Share

Kenyataan

Mustafa masih saja tidak mengerti. Dia mengamati semua arah. Tidak hanya manusia menunduk di hadapannya. Semua binatang, bahkan pohon dengan batangnya yang kuat ikut menekuk hingga daunnya menyentuh tahan.

“Apa ini?” ucapnya sekali lagi.

Zivana perlahan mengangkat wajahnya. Mustafa menatapnya tajam. “Kau adalah penyelamat kami,” katanya pelan sembari menganggukkan kepalanya.

Mustafa menggeleng keras. “Aku bukan penyelamat siapapun!” tegasnya melempar pedang legenda tepat di hadapan Zivana yang masih memasang tatapan kaku.

“Tang!”

Dentingan keras terdengar, saat pedang itu terkena kerasnya batu. Sontak membuat tanah bergetar. Mustafa berlari kencang meninggalkan mereka begitu saja. Zivana hanya diam menatapnya. Dia perlahan mengambil pedang yang masih memberikan kilauan cahaya di tanah, sembari menyorotkan pandangan kekaguman.

“Aku pikir pedang ini hanya kebohongan mereka untuk menakuti Ratu. Ternyata apa yang mereka katakan memang benar,” gumamnya kembali terkejut merasakan tanah bergerak membuat dirinya terjatuh.

“Putri!” Dengan sigap Pemimpin Prajurit menangkap tubuhnya. Semua mata kembali membelalak melihat singa putih mengaum keras, menghilang begitu saja tertiup angin.

“Kita harus menjaga pedang ini dengan aman, sampai dia kembali menerima kenyataan bahwa itu takdirnya.” Zivana membuat Pemimpin Prajurit mengangguk cepat. Dia menaiki kuda dan menghentakkan kakinya dengan keras. “Hiya!”

Kuda putih dengan rambut bercahaya milik Zivana berlari secepat angin diikuti semua prajurit yang mengawalnya.

***

Mustafa masih berlari kencang. Dia menghentikan langkah kakinya saat berada di ujung bukit.

“Apakah aku harus menuruninya lagi?” batinnya menatap tegang bawah bukit yang sudah menjadi rumahnya selama dua puluh tahun. Dia masih resah memikirkan peristiwa mengejutkan yang sama sekali tidak dia duga.

“Kenapa mereka semua menunduk kepadaku?” batinnya memejamkan kedua matanya.

“Mustafa!”

Suara Agha membuat Mustafa terperanjat. Dia merasa lega akhirnya menemukan Mustafa yang sudah menghilang selama beberapa jam. Mustafa hanya diam menatap Agha yang masih mengatur napasnya akibat berlari mencari dirinya.

“Kau …”

Mustafa melangkah mendekati Agha dan menepuk pundaknya. “Kau mengetahui semuanya. Aku melihatnya. Kau bersamanku sejak kecil. Ceritakan siapa diriku?” Agha sontak diam mendengar ucapan Mustafa. Dia kini berdiri tegak melepaskan tangan yang semula menekan perutnya.

“Apa yang ingin Anda tanyakan, Mustafa?” tanyanya membuat Mustafa semakin menyorotkan tatapan.

“Aku baru sadar jika kau berbicara sangat sopan kepadaku selama ini. Kau seperti seorang pelayan. Berbeda dengan Ibu dan Ayah. Aku tidak merasakan jika jiwaku memiliki darah yang sama dengan mereka. Siapa kalian?”

“Anda akan mengetahuinya jika saatnya tiba. Seperti perkataanku sebelumnya. Ahli ramal akan menjawab semuanya.”

“Kapan itu? Ada sesuatu dalam jiwaku. Katakan, Agha!” Pertanyaan tegas membuat Agha gemetaran.

“Aku merasa berbeda dengan pemuda lainnya. Aku bisa memperlajari bela diri dan menggunakan pedang dengan hebat dalam sekejap saat Ayah mengajariku. Sekarang aku lebih hebat dan kuat darinya. Bahkan aku mengalami semua hal aneh. Seakan alam bisa aku ajak berkomunikasi.” Kedua alisnya menukik tegas. Rahangnya mengencang. “Agha, siapa aku?” sambungnya.

Mustafa mengatur napasnya yang menderu, hingga dia merasakan sesuatu yang sangat tajam melesat ke arahnya. "Zab!" Dengan sigap Mustafa menangkap anak panah yang hampir saja menembus jantungnya. Dia spontan membalikkan tubuh, melihat sosok yang melakukannya.

“Siapa kau?” tanya Mustafa dingin.

