Share

006 - Kenalan Pertama

Slamet berdiri penuh kagum sambil mendongak. Mulutnya tak henti berdecak, dengan sepasang mata melebar dan kepala bolak-balik menggeleng-geleng.

Tepat di hadapan Slamet saat ini terdapat sebuah gedung tinggi menjulang. Entah berapa tingkat, yang pasti sangat banyak. Ini gedung tertinggi yang pernah Slamet lihat seumur hidup.

Hari masih sangat pagi. Gedung itu tampak sepi. Hanya terlihat beberapa orang memegang tongkat pel, sibuk hilir-mudik membersihkan lantai. Ada juga yang mengelap kaca.

"Bang, maaf, ini bayarnya mau cash apa pakai Kopay?"

Pertanyaan itu membuat Slamet tergeragap. Buru-buru dia berbalik badan, sembari merogoh saku celana untuk mengambil lembaran-lembaran uang di dalam sana.

"Maaf, Mas," ucap Slamet penuh rasa bersalah, sembari menyerahkan selembar uang kepada lelaki berjaket merah jambu di belakangnya. "Habis berapa?"

Lelaki berjaket merah jambu mengecek smartphone di tangan kirinya, baru kemudian menjawab, "Kalau menurut aplikasi sih, empat lima. Cuma kan, si Abang kaga pake aplikasi. Kasih empat puluh aja enggak apa-apa, deh."

"Oh, gitu ..." Slamet manggut-manggut, sambil menunggu kembalian.

Sejujurnya Slamet tidak mengerti beberapa istilah yang tadi dikatakan lelaki berjaket di depannya. Cash, Kopay, aplikasi, apa maksudnya itu semua? Di hape candy bar Slamet mana ada yang namanya aplikasi.

Yang Slamet tahu, ini saatnya membayar ongkos ojek dari tempat kos Samuji ke tempat ini. Ke gedung yang disebut pamannya sebagai kantor tempat bekerja selama di Jakarta.

"Mau ngelamar kerja, Bang?" tanya si lelaki berjaket, sembari mengulurkan beberapa lembar uang pecahan kecil. Ada tulisan KOJEK di bagian dada kanan jaketnya, juga di punggung dengan ukuran lebih besar.

"Iya," jawab Slamet cepat. "Mau ikut paklik kerja di sini."

"Oh, ada orang dalem ceritanya?" kata si lelaki berjaket lagi. Bibirnya menyunggingkan senyum yang terlihat aneh di mata Slamet.

Lagi-lagi Slamet tidak tahu apa maksud orang, tetapi malu juga kalau ketahuan tidak nyambung. Akhirnya dia hanya menyengir serba salah sebagai tanggapan.

"Masih ada lowongan, kaga?" tanya si lelaki berjaket lagi. "Gue udah lama pengin berhenti ngojek. Semakin ke sini orderan semakin sepi aja, nih."

"Wah, enggak tahu juga, Mas. Nanti coba saya tanya ke Paklik," jawab Slamet sekenanya. Sejujurnya dia bingung apa maksud orang di hadapannya ini.

"Sip!" Lelaki berjaket merah jambu tersenyum senang. "Nih, lu simpen nomer gue. Kalau-kalau ada lowongan, lu langsung kabarin gue. Oke?"

Slamet ragu-ragu apakah sebaiknya menerima secarik kertas yang disodorkan si lelaki berjaket atau tidak. Tengah dia berpikir-pikir begitu, orang di hadapannya sudah menggenggamkan benda itu ke dalam telapaknya.

"Inget, jangan lupa lu ngabarin gue kalo ada lowongan," ujar si lelaki berjaket, sebelum naik ke atas sepeda motor dan langsung pergi.

"I-iya, Mas," jawab Slamet, meski dia tahu sudah telat karena yang mengajak bicara sudah sangat jauh.

Setelah termenung beberapa kejap, Slamet menatap kertas berisi nama dan nomor telepon lelaki berjaket tadi. Semacam kartu nama, dengan logo KOJEK di salah satu sudutnya.

Arifin, demikian nama lelaki tadi. Di bawah nama itu ada tulisan "The Best Driver in Town". Lalu di bawahnya lagi ada sederet angka berjumlah dua belas. Nomor telepon seluler.

Slamet memang tak pernah mendapat juara kelas semasa sekolah. Namun dia tahu apa arti kalimat dalam bahasa Inggris tadi.

"Oalah, kalau di kota besar kaya Jakarta gini, tukang ojek disebutnya driver kaya sopir mobil," gumam Slamet, sambil memasukkan kartu nama ke saku kemeja dan melangkah menuju lobi gedung.

Dua muda-mudi berusia sepantaran Slamet sedang membersihkan area lobi. Keduanya mengenakan seragam sama. Yang perempuan mengepel lantai, yang lelaki mengelap kaca.

