Nana |
Mahasiswa itu harus serba bisa. Bisa makan di sela-sela mengerjakan tugas, bisa bergosip saat dosen menerangkan materi kuliah, bisa membuka catatan kecil saat UAS atau UTS, bisa presentasi tanpa membuka materi, dan pastinya bisa mendekati dosen agar nilai UAS tak jelek-jelek amat.
Sastra Indonesia, bagiku mempelajarinya butuh ketelitan sebab sifatnya dinamis dan ambigu. Dia berjalan seiring perkembangan zaman. Sastra itu pasti identik dengan puisi dan prosa. Puisi dibagi dua, puisi lama dan puisi baru atau modern. Pun dengan prosa. Ada prosa lama dan prosa modern. Satu lagi yang terlewat adalah drama.
Di semester 6 kali ini, ada mata kuliah sanggar sastra. Dosen memerintahkan untuk mementaskan sebuah drama sebagai tugas kelompok. Dalam satu kelas dibagi ke dalam lima kelompok. Tema cerita bebas asal tidak diadaptasi dari cerita dongeng atau novel yang sudah ada. Tenggat waktu yang diberikan untuk mempersiapkan naskah sekaligus menghafal naskah selama satu bulan. Sebelum akhirnya digelar pementasan drama di aula yang akan ditonton oleh mahasiswa lain.
Keributan terjadi saat kelompokku menyusun tema dan konsep drama yang ingin kami usung. Semua ingin menang sendiri.
“Kalau temanya marriage life gimana? Jadi nanti konfliknya pelakor gitu,” usul Maria. Dia anak rantau asli Papua. Rambutnya ikal dan pendek. Kulitnya hitam manis, dan dia amat cerewet. Acap kali apa yang dia ucapkan sulit dimengerti karena menggunakan dialek daerahnya.
“Lo mau ngalahin sinetron apa gimana?” tanya Aron, si Unta Arab yang memiliki brewok tipis.
“Kan lagi viral, Ron. Apalagi di akun-akun gosip tuh banyak kali pelakor.” Maria berusaha memperjuangkan usulannya.
“Jangan pelakor deh.” Aron menolak ide Maria. Tampak Maria menghela napasnya kasar.
“Temanya kemerdekaan aja gimana? Perang-perangan gitu.” Wawan juga angkat bicara. Wawan ini keturunan sunda-betawi.
“Perangnya pake apa, Wan?” timpal Bowo.
“Pake senjata mainanlah. Kalau senjata alami gue cuma punya satu. Ketangkasannya akan gue buktikan abis kawin nanti.”
Otak Wawan memang kurang sesendok.
“Bangke. Gue sunat sampe abis, biar lo nggak bisa beranak.” Aron menoyor kepala Wawan.
Sebenarnya anggota kelompokku itu berjumlah delapan orang. Hanya saja yang dua tidak hadir. Mungkin malas karena mengerjakan tugas di hari libur. Begitu pun diriku. Hari libur itu seharusnya tidur seharian tanpa ingat mandi, tetapi hari libur kali ini terpaksa bangun pagi untuk kerja kelompok di rumah Aron yang ditunjuk sebagai ketua kelompok untuk membahas tugas drama kami.
“Gimana kalau judulnya Cinderella Milenial?” Anjani juga tidak mau kalah untuk memberikan usulannya. Anjani ini tipe Chelsea Islan—Cewek langsing dan seksi idaman setiap lelaki tampan. Salah satu primadona yang ada di kelas. Pastinya akan dijadikan pemeran utama dalam pementasan drama nanti.
Kalau aku, jangan tanya peranku apa. Pemilik rambut mirip Pak Tarno yang panjangnya sebatas bahu ini pastinya tidak akan disetujui untuk dijadikan pemeran utama. Aku pasrah saja, yang terpenting nilaiku setara dengan nilai mereka nanti.
“Lo Cinderella-nya dan gue pangerannya ya?”
