Share

Dua Putri

"Keadaan bumi sangat mengerikan," batinnya dengan napas menderu.

Jiwa Mustafa masih mengingat saat terbawa ke masa depan. Dia melihat sesuatu dengan wajah menyeramkan selain konspirasi yang terjadi di kerajaan. Ratusan sosok dengan kedua mata semerah darah menyorotkan cahaya. Salah satu dari mereka dibalut baju zirah yang semuanya telah menjadi merah, duduk di atas kereta kuda bermata putih membawa pedang tengkorak.

“Pemberontakan terjadi saat kelahiran Anda, Pangeran. Seseorang merebut tahta yang seharusnya Anda miliki. Jubah Sultan Ali Ayah Pangeran beracun. Sultan meninggal saat menggendong, Anda. Rakyat menjadi menderita dengan pemimpin baru.” Perkataan Trisula semakin membuat Mustafa mengepalkan kedua tangannya.

“Lalu, apa yang harus aku lakukan?”

“Rebut kembali kerajaan. Hadapi mereka yang Anda lihat. Musuh yang sangat menyeramkan. Itulah, lawan Anda yang sebenarnya, Pangeran Mustafa. Mereka akan datang setelah tiga ratus enam puluh lima hari lagi. Karena itu adalah perjanjian mereka dengan iblis. Sebelum mereka masuk ke wilayah kita, Anda harus menjadi Sri Sultan.”

“Aku akan merebutnya!” Dengan tegas Mustafa berteriak, membuat semua kembali menundukkan kepalanya.

Mustafa masih saja menatap batu hitam yang memperlihatkan keburukan masa depan. Dia terkesiap saat Zivana kembali mendekatinya. “Ini milikmu.” Zivana menyodorkan pedang Azeam membuat Mustafa menghela napas.

“Kau pemiliknya,” ucap Zivana menganggukkan kepala membuat Mustafa perlahan menerimanya. Seutas senyuman alami keluar dari wajah sang Putri membuat Mustafa terpana sekali lagi.

“Indah,” katanya pelan. Seketika Zivana memalingkan wajah dalam semu. Dia keluar dari goa menaiki kudanya dan pergi begitu saja diikuti semua prajurit yang mengawalnya. Mustafa tersenyum, terus memandangnya yang sudah berlalu.

“Siapa dia?” tanya Mustafa memandang Trisula yang masih berada di sebelahnya.

“Putri kerajaan Alcatraz. Kerajaan yang sudah dijajah oleh Ratu sekarang. Ayahnya adalah sahabat Sultan Ali, Ayah Pangeran. Beliau juga meninggal saat pemberontakan itu terjadi. Putri kini pemilik kerajaan, namun di bawah kekuasaan Ratu kerajaan Zengini.”

“Siapa yang sudah memberontak untuk merebut kerajaanku?”

Mustafa kembali menatap tajam Trisula yang kini memandangnya dengan serius.

"Melihat masa depan harus beberapa tahap. Jika manusia melihatnya dengan sangat lama, jiwanya akan terbawa," jawaban Trisula yang tidak memuaskan Mustafa.

"Apakah keinginanku tidak bisa kau kabulkan?" ucap Mustafa tegas membuat pemimpin Trisula meletakkan telapak tangan kanan di atas kepala Mustafa, hingga dia kembali melihat apa yang terjadi.

"Dia, selir itu ... " Kedua mata tegas miliknya semakin memerah melihat sesuatu yang sangat mengerikan di sana.

“Aku tidak akan memaafkannya!” teriak Mustafa keras. Keringatnya mulai berucuran kembali melihat kenyataan yang sebenarnya.

Agha di sebelah, semakin cemas melihat ekspresi Mustafa. “Apakah dia akan baik-baik saja?” tanyanya yang hanya mendapat jawaban anggukan dari salah satu Trisula.

“Aku akan menyerangnya! Argh!” Mustafa memukulkan tangan ke tanah yang meretak seketika.

“Pangeran, tenanglah.” Agha spontan mendekati Mustafa yang kembali mendekati Trisula dan menatapnya tajam. “Aku ingin mendengar semua jawaban secara nyata.”

“Pangeran, jawaban yang sesungguhnya, akan Anda dapatkan saat menemui sang Ratu sesungguhnya. Dia masih hidup dan menunggu kedatanganmu.”

“Dia yang melahirkanku?” tanya Mustafa mendapat anggukan Trisula.

Mustafa masih saja diam memikirkan semua peristiwa hari ini. Sebuah kehidupan mendadak yang merubah segalanya. Selama dua puluh tahun dia tidak pernah memikirkan deretan kenyataan yang sebenarnya berada dalam bebannya.

