Share

Bab 1

Nana

Jadi mahasiswa itu terkadang menyenangkan, namun juga terkadang tidak. Menyenangkan saat dosen tidak masuk tanpa memberikan tugas apa pun. Itu rasanya seperti pecah bisul di pinggul.

Lega banget!

Dan tidak menyenangkan saat bertemu dosen yang sukanya kasih tugas numpuk seperti cucian kotor di kosan. Kalau cucian kotor, dan malas untuk mencuci tinggal kasih laundry. Masalah beres. Nah, kalau tugas numpuk mau dikasih ke siapa? Orang lain pun tidak akan cuma-cuma memberikan kerja otaknya untuk mengerjakan tugas punya orang. Pasti harus ada uang pesangon.

Di awal bulan, menghamburkan uang jajan itu enak sekali. Tanpa memikirkan risiko melarat di akhir bulan. Kalau sudah akhir bulan, ujung-ujungnya puasa senin dan kamis. Jika ada teman yang ngajak jajan di tanggal tua, jangan sekali-kali kamu jawab; sorry gue puasa, soalnya dompet gue lagi seret.

Jangan begitu. Itu harga diri anak kos!

Bilang saja; sebagai hamba yang taat, bukan hanya yang wajib yang harus dijalankan, tapi yang sunnah juga.

Dan tanggapan dari teman-temanmu akan satu berbanding sembilan. Satu orang percaya, dan sembilan orang tidak percaya sama sekali. Ya, begitulah anak kos. Harus tahan banting. Apalagi pas melihat teman jajan bakso super pedas di akhir bulan, sementara anak kos harus gigit jari sambil menelan liur yang hampir menetes.

Perkenalan dulu, aku gadis ayu dari Solo. Kuliah di kota Megapolitan dan menjadi anak kos. Namaku Naditya Pramesti. Dari cerita Ibuku, konon katanya terjadi sebuah perdebatan sengit antara Ayah dan Uti. Uti bersikeras menolak usulan Ayah soal nama Naditya, karena itu nyerempet ke nama Aditya yang lebih cocok diberikan untuk anak laki-laki. Sementara Uti ingin memberikan nama bayi yang baru Ibu lahirkan itu—yang tidak lain adalah diriku, yaitu Seruni.

Ayah menolak, baginya memberikan nama untuk putrinya adalah sebuah kewajiban. Dan kalau saat itu aku sudah bisa bicara, aku pun pasti akan menolak. Akan kubilang pada Uti; aku nggak mau nama Seruni. Itu terlalu kolot. Memangnya aku hidup di zaman purbakala.

Pada akhirnya Ayah yang menang, dan Uti harus berlapang dada. Tapi jiwa orang tuanya memang tidak bisa dihilangkan. Uti memaksa Bude memberikan nama Seruni saat bude melahirkan anak keduanya. Dan Bude tidak bisa menolak. Jadilah, Seruni itu sepupuku.

Jangan salah. Arti namaku itu indah sekali. Naditya itu artinya matahari, dan Pramesti artinya permaisuri. Jika digabungkan arti namaku itu permaisuri yang bersinar seperti matahari. Ayah berharap aku tumbuh dan bersinar seperti matahari. Fungsi matahari itu memberi sinar terang pada bumi. Dan Ayah ingin suatu saat nanti—jika aku sudah sukses, aku bisa menjadi sinar terang untuk keluarga dan siapa pun orang yang membutuhkan bantuanku.

Aku kuliah di salah satu Universitas Swasta di Jakarta, semester 6, fakultas sastra Indonesia. Jangan ditanya kesibukanku selama kuliah. Aku tidak bisa menghitungnya. Demikian perkenalan singkatku. Kini waktunya kembali pada realita.

Sore hari, biasanya aku jogging di taman kota. Sekadar menjaga badan tetap segar dan tidak mudah lelah. Maklum, jadi mahasiswa itu terkadang harus kerja lembur bagai kuda demi mengerjakan deadline tugas.

Aku berlari santai sambil mendengarkan musik. Setiap sore taman kota banyak dikunjungi warga. Sekadar bersantai atau pun pacaran. Rekomendasi tempat yang bagus untuk melipir sejenak dari penatnya aktivitas dan kemacetan kota.