Nah, si Unta Arab langsung berbinar cerah. Siapa yang menolak pesona Anjani? Aku yakin semua mahasiswa baik yang tampan maupun yang standar berlomba-lomba mendapatkan perhatian Anjani. Tapi Anjani cenderung cuek. Makanya jika ada kesempatan, jangan dilewatkan begitu saja.
“Gimana kalo Putri Tidur aja. Gue jadi pangeran yang akan membangunkan Putri Tidur yang diperankan Jani dengan bibir kissable gue,” ujar Bowo dengan seringai jahilnya.
“Najis!” tolak Jani. “Na, kasih usul kek. Dari tadi diem aja.” Anjani yang kebetulan duduk di sebelahku akhirnya sadar dengan kehadiranku.
“Gue pusing denger kalian debat,” keluhku, memasang wajah malas seraya berselonjor.
“Lo ada ide nggak, Na?” tanya Aron.
“Hmm...” Kali ini aku mulai ikut berpikir. Bertopang dagu sambil memutar otak. Barangkali ada ide yang nyasar di kepalaku sehingga keinginan untuk pulang dan tidur lagi segera terpenuhi.
“Ada sih. Kita bikin semacam drama musikal gitu. Temanya percintaan. Gue punya empat tokoh. Misalnya Jani, Aron, Bowo, dan gue. Jadi nanti ada satu pasangan. Jani dan Aron. Cowoknya romantis. Lo pada tahu kan definisi cowok romantis bagi cewek?” Aku melempar pertanyaan untuk mereka yang menyimak.
“Kasih bunga?” tebak Wawan.
Aku mengangguk. “Selain itu?”
“Nyanyi sambil ngegitar buat ceweknya, atau candle light dinner?”
“Itu juga termasuk.”
“Terus? Konfliknya gimana?” tanya Jani.
“Jani sahabatan sama gue dan Bowo. Nah, Bowo suka sama Jani tapi nggak berani nembak. Sementara diam-diam gue suka jalan sama Aron. Selingkuh deh istilahnya.”
Amit-amit. Jangan sampai alur yang kubuat terjadi di dunia nyata.
“Oke. Terus nanti ketahuan?” tanya Maria.
“Jelas dong. Jani marah, dan mutusin Aron. Dan saat itu juga Bowo muncul sebagai penyelamat. Bowo selalu menghibur Jani. Sampai Jani sadar kalau Bowo ternyata selalu ada buat dia,” tutupku.
Terkadang aku bangga dengan diri sendiri yang memiliki imajinasi yang membludak.
“Nah, konsepnya drama musikal nih, otamatis harus ada yang nyanyi. Jadi nanti tiap ada masalah nyanyi, terus di ending ada backsong romantis.”
“Klise nggak sih?” Mata Jani membidikku.
Musnah sudah harapanku dalam sekejap.
“Iya, sih. Agak klise,” jawabku sedih.
Untuk apa meminta pendapatku kalau akhirnya ditolak secara tidak langsung. “Ya udah. Gue nurut apa kata kalian deh. Percuma juga mulut gue sampe berbusa,” ketusku.
Inilah akibatnya kalau satu kelompok bersama orang-orang yang mengakui dirinya pintar.
“Gimana kalau Siti Nurbaya?” Wawan kembali memberi usul. “Keren banget kan itu novel. Bisa kita bedah inti ceritanya buat naskah drama. Gimana?”
“Kan nggak boleh adaptasi dari novel yang udah ada, Wawan,” balasku ketus.
“Oh, iya ya.” Wawan menggaruk kepalanya sambil tertawa kecil. Dasar bakwan gosong!
“Gimana kalau Preman Pensiun?”
“Seperti sinetron judul,” sahut Maria.
“Judul sinetron, Kriwil. Lo itu ngomong pake di bolak-balik,” komentar Wawan.
“Itu maksudku.” Maria nyengir.
Begitulah Maria dengan segala kepolosannya.
“Gue punya alur yang berbeda. Sini-sini merapat gue bisikin alurnya.”
Anehnya, kami merapat dengan raut penasaran. Aron membisikkan idenya. Kami menyimak dengan serius apa yang disampaikannya.
