Share

007 - Sambutan Irwan

Tak sampai setengah jam berselang, sebuah mobil jenis wagon memasuki halaman parkir gedung. Asih menghentikan pekerjaannya dan mengalihkan perhatian pada kendaraan tersebut. Sedangkan pekerja satunya tampak tak acuh.

Slamet jadi ikut-ikutan tertarik mengamati obyek yang sama. Di dalam hatinya jadi menebak-nebak, jangan-jangan ini pamannya yang datang.

Begitu pintu bagian pengemudi terbuka, senyum Slamet merekah. Meski jarak di antara mereka terhitung jauh, pemuda itu tahu betul yang barusan turun memang pamannya. Samuji.

"Itu Pak Samuji, Met," kata Asih memberi tahu.

Tanpa menjawab, Slamet turun dari kursinya dan melangkah keluar. Tak lagi kaget dengan pintu kaca yang otomatis terbuka ketika ada orang mendekat.

"Lik," panggil Slamet begitu sudah dekat dengan Samuji. Dia cium tangan adik ibunya itu dengan takzim.

"Wis awit mau, Met?" tanya Samuji, sambil mengusap-usap rambut keponakannya yang masih merunduk mencium tangannya.

"Nembe bae, kok," jawab Slamet yang kembali berdiri tegak. "Bapak karo Ibu nitip salam, Lik."

"Pada sehat kabeh?" tanya Pak Samuji lagi, menanyakan kabar kakak perempuan dan iparnya.

"Alhamdulillah, sehat-sehat kabeh," sahut Slamet.

"Ya uwis, njuh melu aku," kata Samuji. Tanpa berkata lagi dia langsung melangkah ke bagian dalam gedung. Naik tangga beberapa lantai ke atas.

Slamet mengekori di belakang Samuji. Ketika melewati Asih dan pekerja lelaki tadi, dia tersenyum dan menganggukkan kepala. Namun hanya Asih yang membalas, sedangkan pekerja satunya malah melengos.

Setelah naik tiga lantai, Samuji berhenti di satu ruangan mirip dapur. Letaknya di ujung, untuk ke sana harus melewati sederetan ruangan lain dengan deretan kubikel-kubikel rendah di dalamnya.

"Iki arane pantry, Met," kata Samuji yang berdiri di tengah-tengah ruangan.

Slamet menatap sekeliling tempat itu dengan raut penasaran. Ada kompor gas, ada galon air di atas dispenser, ada teflon dan ceret tergantung di dinding, juga rak besi berisi piring, gelas dan mangkok.

Di sudut lain terdapat rak lagi. Isinya rentengan minuman sachet, beberapa bungkus mi instan, juga beberapa bungkus roti tawar.

Di dekat rak itu ada sebentuk nakas tinggi, di atasnya berjejer toples-toples kaca bening yang menampakkan isinya. Yang hitam-hitam pastilah kopi, tetapi tiga lainnya yang sama-sama berwarna putih tak bisa Slamet tebak apa saja.

"Apa miki, Lik? Mantri?" ulang Slamet, tak yakin dengan pendengarannya sendiri.

"Pantry, Met. Pantry," tegas Samuji, sambil menatap keponakannya dengan sebal.

"Kaya dapur ya, Lik? Dapure wong sugih," respons Slamet, masih memandangi seisi ruangan dengan tatapan takjub.

"Ya pancen dapur asline. Cuman nek nang Jakarta kene arane pantry," jelas Samuji.

"Ooo ..." Slamet manggut-manggut.

"Kowe gelem kerja nang kene, Met?" tanya Samuji lagi. "Nek gelem, dina kiye wis bisa langsung kerja. Wingi aku wis ngomong karo Ibu Bos."

"Inyong dadi koki, Lik?"

"Kok koki, sih?" Samuji menatap keponakannya dengan terheran-heran. "Kiye kantor, Met, dudu warung tegal."

"Lha, tapi kiye kan dapur, Lik?" Slamet kebingungan. Dalam pemahamannya, bekerja di dapur ya berarti jadi juru masak alias koki.

"Pantry, Met, pantry." Samuji mengoreksi dengan nada kesal. Dia paham keponakannya masih lugu, tetapi lama-lama jadi menyebalkan juga.

"Terus, inyong kerjane apa?" tanya Slamet yang akhirnya tahu dia salah duga.

"Kowe mengko dadi office boy, pada Asih karo Irwan miki...."

"Irwan?" Slamet kembali keheranan. "Irwan sapa?"

"Sing miki karo Asih nang lobi, nang ngarep," jawab Samuji. "Kowe wong telu office boy lantai siji tekan papat. Ngerti?"

