Share

Kapan Akan Melamar?

SBY 03

Lisa memandangi wajah Harry yang tiba-tiba berubah sendu, tatkala ucapan Erie makin jelas menyebut Koko, panggilan buat Nick. Lisa menunduk, merasa prihatin sekaligus tidak enak hati pada Harry, yang sejak lama diketahuinya menaruh hati pada sang kakak.

Ketika Lisa menengadah, dia makin sedih saat menyaksikan pemandangan di hadapan. Harry tengah membelai rambut Erie dengan lembut, tampak sangat menyayangi perempuan itu meskipun bibir Erie berulang kali menyebutkan Koko.

Bunyi jam yang memperdengarkan lonceng sebelas kali seketika menyadarkan Harry. Dia menarik tangan dan memandangi wajah cantik Erie selama beberapa detik, kemudian berdiri dan jalan menuju pintu.

"Mas pamit, ya," ucap Harry yang dibalas anggukan oleh Lisa.

Kedua orang tersebut keluar dan jalan beriringan menuruni anak tangga. Lisa mengekor ayunan tungkai pria bertubuh jangkung itu hingga tiba di depan pagar rumah yang terbuka.

"Udah, kamu langsung masuk. Besok pagi tolong sampaikan ke Erie, Mas jemput jam sepuluh," ujar Harry sambil membuka kunci mobil.

"Mau ke mana? Kencan, ya?" seloroh Lisa yang berhasil menciptakan senyuman di wajah pria tersebut.

"Besok ulang tahun pernikahan ayah sama ibu. Erie kan diundang khusus sama ibu kemaren."

"Oh, oke."

"Bye."

"Hati-hati nyetirnya, Mas."

Harry mengangguk dan bergerak memasuki bagian pengemudi. Tak berselang lama HRV putih itu sudah bergerak menjauh. Lisa menutup dan mengunci pagar, kemudian berbalik dan jalan memasuki rumah.

Sementara itu di tempat berbeda, Nick baru saja memasuki ruangan di mana ibunya tengah dirawat ketika ponselnya berdering dan nama Malvin muncul di layarnya. Nick kembali berbalik ke luar ruangan dan duduk di kursi tunggu terlebih dahulu, sebelum menekan tanda untuk menerima panggilan.

"Ya, Vin. Ada apa?" tanya Nick.

"Nggak ada apa-apa. Cuma kangen dengar suaramu," sahut Malvin.

"Vangke! Nelepon tengah malam cuma mau bilang itu?"

Tawa khas Malvin terdengar dari seberang telepon dan tak urung mengukirkan senyuman Nick. Pria itu merasa senang memiliki sahabat seperti Malvin, Samudra dan Harry. Jalinan persahabatan yang dimulai dari acara MOS di kampus salah satu universitas swasta terkemuka di Kota Bandung beberapa tahun lalu sangat kuat.

"Beneran aku kangen, Nick. Nggak ada kamu kalau mampir di restoran itu rasanya beda."

"Bilang aja nggak bisa dapat diskon!"

"Ahh, ketahuan!"

Tawa kedua pria yang sama-sama bermata sipit itu meledak bersamaan. Sesaat Nick lupa bila dirinya tengah berada di koridor rumah sakit. Setelah seorang perawat melongok dari ruangan khusus, barulah Nick bergegas menutupi mulutnya rapat-rapat dan melangkah menjauh.

"Apa kabar tante?" tanya Malvin.

"Sudah lebih baik, tapi ... sepertinya beliau akan lebih lama tinggal di sini, karena proses kemoterapi harus dilakukan rutin. Kalau bolak balik, selain melelahkan, biaya transport pun mahal," jelas Nick.

"Kalau butuh bantuan, telepon aku, Sam atau Harry, Nick. Kami siap membantu dananya."

"Makasih, Bro. Untuk sementara ini aku masih sanggup membiayainya. Dan moga-moga David serta Stefie di sana juga makin giat usaha."

"Ehm, aku boleh ngapel adikmu nggak? Sekalian ngejagain gitu."

"Coba aja, paling kamu dilemparin pisau dapur sama dia."

"Aduh, jangan dong. Aku kan serius mau mengikatkan diri sebagai iparmu."

"Sam dan Harry aja nolak kamu buat ngedeketin adik mereka. Aku juga sama."

"Kalian jahat!"

"Daripada adik kami digombalin mulu, dinikahin nggak."

"Aku yakin kalian bertiga sudah bersekongkol!"

"Kamu yang mesti instropeksi. Mana ada seorang kakak yang akan membiarkan adiknya jadi korban raja bucin!"