Cukup masuk akal. Tapi siap-siap saja, peranku hanya akan jadi figuran.
“Cocok ya?” tanya Aron setelah bercerita.
“Udah ambil aja yang itu. Masukin unsur komedi biar nggak garing,” kata Bowo.
Semuanya satu paham dengan Bowo, kecuali aku yang memilih membisu sejak ideku ditolak.
Please, itu sakit banget. Bagaimana kalau cinta gue yang ditolak?
“Gue tulis dulu prediksi tokoh-tokohnya.” Aron membuka buku catatannya dan menulis. “Sabrang nama premannya. Terus Jamilah cewek yang disukai Sabrang. Ini pemeran utamanya. Yang mau jadi Sabrang siapa?”
“Lo aja deh, Ron,” jawab Bowo.
“Iya lo aja. Muka lo cocok,” celetuk Wawan.
“Serius lo berdua. Nggak mau saingan buat membelai pipi Jani nanti.” Aron mengerling nakal.
“Gue tabok lu!” ancam Jani sangar.
“Nana jadi Aisyah ya, orang ketiga dalam hubungan Sabrang dan Jamilah.”
“Aaaa aisyah kujatuh cinta, papapa pada Jamilah.” Wawan malah bernyanyi sambil tertawa. “Harusnya jangan preman pensiun, tapi preman tik-tok,” celetuknya lagi.
“Iyalah, si Bowo nih harusnya jadi pemeran utama,” timpal Maria.
“Diem kalian!” Aron geram. “Jadi Aisyah sama Sabrang sahabatan. Mereka dijodohkan dari kecil, tapi orang tua Aisyah tidak setuju karena pekerjaan Sabrang. Tapi Aisyah cinta mati sama Sabrang, dia patah hati pas tahu Sabrang suka Jamilah.”
“Kok gue jadi yang tersakiti sih?” protesku.
“Ini cuma peran, Na,” jawab Aron.
Plato mengatakan, Sastra adalah hasil peniruan atau gambaran dari kenyataan (mimesis). Sebuah karya sastra harus merupakan peneladanan alam semesta dan sekaligus merupakan model kenyataan. Oleh karena itu, nilai sastra semakin rendah dan jauh dari dunia ide.
Gambaran dari kenyataan? Aku harap sastra dalam hidupku itu kenyataan yang menyenangkan. Tidak apa-apa jika hidupku tidak sepuitis dan seromantis diksi dalam sastra, asal hidupku berwarna.
“Ya udah,” jawabku pasrah.
Daripada dihempas ke ujung Antartika, mending menurut saja.
“Oke. Kalau gitu nanti malam gue kerjain naskahnya. Besok gue sebar di grup. Kalau ada yang kurang, kalian bisa nambahin,” putus Aron.
“Siap, Ron!” Semua menjawab kompak.
“Kasih tahu Anto sama Agnes juga ya.”
“Sip. Aku nanti chat Agnes,” kata Maria.
“Oke, diskusi ditutup sampai sini. Besok abis kuliah kita kumpul lagi.”
“Siap, Capt!”
Aron memang punya sifat leadership yang bagus. Dia bertanggungjawab dan bisa mengayomi anggotanya. Tidak salah jika dosen sering kali mempercayainya sebagai ketua kelompok.