“Mulai malam ini, aku akan memikirkan cara untuk merebut kerajaanku. Namun aku sepertinya membutuhkan pasukan.”

Trisula kembali menatap Mustafa setelah mendengar perkataannya. “Jangan menghabisi pasukan yang akan menyerang seorang wanita penghuni istana hari ini, Pangeran.” Sekali lagi perkataan Trisula yang penuh tanda tanya harus dia terima.

Mustafa menatap pedang Azeam yang memang melegenda. Dia baru sadar ketika melihat kenyatan yang ditunjukkan Trisula.

Saat kelahirannya, pedang legenda muncul kembali. Pemilik pedang sesungguhnya adalah Sri Sultan Abdullah yang sudah membela kerajaan dari pasukan bajak laut kejam yang kini dikutuknya seratus tahun lalu.

Pejuang hebat itu meninggal saat sakit melanda. Singa putih sahabat Abdullah bernama Aslan,  ikut terbunuh akibat panah racun dari seseorang. Namun sesuatu terjadi, membuat semua orang terkejut saat itu. Nyawa Aslan masuk ke dalam pedang hebat Abdullah yang meluap bersama udara.

“Hanya yang terhebat, akan menemukannya.” Suara berat bercampur alam terdengar keras dan menghilang tertiup angin. Semua orang takjub yang mendengarnya. 

***

“Agha, sampaikan kepada Ayah dan Ibu, aku akan pulang nanti malam. Aku ada urusan sebentar.” Mustafa melirik Trisula yang seketika menundukkan kepala.

“Baik, Pangeran.”

“Ceritakan siapa diriku kepada mereka. Aku akan datang saat tengah malam.”

Mustafa berjalan cepat menuju kudanya di luar goa. Dia dengan cepat menaikinya. “Hiya!” Dengan pandangan serius, dia mengendarai kuda yang berlari kencang.

Awan hujan semakin dekat, bergulung dari arah utara. Daun-daun yang gugur mulai beterbangan membelai rambut hitam seorang putri yang tengah berdiri di tengah hamparan luas sambil termenung menatap langit.

Senyumannya mengembang saat dia menerima rintikan hujan sudah menerpa tubuhnya. Napas pelan dikeluarkan. Kelopak matanya masih terpejam menikmati suasana hujan yang mulai mengguyur bumi.

Di belakangnya Mustafa berdiri tersenyum karena memandangi paras indah dan menawan Zivana. Rambutnya yang semula tersanggul, terlepas menderai indah. Mustafa ingin sekali menemuinya. Dia harus memastikan hatinya.

“Apakah kau tidak kedinginan?” Kelopak mata Zivana terbuka menatap sosok yang menggetarkan hatinya, menampilkan pandangan hangat di depannya. Kembali mereka saling memandang satu sama lain. Lekukan bibir dan sorot mata keduanya memancarkan kebahagiaan.

“Kenapa kau datang? Bukankah kau tidak mau berkenalan denganku,” ucap Zivana melewati Mustafa begitu saja.

Mustafa mengerti jika Zivana merasa kesal dengannya. Dengan cepat, Mustafa menarik lengan Zivana yang membuat sang putri menghentikan langkah. Zivana merasa telapak tangannya tergenggam. Tanpa sadar, dia membalasnya dengan sama erat.

“Apa yang kau lakukan di tempat seperti ini?” tanya Zivana sekali lagi, untuk menghilangkan rasa penasaran terhadap lelaki yang sangat dikaguminya.

Mustafa masih tersenyum, kemudian berkata dengan suara pelan nyaris seperti bisikan. “Aku membutuhkanmu.”

Kening Zivana semakin mengerut, kebingungan dengan apa yang dimaksud Mustafa. “Eh, maksudmu?”

Hela napas terdengar, Mustafa tertawa kecil. “Tidak perlu kau pikirkan. Ayo cepat. Kita harus berteduh.”

Mereka berlari dalam tawa. “Argh!” Langkah kaki Zivana terhenti saat terjepit batu. Dia mengernyit melihat atas tumitnya sedikit memerah. Kesadarannya penuh ketika ada seseorang yang berjongkok di hadapannya. Rasa sakitnya berganti malu. Telapak tangan kuat Mustafa mengangkat kakinya untuk terbebas dari batu yang menjepitnya.

“Apakah kau sudah merasa baik?” tanya Mustafa mendongakkan kepalanya membuat Zivana membalas tatapannya. Kini mereka berdiri saling memandang, tidak peduli derasnya hujan sudah membuat mereka basah kuyup. Jemari Mustafa membelai pipi Zivana yang memejam menikmatinya.