“Aduh, maaf.”

Saking asiknya bersenandung sampai tidak sadar jika ada anak kecil di depanku. Aku menabraknya hingga terjatuh. Anak kecil yang berjenis kelamin cowok itu menangis histeris sambil memegangi lututnya yang lecet. Usianya sekitar dua tahunan. Itu hanya prediksiku, kalau salah mohon dimaafkan. Soalnya aku belum punya anak. Boro-boro punya anak, pacar pun aku tidak punya.

“Ssttt... Jangan nangis dong. Maafin Kakak ya, Dek?” Aku berusaha membujuknya untuk berhenti menangis. Mataku celingak-celinguk ke kanan dan ke kiri untuk memastikan anak ini pergi dengan siapa.

“Kamu ke sini sama siapa?”

“Hiks... hiks...”

Bagus. Bukannya dijawab, tangisannya malah semakin kencang. Dasar anak kecil.

“Dek, mau nggak Kakak kasih permen kapas?”

Anak itu mengangguk di sela tangisannya.

“Oke.” Aku berseru girang. “Kakak beli dulu ya, kamu jangan ke mana-mana. Itu lukanya nggak papa kok, bentar lagi sembuh.”

Iyalah gue sogok pake cotton candy.

Aku mengambil langkah cepat mendekati pedagang cotton candy. Membeli dua cotton candy berukuran sedang. Satu untuk anak kecil tadi dan satu untukku.

“Mampus! Tuh Om-om bapaknya kali ya.” Aku bermonolog. Langkah kakiku tiba-tiba berhenti. Menatap horor pria yang kini jongkok di depan anak kecil itu, sementara si anak sudah berhenti nangis dan asik menjilat es krim. Kabur jangan nih?

Seorang Nana pantang mundur sebelum tempur. Aku melanjutkan langkah mendekati anak kecil itu. “Selamat sore, Om,” sapaku kaku.

Dan reaksi si Om tidak kalah kaku. Ralat, bukan kaku tapi sangar dan dingin. Tatapan matanya itu lho, merinding. Sampai-sampai bulu ketiak sampai berdiri. Ralat, maksudku bulu roma.

Aku nyengir. Sedangkan, tidak ada respons yang diberikan si Om. Ia berdiri, disusul oleh anak kecil yang kutabrak tadi. Anak itu masih sesenggukan dan merangkul tangan si Om. Meskipun sesekali dia menjilati es krim.

“Saya Nana, Om. Saya yang tidak sengaja nabrak anak Om,” cicitku. Lalu beralih menatap anak kecil yang kutabrak tadi. Membungkukkan badan biar tinggi kami setara. “Kakak punya permen kapas buat kamu. Katanya tadi mau permen kapas.”

Anak kecil itu mengangguk antusias. Ia mengambil satu cotton candy dari tangan kananku. Lalu membuka plastik putihnya sebelum si Om menginterupsi.

“Jangan Aa. Nanti Bunda marah lho,” katanya. Berinteraksi sama anaknya lumayan ada ekspresinya. Si Om berusaha merebut cotton candy dari tangan anaknya, tapi anaknya cerdas. Ia langsung kabur. Seketika si Om menatapku. Horor!

“Lain kali jangan membeli makanan sembarangan buat anak kecil. Itu tidak sehat.”

Si Om menceramahiku setelah aku berbaik hati menghibur anaknya yang cemberut. Dasar tidak tahu terima kasih.

Aku berdeham setelah melongo beberapa detik. Memperhatikan cotton candy yang masih utuh di tanganku. Lalu, aku mengasongkan cotton candy itu pada si Om yang berhasil membuat dia menaikkan satu alisnya.

“Oh, ini untuk Om aja. Biar nggak rebutan sama anaknya. Sekali lagi saya mohon maaf ya, Om.”

Lagi-lagi ia bergeming. Tidak ada tanggapan sama sekali.

Ini Om-om kok nyebelin banget. Sok galak. Tapi kenapa ada yang mau sama dia.

“Saya bukan anak kecil. Dan saya bukan Om kamu,” pungkasnya sebelum meninggalkanku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status