Galih Lo tahu efek negatif dari patah hati yang berkepanjangan? Malas mencari pasangan lagi. Itu salah satu yang gue alami setelah tiga tahun yang lalu gue mengalami patah hati super dahsyat di saat gue ingin serius sama wanita yang gue cintai. Tapi lagi-lagi kenyataan itu buat gue sadar, kalau cinta memang bulshit! Gue tidak akan percaya lagi dengan satu kata yang diagung-agungkan manusia itu. Tiga tahun ternyata tidak mampu menyembuhkan sakit hati dalam diri gue. Bahkan tidak mampu mengeluarkan dia dari dalam hati gue. Apalagi kehidupan gue masih direcoki wanita yang membuat hati gue hancur sehancur-hancurnya. Gue pernah hampir menikah. Tanggal dan waktu sudah ditetapkan. Pernikahan itu gagal karena calon istri gue hamil anak mantan pacarnya sendiri. Mantan yang membuatnya gagal move on. Sampai cara licik pun mereka tempuh. Gue juga pernah berekspektasi tinggi, sampai memikirkannya pun merinding. G
NanaSaat mentari berada tepat di atas kepala, aku baru pulang dari rumah Aron dengan menggunakan jasa ojek online.Di hari libur, kosan sepi. Penghuninya seperti keluar dari penjara. Mereka refreshing dari padatnya aktivitas kuliah. Sementara aku kebalikannya, stay di kosan dan memilih jalan-jalan sehabis kuliah jika tidak ada tugas.Saat hendak membuka pintu, ponselku berdering. Aku mengecek ponsel terlebih dahulu, siapa tahu itu penting. Ah, rupanya dari Ibu.“Assalamualaikum, Na.”“Waalaikumsalam, Bu.” Aku mengapit ponsel di antara telinga dan pundak, kemudian membuka pintu kosan. Melanjutkan sambungan telepon sambil rebahan di atas kasur.“Kamu sehat kan, Nduk?” Sebagai anak tunggal dari pasangan Kamal Pahlevi dan Mulyani, acap kali Ibu meneleponku untuk sekadar bertanya apa yang sedang aku lakukan. Dulu waktu aku memutuska
NanaSebagai mahasiswa, haram hukumnya untuk tertindas di kelas. Jangan mau dikucilkan, karena dosen tidak akan mengenal namamu, apalagi alamat rumahmu dan kedua orang tuamu jika kamu tidak memperjuangkannya sendiri. Tunjukkan sepandai apa kamu bisa mengambil hati dosen, sepandai apa kamu bisa membuat dosen selalu mengingat namamu.Aku tidak cerdas. Tapi aku mampu melakukan apa pun yang harus aku kerjakan. Bertanya di setiap kesempatan setelah dosen menerangkan mata kuliah, itu wajib hukumnya buatku. Karena dari situ, dosen akan mengingat wajahku juga namaku. Pada akhirnya, dosen melihat potensi dalam diriku.Pintar itu tidak perlu ditunjukan secara berlebihan. Bermainlah dengan cantik, niscaya bukan hanya kepintaran yang kamu dapat, namun juga kecerdasan dalam berpikir logis.Mantap bukan apa yang barusan aku jabarkan? Tentu, karena itu merupakan kalimat bijak dari Ayah yang dia berikan padaku. Kalimat Ayahlah yang menjadi motivasiku untuk mel
NanaApa yang menjadi definisiku tentang dokter selama ini? Iya, seorang yang mengabdi untuk kesehatan manusia, seseorang yang ramah dan sabar menghadapi berbagai karakter pasien. Yang tidak mudah terpancing emosi, dan menurutku setiap dokter itu karismatik.“Lo kenapa diem aja dari tadi?” Rani menyenggol lenganku.Lamunanku buyar sejak melihat kejadian dokter yang memarahi koasnya tadi.“Ran, lo inget dokter yang lo bilang horor tadi?” tanyaku.“Inget. Lumayan cakep, Na. Eh, bukan lumayan sih, tapi beneran cakep. Kenapa emang?”Aku akui, dokter Galih itu tampan. Sayang, ia memberikan kesan buruk di awal pertemuan kami.“Gue pernah ketemu sama dia di taman. Dia sama anaknya waktu itu.”Aku dan Rani duduk di kursi tunggu ruang inap ibunya Beni. Rani bahkan menahan diri untuk langsung masuk ke dalam, demi mendengar ceritaku.“Oh, dia sudah menikah. Teru
