"Kalau Reno enggak kenapa-kenapa, terus kenapa kamu nangis gini?" tanya Mami. Sepertinya wanita itu tidak mudah untuk aku bohongi."Mas Reno ... kena meningitis, Mi," jawabku akhirnya. "Sisil takut ...."Mami langsung memelukku. "Reno pasti sembuh, Sil. Nanti Mami akan minta biar Reno ditangani dokter terbaik di sini. Kamu tenang aja!"Namun, air mataku tak bisa begitu saja berhenti mengalir karena aku tahu sakit Mas Reno yang sebenarnya. Suamiku itu seumur hidupnya tidak akan pernah bisa sembuh. Bahkan ada kemungkinan aku dan Cilla ikut terkena juga."Sudah, Sil. Semua pasti baik-baik aja. Mami sama Papi akan pilihkan pengobatan yang terbaik untuk Reno." Mami terus mengelus punggungku dengan lembut."Ma ...." Mas Reno memanggilku tanpa membuka matanya."Iya, Mas. Gimana?" Mami mengurai pelukan dan kami langsung mendekati Mas Reno."Pusing ...." Mas Reno mencengkeram kepalanya. "Tolong, mintain obat," pintanya masih sambil memejamkan mata."Sebentar aku tanya perawat dulu, Mas." Karen
"Gimana kabarnya, Bu Sisil?" tanya Dokter Rahardian membuat aku terjaga dari lamunan."Ah, ba-baik, kok, Dok."Dokter Rahardian kemudian menghela napas panjang. Sementara aku menundukkan kepala. Aku malu bertemu kembali dengan dokter itu dalam kondisi seperti ini. Rasanya aku seperti menjadi manusia kotor karena penyakit yang diderita Mas Reno, karena kemungkinan besar kalau Mas Reno benar-benar positif, maka aku juga positif."Aku baca rekam medis Pak Reno, beliau sebelumnya udah pernah cek, ya?" tanya Dokter Rahardian memulai pembicaraan.Aku mengangguk. "Iya, Dok.""Bu Sisil sendiri udah pernah cek juga?""Sudah." Sungguh, kalau bisa aku ingin masuk ke dalam bumi saat ini juga. Aku tidak pernah bermimpi sama sekali akan bergelut dengan penyakit kotor ini sebelumnya. Aku malu, aku merasa diriku kotor, menjijikan. Walaupun aku belum tes lagi dan belum tahu hasil tesku seperti apa."Jadi, waktu itu ada peristiwa yang membuat kalian berdua memutuskan untuk cek?"Aku mengangguk. Aku suda
Tiga hari dirawat di rumah sakit, kondisi Mas Reno semakin membaik. Sakit kepalanya ia bilang sudah berkurang. Dalam pikiranku, besok pagi Mas Reno sudah diizinkan pulang. Dokter Rahardian pun mengatakan kalau hasil tesnya bisa diambil ke rumah sakit bersamaan dengan Mas Reno kontrol."Ma, aku mau ke toilet," ucap Mas Reno saat aku menekuri ponsel membaca-baca soal HIV."Ah, iya." Kuletakkan ponsel kemudian beranjak mendekati Mas Reno. Kubantu Mas Reno turun dari tempat tidur kemudian menuntunnya ke toilet sembari memegangi tiang infusnya."Bisa sendiri?" tanyaku saat Mas Reno hendak memasuki toilet."Bisa."Selama Mas Reno di toilet, aku berdiri di depan pintu."Sudah, Mas?" tanyaku saat Mas Reno keluar.Mas Reno mengangguk. Namun, ada yang beda dari saat ia masuk ke toilet. Laki-laki itu cegukan."Loh, Mas, kok, cegukan?" tanyaku khawatir. "Iya, nih. Enggak tahu."Aku kemudian kembali menuntun Mas Reno menuju tempat tidurnya.Aku memang sangat khawatir dengan kondisi Mas Reno. Wala
Aku sudah tidak selera makan sama sekali sejak Mas Reno tidak sadarkan diri. Setelah dilakukan pemeriksaan lebih lanjut, Mas Reno dinyatakan koma. Suamiku itu juga terkena toksoplasma. Apalagi sebabnya kalau bukan karena daya tahan tubuhnya telah digerogoti virus mengerikan itu.Aku takut. Sangat takut. Apa jadinya aku dan Cilla jika Mas Reno sampai tidak mampu lagi bertahan? Apalagi kalau ternyata aku dan Cilla juga positif HIV. Rasanya, akan lebih baik kalau kami bertiga mati bersama."Sil, sabar ...." Mami mengusap-usap punggungku yang berguncang karena menangis. Aku tidak mampu untuk tidak menangis lagi. Semua ini terlalu berat untukku. Dunia ini seperti sudah kiamat bagiku. Aku sudah tidak punya masa depan lagi."Reno pasti bisa bangun lagi, Sil." Kali ini Papi yang menenangkanku.Kedua orang tua Mas Reno hanya tahu kalau Mas Reno terkena meningitis dan toksoplasma. Mereka tidak tahu penyebab Mas Reno sampai mengidap penyakit dua mematikan itu sekaligus. Aku belum mampu. Sungguh