“Hmm, aku akan membawa kepalamu. Ternyata kau tidak menakutkan seperti apa yang dikatakan mereka.” Tangannya terangkat ke atas, membuat puluhan prajurit yang berada di belakangnya menuruni kuda siap untuk membunuh Mustafa.

“Agha, jangan ikut campur. Kau tahu bagaimana kekuatanku. Percayalah jika aku bisa melawan mereka,” ucap Mustafa membuat Agha sedikit mundur dari posisi Mustafa.

Semua prajurit berlari mendekati Mustafa. Secepat angin dia melompat tinggi, melemparkan anak panah yang masih berada digenggamannya tepat menembus jantung salah satu prajurit. Dia berguling ke tanah, menghindari pedang yang menyerangnya dan menghujam lutut dua prajurit dengan kepalannya. Tangannya mengambil pedang yang tergeletak di tanah bercampur darah. Mustafa menebas semua prajurit seketika itu juga hingga tubuh mereka terbelah.

“Kau, turunlah, dan lawan aku!” Mustafa mengarahkan pedang tepat di wajah seseorang yang masih menatapnya dalam diam di atas kuda.

Tubuh tegap sosok laki-laki menggunakan baju kebesaran panglima prajurit tertinggi, langsung kaku dengan kedua mata terbelalak ketika dirinya melihat puluhan prajurit yang mengawalnya dengan mudah Mustafa kalahkan.

Mustafa masih saja diam menunggunya untuk menuruni kuda. Dia melangkah perlahan semakin mendekati kuda panglima dengan pelana emasnya. “Aku kali ini melepaskanmu. Katakan kepada seseorang yang menginginkan kepalaku! Aku secepatnya akan menemuinya,” ucapnya pelan namun tegas.

Panglima tertinggi menarik tali kemudi dan menghentakkan kakinya. "Hiya!" Dia meninggalkan Mustafa seperti seorang pengecut.

“Sri Sultan!” teriak Agha membuat Mustafa seketika terkesiap. Dia membalikkan tubuh menatap Agha yang menundukkan kepalanya.

“Agha, apakah aku …”

“Anda pewaris sah Sri Sultan,” kata Agha sekali lagi membuat Mustafa masih diam mencoba menenangkan dirinya.

“Siapa ahli ramal yang harus aku temui untuk menjelaskan ini semua?” Mustafa melangkah mendekati Agha yang kini mengangkat wajahnya.

“Ahli ramal Trisula. Ketiga peramal itu adalah jawabannya,” jawab Agha membuat Mustafa menarik dua kuda milik prajurit yang sudah tergeletak tanpa nyawa. “Kita akan ke sana!”

Agha melangkah cepat menaiki kuda yang berada di hadapannya. Dia menyusul Mustafa yang sudah menghentakkan kakinya, membuat kuda yang ditungganginya berlari kencang. “Hiya!”

Mereka menerobos hutan hitam menuju goa tempat ahli ramal. Mustafa terkejut melihat Zivana berada di sana membawa pedang Azeam mendahului mereka.

“Zivana?” tanyanya mengernyit sembari menuruni kuda disusul Agha. Mereka melangkah cepat memasuki goa. Mustafa dan Agha terkejut bukan main, menatap semua orang sudah menunduk menunggunya.

“Jelaskan, apa yang harus aku ketahui!”

Mustafa menatap ketiga ahli ramal bernama Trisula yang mengembangkan senyuman. Mereka sudah berumur seratus tahun. Namun wajah mereka tidak berkerut karena ilmu gaib melekat pada tubuh mereka. Salah satu dari mereka memegang batu bulat hitam mengeluarkan magnet. “Pangeran, kami ahli ramal bernama Trisula. Kami senang akhirnya bertemu dengan Anda. Peganglah, batu ini, Pangeran.”

Perlahan Mustafa menyentuhnya. “Hah!” Mustafa menyaksikan peristiwa mengerikan yang dia alami semasa kecil.

"Apakah ini kerajaan sesungguhnya? Semua alam itu menyambut diriku yang masih dilahirkan," batinnya terus menelusuri masa depan yang kini dilihatnya.

Langit tidak seperti biasanya. Cahaya malam yang diberikan bulan bersama pasangannya bintang, meruak tepat di atas kerajaan Zengini. Kerajaan terbesar dengan kekuasaan terhebat sepanjang masa. Seluruh alam bersama semua elemen penting kehidupan berputar menjadi satu di udara memberikan petunjuk hebatnya.