NanaKurang baik apa aku sebagai mahasiswa? Meski di belakang menggerutu, menjelek-jelekkan dosen, bahkan mungkin sampai membuat telinga dosen itu berdengung, tetap saja aku mengerjakan semua tugasnya. Serumit apa pun tugas itu tetap aku kerjakan dengan maksimal.Jangan salah paham dulu. Aku lebih sayang sama nilaiku daripada dosenku. Kuberi tahu, dosen di fakultasku tidak ada yang muda. Kebanyakan sastrawan masa lalu yang merangkap jadi dosen. Penampilannya beragam, rata-rata dosen laki-laki itu rambutnya gondrong. Hal yang biasa, karena fakultas sastra Indonesia terkenal unik, seunik dia merangkai kata menjadi kalimat yang indah.Ada satu dosen yang memang tampan. Sayangnya, itu bukan di Fakultasku, tetapi fakultas ekonomi. Tetapi jangan lupakan realita, dosen muda sudah tak single lagi. Memang, karena dia sudah menikah dan beranak satu. Patah hatilah semua mahasiswa yang mengidolakannya.Kembali ke topik awal dan lupakan soal
NanaAku berselancar ke instagram. Mencari akun owner dari Raighin Caffe. Setelah menemukan akun instagramnya aku mulai melihat-lihat postingannya. Postingannya tidak banyak, kebanyakan tentang menu-menu makanan. Aku scroll sampai bawah. Satu foto anak kecil mengusik perhatianku. Aku mengklik foto tersebut, sepertinya aku pernah melihat anak ini? Ah, iya, anak yang kupikir adalah anaknya dokter Galih.“Eh, ini kan anak yang sama dokter Galih waktu di taman.”Ucapanku membuat Rani mendongak. Ia menatapku bingung. “Anak yang mana?”“Ini, Ran. Anaknya owner Kafe ini.” Aku menunjukan foto anak itu pada Rani. Kami mengobrol sambil berbisik-bisik karena masih berada di Kafe.“Ah, lo salah kali, Na. Masa iya itu anaknya dokter Galih? Mbak Raina tuh udah punya suami, Na,” balas Rani pelan. Matanya celingak-celinguk. Mungkin takut tiba-tiba Mba
Nana Sejujurnya aku tidak pernah membayangkan ada di posisi ini. Canggung sekali. Bayangkan satu mobil dengan lelaki yang baru dikenal. Lelaki yang pernah aku cap galak, karena memang galak. Rasanya tidak keruan. Sejak tadi aku mengatupkan bibir, ingin memulai obrolan pun malu. Dokter Galih sebenarnya tidak memaksa untuk ikut bersama mobilnya. Hanya saja aku tidak enak menolak ajakannya, biarlah toh hanya sekali ini saja aku bertemu dengannya. Ekor mataku melirik dokter Galih yang fokus mengemudi. “Rumah kamu daerah mana?” Ah, akhirnya dia memancing obrolan. “Di Solo, Dok.” Kudengar kekehan geli darinya. Aku bertanya-tanya dalam hati, jawabanku tidak salah, bukan? “Bisa aja bercandanya,” katanya. “Rumah saya emang di Solo, Dok. Saya ngekos di Jakarta.” Aku berusaha menjelaskan. “Oh, kamu merantau?” tanyanya mengerti. “Iya.” “Saya kira asli Jakarta. Pantesan dialek Jawany
NanaBerita tentang Ayah menjadi pukulan terberat untukku. Pikiranku selalu ingin pulang, buyar, dan tidak fokus. Bahkan saat latihan drama sepulang kuliah pun, Aron dan pemain lain beberapa kali menegurku yang sering salah berdialog dan banyak melamun.Selepas berlatih drama, aku mengutarakan alasan mengapa aku tidak fokus hari ini. Aku juga meminta izin pada Aron untuk pulang lebih dulu karena ingin menemui dokter Galih dan berkonsultasi tentang penyakit Ayah.Aron masih berdiam diri, antara ingin mengizinkanku pergi atau tidak. Sementara anggota kelompok yang lain juga sama sekali tidak membantu, hanya saja berdera perang mulai berkibar saat Anjani dengan lantang berasumsi.“Lo nggak bisa main izin aja, Na. Waktu kita nggak banyak. Kita harus benar-benar mateng kalau nggak, semuanya hancur,” katanya seakan tidak memiliki hati nurani.Aku berusaha tidak terpancing. Anjani memang egois. Tidak mementingkan perasaan oran