Jika boleh menyesali keputusan yang telah diambil, maka aku sangat menyesal telah memutuskan untuk tidak bercerai dengan Mas Reno. Seandainya dulu aku teguh untuk meninggalkan Mas Reno atas pengkhianatan yang telah dilakukannya kepadaku, tentu saat ini aku tidak akan pernah memegang dua lembar kertas mengerikan ini.Ya, kini di tanganku telah ada kertas yang menyatakan hasil tesku dan Cilla. Dan kami berdua dinyatakan positif. Apakah aku menangis?Tidak. Aku bahkan seperti tidak tahu lagi bagaimana cara menangis. Hatiku seperti beku oleh penyesalan yang teramat menyakitkan. Aku merasa sangat berdosa kepada Cilla. Karena seolah-olah aku membuat ia dilahirkan hanya untuk menerima penyakit terkutuk ini.Dan saat ini, yang ada di kepalaku, aku ingin membawa Cilla pergi ke sebuah tebing, lalu meloncat dan kami mati bersama. Hanya itu.Aku tidak bisa membayangkan bagaimana Cilla tumbuh dengan penyakit mengerikan ini. Melihat Cilla menerima hinaan, bulian, cemoohan, diasingkan, dan dijauhi
"Sil, kamu ngomong apa barusan?" tanya Mami sembari menatapku tak percaya.Bibirku mengatup rapat. Beku. Namun, air mataku menjawab pertanyaan Mami. Dengan deras cairan hangat itu membanjiri pipiku. Di luar dugaan, Mami langsung memelukku."Mami tahu, ini berat buat kamu, Sil. Mami juga merasakan hal yang sama. Tapi, kamu harus yakin, Sil, Reno pasti akan kembali baik-baik saja. Percaya sama Mami."Aku masih belum bisa berkata-kata, hanya bisa menangis menumpahkan semua kesedihan dalam pelukan Mami."Kalau kamu lelah bolak-balik rumah sakit dan rumah, kamu istirahat aja dulu. Urusan Reno biar Mami sama Papi yang urus. Kamu fokus urus Cilla aja, ya?"Aku menggeleng sembari menjauh dari tubuh Mami. "Aku enggak bisa sama Mas Reno lagi, Mi," ucapku masih dengan berurai air mata."Kenapa kamu bilang gitu, Sil? Ada apa?" Mami mengguncang bahuku. Aku yakin, Mami yang mengenalku tahu kalau ada sesuatu yang membuatku ingin bercerai dari Mas Reno. "Ayo, kita ke kantin! Kamu kayaknya butuh minu
Usai mendengar berita dariku, Mami seperti hilang ditelan bumi. Wanita yang selama ini selalu menguatkanku itu sudah lebih dari satu minggu sama sekali tidak pernah lagi menghubungiku apalagi datang ke rumahku. Sekadar menanyakan kabar Cilla pun sudah tak pernah. Entah apa yang terjadi. Aku pun tidak berusaha mencari tahu. Sejak saat itu, aku juga sudah tidak pernah lagi membesuk Mas Reno. Biarlah, dia menjadi urusan Mami dan Papi. Rasanya aku sudah cukup dia buat menderita dengan hadiah mengerikan yang ditularkannya padaku dan Cilla. Saat ini aku hanya ingin fokus dengan kesehatanku dan Cilla."Bu Sisil harus benar-benar menjaga kesehatan. Karena pasien HIV biasanya akan kalah justru oleh penyakit lain. Bu Sisil tau, penderita HIV tidak punya imunitas seperti orang sehat. Jadi, usahakan kondisi Bu Sisil dan Cilla selalu dalam kondisi baik."Beberapa kali mendengar nasehat dari Dokter Rahardian, aku mulai sedikit terbangun dari keterpurukan. Meski aku masih belum bisa berdamai, apala
"Mi, Sisil minta maaf ...." Kugenggam dengan erat jemari wanita yang selalu menguatkanku ini. Aku benar-benar tidak menyangka hal ini akan terjadi pada Mami. Karena setahuku, selama ini kondisi kesehatan Mami baik-baik saja. Wanita itu tidak memiliki keluhan kesehatan apapun."Sejak Reno masuk rumah sakit, tensi Mami naik," jelas Papi tadi."Aku minta maaf, Mi, aku enggak pernah perhatiin Mami. Sampai aku enggak tahu kondisi Mami sedang enggak baik." Kuciumi jemari Mami yang terasa dingin.Sungguh, aku sangat menyesal telah menceritakan dan berkata seperti itu pada Mami. Mami pasti sangat syok waktu itu. Dan selama tidak ada kabar dari Mami, aku benar-benar mengabaikan wanita yang telah sangat baik kepadaku ini."Sisil benar-benar minta maaf, Mi."Kucium pipi wanita yang matanya sejak tadi terpejam dengan rapat. Selang-selang yang menunjang kehidupan Mami terpasang di hidung dan mulutnya. Aku sungguh tidak tega melihat itu. Terlebih saat mendengar bunyi monitor yang memantau kondisi M