Nick terbahak ketika mendengar umpatan Malvin dalam bahasa Tiochu. Hanya dirinya dan Malvin yang cukup paham dengan bahasa tanah leluhur orang tua mereka. Bedanya, kalau Nick itu kedua orang tuanya Tionghoa dari Kalimantan Barat yang masih fasih berbahasa Tiochu. Sedangkan Malvin, hanya ayahnya yang merupakan peranakan Tionghoa asal Semarang, sementara ibunya adalah perempuan asli dari kota kembang.

Percakapan kedua pria itu berlangsung hingga beberapa menit kemudian, setelahnya Nick mematikan ponsel dan memandangi gedung-gedung tinggi di sekeliling bangunan rumah sakit. Seulas senyuman terbit di wajahnya yang tampan kala mengingat ketiga sahabatnya di Indonesia.

Berbagai kenangan saat mereka kuliah dulu masih terekam jelas di kotak kenangan Nick. Berbagai keusilan dan keramahan mereka pada banyak perempuan di sekitar, menjadikan julukan Don Juan pun tersemat pada mereka. Terutama pada Malvin dan dirinya.

Hal itu berbeda dengan Samudra, yang memang sangat ramah tetapi cukup setia. Sedangkan Harry itu sama sekali tidak cocok dijuluki Don Juan, karena Harry adalah yang paling tenang dan penyabar di kelompok mereka, sekaligus paling tampan dan bisa dibilang sangat setia dengan pasangan.

Nick memutar tumit dan jalan menyusuri koridor panjang hingga tiba di ruangan sang ibu. Sepasang mata sipitnya memandangi wajah damai Ellina. Nick menghela napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Mengalihkan pandangan pada perempuan dewasa lain di ruangan itu yang merupakan asisten rumah tangga yang sengaja diangkut ke Singapura untuk merawat ibunya.

Pria berambut tebal itu mendudukkan diri di sofa dan merebahkan diri dengan tangan terlipat di belakang kepala. Tatapannya menerawang jauh, mengingat sosok sang kekasih yang kini berada jauh darinya. Nick sangat merindukan Erie dan ingin sekali bisa bertemu dengan perempuan itu, secepatnya.

***

Suara langkah kaki menuruni anak tangga membuat sepasang mata bulat milik Wiryani sontak menyipit kala menyaksikan ketiga anaknya tengah turun sambil berpegangan bak tengah bermain kereta api dengan diiringi nyanyian lagu anak-anak.

Perempuan berusia lima puluh tiga tahun itu menggeleng perlahan sambil mengeluh dalam hati melihat tingkah anak-anaknya yang seolah-olah tengah kembali ke masa kecil mereka.

"Bu, aku nanti mau pergi sama mas Harry," ucap Erie, sesaat setelah mendudukkan diri di kursi seberang.

"Ke mana?" tanya Wiryani sambil mendorong piring berisi gorengan ke tengah-tengah meja.

"Diajak ke restoran di Bekasi, untuk menghadiri acara ulang tahun pernikahan orang tuanya."

"Oh, oke. Kamu jangan lupa bawa kado buat mbak Yunia."

"Kira-kira, kado yang cocok itu apa, ya, Bu?"

Wiryani terdiam sesaat untuk mengingat-ingat kesukaan saudara jauh dari suaminya itu, kemudian menjawab, "Kasih buket bunga yang besar aja. Beliau kan suka bunga."

"Apa itu nggak terlalu sederhana?"

"Nggaklah. Perempuan manapun pasti akan senang kalau dikasih bunga. Apalagi dari orang yang disayangi."

Erie manggut-manggut. Dia paham maksud ucapan Wiryani. Tak lain dan tak bukan adalah keinginan mereka agar dirinya bisa berjodoh dengan Harry. Seperti halnya suaminya, Wiryani pun sangat menyukai Harry yang dianggap santun dan penyayang. Mereka bahkan sangat mempercayai pria muda tersebut dan mengira bila Erie memang tengah menjalin kasih dengan Harry selama satu tahun terakhir.

Lisa yang mendengarkan percakapan itu hanya diam dan berpura-pura fokus menatap layar ponselnya. Lisa adalah satu-satunya orang yang tahu hubungan Erie dan Harry hanya sebatas sahabat dan bukan pasangan. Akan tetapi, di hati kecilnya, gadis berpipi chubby itu juga lebih setuju bila Erie berjodoh dengan Harry daripada dengan Nick.

Saat Harry tiba satu jam kemudian, pria beralis tebal itu sedikit bingung ketika diajak ayahnya Erie ke ruang kerja yang berada di sisi kanan bangunan. Harry beradu pandang dengan Erie yang duduk di sampingnya. Mereka sama-sama bingung dengan apa yang hendak dibahas oleh Hendra, ayahnya Erie.

"Mas, ayah nggak akan berbasa-basi. Ayah cuma ingin tahu, kapan kira-kira orang tuamu akan datang untuk melamar Erie?" tanya Hendra seraya menyunggingkan senyuman.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status