan paruh baya itu sebelum mengambil cangkir dari atas meja dan meneguk tehnya sampai habis. "Kamu itu, ya, pamali minum sambil berdiri!" sungut Wiryani. Dia pusing melihat kelakuan sang putri sulung yang tidak berubah seiring kedewasaan. "Buru-buru, Bu. Mas Harry udah di depan," jawab Erie sembari mengambil dua roti isi dan membungkusnya dengan tisu besar, sebelum memasukkannya ke tas bahu hitam kesukaan. "Oh, ya, Bu. Aku pulang agak malam. Mau kontrol ke dokter dulu," ujarnya sambil mengenakan sepatu. "Kontrol apa?" "Kaki, agak
SBY 10Sepanjang hari itu Harry sering melamun. Hatinya bimbang antara hendak memenuhi permintaan Salman yang sudah dianggapnya sebagai Ayah angkat, atau tetap bertahan di Jakarta. Dia sebetulnya ingin berangkat, tetapi setelah bisa menikahi Erie karena Harry juga ingin membawa Erie ikut dengannya agar perempuan itu bisa melupakan sosok Nick. Hingga sore tiba, akhirnya Harry memutuskan untuk bertindak nekat. Dia akan melakukan berbagai cara agar Erie menyetujui lamarannya, meskipun nanti dia harus menghadapi permusuhan dengan Nick, bahkan mungkin dengan Malvin. Sementara Sam, Harry cukup optimis akan mendapatkan dukungan dari pria gondrong itu, karena sejak dulu dirinya lebih dekat dengan Sam daripada Malvin dan Nick. Harry juga merasa yakin akan mendapatkan dukungan dari kedua orang tuanya dan keluarga Erie."Mas, kelewatan!" desis Erie saat mobil yang dikemudikan oleh Harry melewati gerbang masuk rumah sakit tempat dirinya akan
SBY 11"Sydney?" tanya Hendra dan Wiryani nyaris bersamaan. "Iya, Pak, Bu. Saya diminta bos besar buat menghandle proyek yang di sana selama satu tahun," jelas Harry. "Erie belum cerita, ya?" Dia balas bertanya. "Belum, tadi malam pulang itu langsung tidur. Disuruh mandi aja nggak dikerjain," keluh Wiryani yang membuat Harry mengulum senyum. "Nak Erie kecapean, kasihan," tukas Yunia. "Kamu harus jagain Erie benar-benar, Mas. Jangan dibecandain mulu," omelnya sambil memukul pelan paha sang putra yang duduk.di samping kirinya. "Pasti dijagain, Bu. Digodain itu karena gemes," sahut Harry seraya tersenyum lebar, lupa bila di hadapannya ada orang tua perempuan yang menjadi pujaan hati. Sosok Erie yang muncul seketika menghentikan obrolan. Perempuan yang kali ini mengenakan blus hijau lumut dan rok hitam panjang itu segera menghampiri kedua orang tua Harry dan menyalami mereka dengan takzim. Kemudian dia mendudukkan diri
SBY 12"Erie?" Suara seorang perempuan dari ujung koridor membuat Erie menengadah dan seketika mengeluh karena ternyata di tempat itu juga ada Harry dan Samudra. Ketiga orang tersebut menatap Erie yang memaksakan diri untuk melangkah maju, dan ketika Harry mengalihkan pandangan ke arah lain, hati Erie seketika mencelos. "Hai, apa kabar?" tanya perempuan berparas cantik dan sangat wangi itu sambil mendekap Erie dan mengecup kedua pipinya. "Badanmu anget. Lagi sakit?" tanyanya sambil mengurai pelukan dan memandangi Erie dengan lekat. "Kabarku seperti yang kamu lihat, Rin," jawab Erie. "Ehm, iya, kepalaku pusing dari tadi, mungkin masuk angin," sambungnya sembari memaksakan senyuman untuk menghindari kecurigaan perempuan tersebut. Sabrina, nama perempuan itu yang merupakan adiknya Samudra sekaligus putri bungsu Salman yang selama beberapa tahun terakhir menetap di Sydney untuk menuntut ilmu. Sabrina dan Erie juga berteman tetap