Mengerti tidak mengerti, Slamet mengangguk juga. Namun sudah sedikit tergambar dalam kepalanya apa saja pekerjaan seorang office boy. Mengepel lantai, mengelap kaca, serta bersih-bersih ruangan.

Lalu karena pamannya menunjukkan pantry ini, Slamet jadi menduga jika seorang office boy juga bertugas membuatkan minuman dan makanan. Untuk siapa? Entahlah, nanti dia bisa tanya pada Asih.

"Wis, mengko nek bingung gari takon Asih karo Irwan. Ya?" kata Samuji, lalu melangkah keluar pantry.

Ucapan tersebut membuat Slamet kaget karena bisa sama persis seperti yang ada di dalam pikirannya. Tanpa pikir panjang dia langsung mengangguk.

"Oya, siji maning, Met," imbuh Samuji yang berhenti di ambang pintu pantry. "Nek wis nang kantor ... eh, kalau sudah di kantor, jangan lagi pakai bahasa ngapak. Ngerti?"

Slamet melongo. Kenapa pula ada aturan begitu? Bagaimana kalau dia lebih nyaman berbahasa ngapak dengan sesama orang jawa banyumasan?

Namun lagi-lagi Slamet langsung mengangguk saja. Lagipula, masakan kalau cuma di dalam pantry begini tidak boleh berbahasa daerah? Sedikit-sedikit pasti bolehlah.

"Ya udah, Paklik mau mandi dulu. Tadi belum sempat mandi pas mau ke bengkel. Kamu sebaiknya turun, bantu-bantu Asih sama Irwan. Kerjain apa saja yang kamu bisa," kata Samuji lagi.

"Iya, Lik."

"Nanti kalau Bu Bos sudah dateng, aku anter kamu ngadep. Perkenalan, sekaligus biar kamu resmi kerja di sini," imbuh Samuji.

Habis berkata begitu, Samuji langsung pergi begitu saja. Langkahnya lebar-lebar, seperti tengah terburu-buru entah karena apa.

Slamet yang teringat sesuatu hendak menyusul pamannya. Namun baru sampai ambang pintu muncul seseorang menghalangi jalannya.

Karena tak menyangka bakal ada orang di hadapan masing-masing, tanpa ampun kedua orang itu bertabrakan. Lalu sama-sama terjengkang dan berseru kaget bercampur kesakitan.

"Sialan! Lu kalau jalan liat-liat, dong!" seru orang yang menabrak Slamet. Tahu-tahu saja orang itu sudah berdiri dan menatap Slamet dengan sorot mata sengit.

Masih terkaget-kaget, Slamet mengusap-usap dada untuk menenangkan jantungnya yang berdegup kencang. Napasnya juga jadi terengah-engah seperti habis berlari keliling lapangan sepakbola.

Perlahan Slamet bangkit pula, meski sambil meringis menahan rasa sakit. Ketika dia membalas tatapan orang tadi, kagetlah pemuda tersebut.

"K-kamu?" ucap Slamet, tergagap.

"Huh! Lu lagi, lu lagi!" Orang di hadapan Slamet bersungut-sungut kesal. "Lain kali ati-ati lu. Ini kantor, bukan ladang bukan sawah. Ngapain pake lari-lari segala? Dasar kampungan!"

Slamet menelan ludah. Dia tahu orang sedang merendahkan dirinya, tetapi pemuda itu memilih diam saja. Mengalah jauh lebih baik baginya, begitu yang sejak dulu diajarkan orang tua dan juga leluhurnya.

Lagipula, sejak awal bertemu di bawah tadi orang di hadapannya ini memang sudah menunjukkan sikap tidak ramah. Padahal Samuji berpesan agar dia banyak bertanya pada Asih dan orang ini, Irwan.

"M-maaf, Mas," ucap Slamet akhirnya. Meski untuk mengatakan itu dia harus menekan kuat-kuat emosi yang seakan hendak melompat hingga ubun-ubun.

Irwan menyeringai tak senang, lalu mengibaskan sebelah tangannya ke udara. Sambil terus menggerutu dia masuk ke dalam pantry dengan sikap pongah.

Slamet memerhatikan dengan tatapan nanar. Dilihatnya Irwan menghidupkan dispenser, lalu mengambil gelas dan sendok kecil, mengambil satu sachet kopi bubuk dan membukanya dengan gunting.

Tahu dirinya diperhatikan, Irwan mendelik pada Slamet. "Ape lu liat-liat? Sono pergi! Eneg gue lihat muka lu!"

"I-iya, Mas. Maaf," sahut Slamet, lalu pergi.

Jelas saja Slamet marah, tetapi dia harus mengalah. Ini hari pertamanya masuk kerja, jangan sampai membuat masalah.

=$$$=

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status