Mulanya Slamet bingung karena tak ada pintu. Bagaimana cara masuk ke dalam sana?

Tengah pemuda itu bertanya-tanya sendiri di dalam hati, dua lempeng kaca di hadapannya tiba-tiba saja bergeser sendiri. Langkahnya seketika terhenti.

"Eladalah!" Slamet terkaget-kaget. Hampir saja terloncat dari tempatnya.

Dua orang yang sedang bekerja di lobi sontak menghentikan gerakan mereka. Kemudian sama-sama memandangi Slamet. Ternyata seruan kaget pemuda asal Purbalingga itu sangat keras.

"Mau cari siapa?" tanya pekerja yang lelaki, sambil berjalan mendekati Slamet. Tatapannya tajam mengarah tepat ke manik-manik mata Slamet.

Ditatap seperti itu, Slamet jadi merasa bersalah. Buru-buru dia mengulurkan tangan, mengajak pemuda di hadapannya bersalaman.

"Maaf sudah ganggu, Mas," ucap Slamet dengan nada merendah. Tentu saja logat kental banyumasannya tak ketinggalan. "Saya mau ketemu Pak Samuji."

Yang diajak salaman malah bengong. Seumur-umur tinggal di Jakarta, belum pernah dia ketemu orang tidak dikenal yang langsung mengajak salaman begini. Salah-salah malah kena gendam.

Namun menyadari logat Slamet yang sangat kental, pekerja itu tahu pastilah sedang berhadapan dengan orang baru datang dari kampung. Maka meski dengan ogah-ogahan dia menyambuti uluran tangan Slamet.

"Pak Samuji?" ulang pekerja itu, ingin memastikan.

"Iya, Mas, Pak Samuji. Dia bener kerja di sini, kan?" sahut Slamet.

Bukannya menjawab, pekerja lelaki tadi menoleh pada temannya yang perempuan dan bertanya, "Pak Samuji driver itu, kan?"

Gadis yang ditanyai mengangguk, lalu menatap Slamet penuh rasa ingin tahu. "Kamu apanya Pak Samuji?"

"Keponakannya," jawab Slamet cepat. "Pak Samuji itu paklik saya, adik kandung ibu saya."

"Ooo." Pekerja lelaki tadi memonyongkan mulutnya. Kemudian berkata kepada temannya, "Lu punya nomernya Pak Samuji kan, Sih?"

"Ada. Bentar, aku telepon dulu," jawab si gadis, sambil merogoh smartphone di saku celana panjangnya. Tak lama kemudian dia sudah berbicara dengan seseorang.

Sambil menunggu, Slamet memerhatikan si gadis. Entah mengapa semakin lama dia seolah tengah berhadap-hadapan dengan Sari. Jantungnya seketika berdegup kencang.

Ah, kenapa masih mikirin Sari, sih? Sisi lain dalam diri Slamet mengingatkan. Sari pasti sedang sibuk mempersiapkan pernikahan dengan anak pejabat itu. Menantu pilihan Marni.

"Siapa nama kamu?" Pertanyaan pekerja perempuan tadi membuat lamunan Slamet buyar.

"Hah?" Bukannya menjawab, Slamet malah tergagap. Bukan apa-apa, setelah berhadap-hadapan begini dia merasakan ada pesona tersendiri dari si gadis pekerja.

Tadi teman gadis itu memanggil "Sih", siapa nama lengkapnya? Warsih? Winarsih? Mintarsih? Kamiasih?

"Nama kamu siapa? Ini Pak Samuji nanyain," ulang si gadis.

"Oh ..." Slamet cengar-cengir antara malu dan keki. "Slamet."

Si gadis kemudian kembali berbicara di telepon. Tak lama berselang dia menutup panggilan dan berkata pada Slamet, "Kamu tunggu sebentar di sini. Pak Samuji lagi ngambil mobil di bengkel."

Slamet manggut-manggut. "Terima kasih, Sih," ujarnya kemudian.

Si gadis tersenyum. Ekspresinya agak berubah karena mendengar namanya disebut. Padahal Slamet hanya ikut-ikutan pekerja lelaki tadi.

"Namaku Asih," ujar gadis itu, lalu mengulurkan tangan mengajak bersalaman. "Aku juga orang Jawa Tengah. Dari Kendal."

Kini gantian Slamet yang kaget. Buru-buru dia menyambut uluran tangan tersebut, sambil tersenyum mengetahui ada sesama warga Jateng Gayeng.

"Kendal?" ulang Slamet. Meski belum pernah ke sana, tetapi Slamet tahu di mana daerah itu terletak.

"Iyo, Weleri persise." Asih balas tersenyum. "Wis, kamu duduk aja sana. Pak Samuji bentar lagi ke sini. Aku mau lanjut kerja dulu."

"I-iya."

Slamet masih tersenyum. Entahlah, di matanya Asih terlihat sebagai Sari.

=$$$=

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status