“Aku akan menyelamatkan kerajaan. Apa kau mau membantuku, Putri?” tanya Mustafa membuat Zivana tersenyum dan menganggukkan kepala. Mustafa menariknya menuju bawah pohon rindang untuk berlindung dari air hujan. Senyuman tidak hentinya mereka saling perlihatkan.

“Apakah kau yang memainkan musik itu?” Zivana mengangguk membuat Mustafa mengeratkan genggamannya.

“Hujan sudah berhenti. Kembalilah, Putri.”

“Apakah aku akan bertemu denganmu?”

“Kita akan bertemu setiap hari,” jawab Mustafa membuat kedua mata Zivana berbinar. Dia melepaskan telapak tangan Mustafa yang masih menggengggamnya. Sebenarnya dia enggan melakukannya. Zivana tersenyum hingga menaiki kudanya dan pergi.

Semua prajurit yang sebenarnya mengawal dari kejauhan, mengikuti Zivana diam-diam. Mereka saat itu membiarkan Mustafa menemui Zivana, karena kehadirannya membuat Putri selalu tersenyum. Selama ini Zivana selalu saja larut dalam kesedihannya. Hari ini semua prajurit setianya sedikit lega melihat wajah cerah itu kembali bersinar sejak kehadiran Mustafa.

Mustafa mendekati kudanya yang masih gagah berdiri. “Kau ternyata lebih cocok denganku dari pada prajurit itu,” katanya tersenyum sambil membelai rambut cokelat kuda yang sangat basah. Mustafa menepuk-nepuk tubuh kuda dengan tawaan kecil.

“Tolong!”

Jeritan dengan keras menyeruak dari dalam hutan. Mustafa melepaskan kain yang berada di lehernya, menutupi sebagian wajahnya. Dia dengan cepat menaiki kuda untuk menuju asal muasal pekikan yang semakin terdengar. Kakinya menghentak, membuat kuda berlari kencang. "Hiya!"

Mendadak Mustafa kembali menarik tali kemudinya membuat kuda terhenti. Dia terkejut melihat kereta mewah terhenti di tengah hutan. Kawanan perampok menghadangnya dan siap membunuh mereka.

“Berikan jepit itu! Aku memilikinya dari mendiang nenekku,” teriak seorang wanita di dalam kereta dengan suaranya yang sudah terisak. Sementara semua prajurit yang mengawalnya melawan perampok yang cukup banyak.

Mustafa akan mengeluarkan pedangnya. Namun dia mengurungkan niatnya. Pedang Azeam hanya akan melawan musuh yang tepat. Satu hal yang dia sadari dari perkataan Trisula. “Jangan menghabisi pasukan yang menyerang seorang wanita penghuni istana. Kereta itu … sangat mewah,” batinnya segera menuruni kuda.

Dia melingkarkan sarung pedang ke pelana kuda. Mustafa berjalan meraih batu lumayan besar yang berada digenggamannya. Dia berlari mendekati para perampok dan menghantam kepala mereka dengan batu hingga terkapar.

Semua prajurit sontak diam hanya menatap Mustafa dengan sekejap menghabisi puluhan perampok tanpa pedang. Kini mereka tergeletak di tanah namun tidak kehilangan nyawa. Mustafa tidak membunuh mereka dan membiarkan pergi berlari kecuali satu orang yang membawa penjepit rambut.

“Berikan, atau kau kehilangan nyawamu!” katanya tegas membuat perampok itu melemparkannya. Dengan sigap Mustafa menangkap, membiarkan perampok itu berlalu. Mustafa melangkah menuju kereta, menyodorkan penjepit bunga mawar di jendela kereta yang masih tertutup tirai.

“Terimalah.” ucap Mustafa.

Seketika jemari lentik dengan cat kuku merah membuka tirai. Seorang wanita dengan mahkota berhiaskan berlian merah, menatap Mustafa tanpa berkedip. Kedua mata Mustafa bak bulan purnama, seketika membuat Putri tersenyum di saat wajahnya masih sembab. Mustafa meninggalkannya begitu saja tanpa berbicara setelah Putri menerima penjepit rambutnya.

“Hiya!” Mustafa kembali menghentakkan kuda, secepat angin dia menghilang.

“Siapa dia?” ucap Putri masih terpana.

“Putri, sebaiknya kita segera menuju istana. Ratu akan sangat marah jika Anda terlambat.”

Prajurit yang masih selamat dari serangan perampok, segera mengendarai kereta secepatnya menuju kerajaan Zengini. Di dalam kereta, Putri masih melamunkan Mustafa sambil menggenggam erat penjepit rambut miliknya. Seutas senyuman terus terbit menghiasi wajahnya.

“Dia sudah memikat hatiku. Siapa dia?” batinnya terus bergejolak.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status