Semua rakyat berdiri tegang menatap keindahan alam itu. Sesuatu akan datang dengan dahsyatnya. Api, tanah, air, udara, bercampur melayang menghasilkan cahaya seterang tujuh matahari.

Berdirilah Sri Sultan Ali Bahadir Altan dengan tegak menatap pintu kamar sang Ratu tercantik istri sahnya Akasma yang berarti mawar putih berjuang melahirkan ahli waris kerajaan.

Jeritan Ratu semakin mencekam menyeringai telinganya. Semua ribuan prajurit berbaris rapi untuk berjaga di setiap sudut kerajaan terluas dengan kemakmuran semasa pimpinannya.

“Sultan, bayi Anda laki-laki,” ucap Panglima Perang Burak.

Seutas senyuman mulai terbit saat sang penguasa mendengar suara tangisan bayi. Kaki yang semula tegak berdiri, kini melangkah cepat. Penjaga dengan sigap membuka pintu kamar ketika Sultan beberapa langkah lagi akan menjangkaunya.

“Suamiku, ini anakmu.” Akasma memberikan bayinya. Tangan kuat Sultan dengan perlahan menerimanya. Kini bayi gagah bersinar itu berada didekapan ayahnya.

Suara sambaran petir terdengar mendadak. Angin bertiup kencang. Cahaya aneh seterang matahari masuk melalui atap kamar. Sultan bersama semua orang hanya menatap dalam diam. Perlahan cahaya itu masuk ke dalam kedua mata Pangeran.

“Mustafa Zulfikar. Itulah namamu,” ucap Sultan membawa Pangeran keluar untuk menemui rakyat yang sudah menanti dari balkon istana. Semua bersorak melihat sosok pemimpin alim nan bijaksana membawa ahli waris dengan mengangkatnya tinggi.

“Mustafa! Inilah pemimpin kalian!” teriaknya.

Suara tepukan semakin bergemuruh. Semua penghuni istana tersenyum bahagia. “Kau akan menjadi penggantiku, Mustafa,” gumamnya sembari mengurut kening anaknya.

Dengan perasaan bahagia tanpa batas, Sultan berjalan kembali ke dalam kamar sang Ratu. Hingga napas Sultan mendadak tersenggal. “Argh!” Tubuh tegap mendadak kaku dengan kedua mata terbelalak ketika dirinya merasakan sesuatu dari jubahnya.

“Tangkap Pangeran!” teriak Burak berlari mendekati Sultan yang tumbang tiba-tiba. Namun tangannya gagal meraih Mustafa yang terlempar ke lantai. Akasma hanya bergetar melihatnya. Dia masih lemas di atas ranjang hingga tidak bisa berbuat apapun.

“Mustafa!” teriaknya sembari mengulurkan kedua tangannya. “Tolong dia ...,” ucapnya lirih.

Semua prajurit berlari cepat mendekati Burak yang masih berdiri tegak menatap lantai marmer mewah meretak di bawah tubuh Mustafa. “Dia …,” katanya pelan menyorot tajam tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.

“Kenapa kau tidak segera mengambilnya!” Akasma membuat Burak terperanjat. Panglima tertinggi kerajaan itu spontan menarik tubuh Mustafa dan menggendongnya.

“Panggil tabib!” Burak mengangkat tangannya membuat semua prajurit berlari memanggil tabib istana.

Sultan tergeletak di tanah dengan mulut berbusa. Jubah emasnya mengeluarkan darah. “Kenapa Sultan?” batin Akasma memaksa tubuhnya yang masih lemas menuruni ranjang dengan bantuan pelayan.

“Suamiku, kau …” Kedua matanya mengernyit melihat sesuatu yang sangat ganjal. “Burak, ambilkan pedang suamiku. Aku akan menggendong anakku.” Perlahan Akasma menerima Pangeran dari tangan kekar Burak. Masih dengan kepanikan, Burak segera menuju ruangan istimewa Sultan untuk melakukan perintah Akasma.

“Darah itu …” Akasma gemetaran. Dia mengerutkan alis merasakan hal buruk di balik semua kejadian tidak terduga ini. Dalam pikirannya, pertama-tama dia harus menyelamatkan ahli waris kerajaan.

“Tekan patung itu. Bawalah Mustafa pergi jauh. Ini pertanda buruk. Konspirasi telah terjadi. Aku akan menunggunya kembali. Bawalah dia saatnya tiba. Cepat!”

Remaja laki-laki berusia 15 tahun bernama Agha yang sedari tadi di sebelah Akasma, tanpa bertanya menganggukkan kepala. Dia segera menerima Pangeran dari tangannya. Tanpa berpikir lagi, Agha bergegas masuk ke dalam jalan rahasia yang hanya diketahui Akasma.

Sesaat Agha menolehkan pandangannya untuk kembali menatap Akasma yang tersenyum ke arahnya. “Aku percaya denganmu, Agha,” ucapnya menganggukkan kepala.

Agha anak pertama dari kepala pelayan kesayangan Akasma yang selalu menemaninya, kini berlari kencang memeluk Pangeran. Suasana bahagia seketika menjadi mencekam. Dua kubu saling bertarung dengan hebat. Suara tajamnya pedang berdenting menyeruak keras. Teriakan bercampur rintihan membuatnya berlinang air mata. Agha terus berlari tanpa menolehkan pandangannya.

“Pangeran, aku akan menjagamu,” gumamnya sembari mengatur napasnya yang sudah sesak.

Dia menuju halaman belakang istana yang menjurus ke sungai. Dengan cepat, dilepaskannya tali penahan perahu yang melilit kayu tertancap di tanah.

“Hentikan, Agha!” Suara berat sontak mengejutkan Agha. Kedua matanya menatap tegang.

Sosok yang sangat dikenalnya dengan baik berada tepat di hadapannya menghunuskan senjata. “Kau …” Agha semakin tidak mengerti dengan situasi mengejutkan ini.

“Serahkan, atau kepalamu akan menjadi korban!” Sebilah pedang terangkat tinggi sudah siap membelah tubuhnya. Agha hanya bergemetar tanpa berucap. Kedua tangannya semakin mengerat pada tubuh kecil yang sama sekali tidak menangis. Wajahnya masih saja bercahaya. “Agha! Serahkan!” Dalam ketakutan, Agha masih diam.

Udara mendadak menjadi sarat. Tanah bergetar seketika, membuat semua orang tidak bisa berdiri dengan tegak. Langkah binatang buas dengan aumannya seakan terdengar keras, namun tidak ada siapapun yang bisa menemukan sosoknya. Semua sontak diam dalam tegang.

“Apa ini?” ucap seseorang mengamati sekitar sembari menggenggam pedang yang siap memisahkan kepala Agha dari tubuhnya.

Auman singa tiba-tiba menggelegar, membuat air sungai bergelombang dahsyat membasahi daratan dengan kejam. “Argh!” Jeritan semakin bersahutan saat air itu seketika menenggelamkan beberapa prajurit.

Agha tidak percaya air berubah menjadi telapak tangan yang menaikkannya ke atas perahu kemudian membawanya pergi dengan cepat. Semua prajurit yang masih mengejarnya ikut tenggelam begitu saja. Perahu terus berjalan menerjang derasnya arus hingga sampai menuju ujung batas sungai yang menjurus ke bawah. Agha mengeratkan pelukannya. Kedua matanya terpejam saat perahu itu mulai akan melewati bebatuan bercampur arus keras menuju ke bawah.

“Argh!” teriaknya berpegangan pada ujung perahu agar tidak terlempar keluar. Agha hanya bisa pasrah mengikuti kejadian menakutkan hari ini.

“Pangeran ..,” lirih Agha tersenyum menatap Pangeran yang menyorot tajam ke arahnya. Dia tidak kuat lagi menahan dirinya yang sangat kelelahan di atas perahu. Tubuhnya sangat lemah, tergeletak tidak sadarkan diri. Perahu terus berjalan mengikuti arus yang akhirnya tenang.

“Brak!”

Ujung perahu menabrak sebuah batu, menimbulkan suara keras yang mengejutkan penduduk saat sedang melakukan tradisi penghormatan leluhur.

“Ada dua anak di atas perahu ini!” teriak salah satu dari mereka saat memeriksanya.

“Bawa anak itu!”

***

Masa lalu yang terlihat, membuat Mustafa kini mengerti siapa dirinya. Namun dia melihat sesuatu yang lain. Sesuatu sangat menyeramkan akan dialami manusia masa depan.

“Siapa mereka?”

Mustafa kini merasakan getaran. Perasaan cemas pertama kali yang dia rasakan. Sinar matahari sama sekali tidak bisa dia lihat. Hanya penderitaan yang terlihat di sana. Kedua mata tegas bak bulan purnama itu tidak berkedip sama sekali menyaksikan masa depan kerajaan.

“Pangeran, lepaskan!” teriak pemimpin Trisula. Mustafa masih diam kaku. Dia bergeming.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status