Galih
Lo tahu efek negatif dari patah hati yang berkepanjangan?
Malas mencari pasangan lagi. Itu salah satu yang gue alami setelah tiga tahun yang lalu gue mengalami patah hati super dahsyat di saat gue ingin serius sama wanita yang gue cintai.
Tapi lagi-lagi kenyataan itu buat gue sadar, kalau cinta memang bulshit! Gue tidak akan percaya lagi dengan satu kata yang diagung-agungkan manusia itu. Tiga tahun ternyata tidak mampu menyembuhkan sakit hati dalam diri gue. Bahkan tidak mampu mengeluarkan dia dari dalam hati gue. Apalagi kehidupan gue masih direcoki wanita yang membuat hati gue hancur sehancur-hancurnya.
Gue pernah hampir menikah. Tanggal dan waktu sudah ditetapkan. Pernikahan itu gagal karena calon istri gue hamil anak mantan pacarnya sendiri. Mantan yang membuatnya gagal move on. Sampai cara licik pun mereka tempuh.
Gue juga pernah berekspektasi tinggi, sampai memikirkannya pun merinding. Gue menyimpan cerita tentang masa depan di otak gue waktu itu, waktu dia masih jadi milik gue. Masa di mana gue jadi suami dan dia istri. Wajah dia yang tidak akan bosan gue pandangi setiap bangun tidur, wajah lelah dia saat menerima klimaks dari permainan panas kami di atas ranjang, wajah sumringahnya ketika menunggu gue pulang kerja. Itu semua sudah gue bayangkan. Tapi semua lenyap. Tidak ada dia dalam masa depan gue. Dia sudah menjadi milik orang lain.
Namanya Raina, semua orang mengakui dia cantik. Dia memiliki darah Australia yang mengalir dari kakeknya. Dia wanita cerewet, judes, ceria, tukang pukul, tapi gue suka. Dia yang menyadarkan gue kalau ternyata cinta itu ada bukan sekadar cinta satu malam, yang ketika lo puas lo langsung hempas wanita itu. Raina menyadarkan gue arti perjuangan dan pengorbanan dalam cinta. Dan dia yang membuat mata gue terbuka selebar-lebarnya tentang cinta yang tidak harus memiliki.
Drrtt... Drrtt...
Lamunan gue buyar saat ponsel yang gue letakkan tepat di atas kepala gue bergetar. Gue segera bangkit dari posisi berbaring, mengambil ponsel. Melihat ID call yang tertera dengan nama Raina.
“Hallo... Om Gagal, Naka rindu.”
Suaranya masih menjadi favorit gue. Tapi gue sadar, dia bukan milik gue lagi.
Selepas perpisahan itu, gue memang sempat menghindar. Gue tidak mau menemuinya. Tapi, saat Naka lahir, gue sadar, apa yang gue lakukan itu sia-sia. Gue tidak mendapat kepuasan dari apa yang gue inginkan.
“Om, indu.”
Itu suara Naka. Ranaka Bagaskara Ryder. Anak yang lahir dari rahim wanita yang gue cintai. Anak dari mantan sahabat gue. Dan Raina sengaja membuat Naka supaya dekat sama gue. Manggil gue Om Gagal. Katanya itu panggilan kesayangan dari Naka.
“Kamu atau Bunda yang rindu sama Om?”
“Bun, indu Om?” Naka bertanya pada Raina. Jawaban Raina tidak lama terdengar, tapi sukses membuatku tersenyum kecut.
“Bunda rindunya sama Ayah.”
Sinting!
“Tanya sama Bunda dong, A. Bunda mau ngapain telepon Om?”
“Bun, Om.”
Mau tidak mau bibir gue melengkungkan senyum mendengar suara polos Naka. Sedetik kemudian ponsel sudah berpindah ke tangan Raina lagi.
“Gal, Naka itu kan tiap sore suka diajakin bapaknya main ke taman kota. Nah, dia lagi merengek sekarang minta ke tam—”
“To the point bisa nggak sih, Rain?” keluh gue.
“Naka ngajakin kamu jalan-jalan ke taman.”
“Kan biasa sama bapaknya.”
“Kalau ada bapaknya, aku nggak mungkin minta tolong sama kamu. Raka masih ada rute penerbangan.”
Ya, Raina tidak mungkin telepon gue pas ada Raka di rumah. Urusannya ribet. Karena gue masih tidak bisa nahan hawa nafsu gue buat tidak mukul dia. Sebab api permusuhan antara gue sama Raka belum juga padam. Meski Raina mencoba memadamkannya, itu percuma. Karena api itu sudah menghanguskan sebagian besar rasa respek di hati gue buat Raka. Suami Raina yang dulunya merebut Raina dengan cara licik dari tangan gue.
“Ya udah sama kamu aja jalan-jalannya. Gampang, kan?”
“Sisi lagi demam, Gal. Aku nggak mungkin ninggalin dia sendirian di rumah. Mama pagi pengajian sama ibu-ibu komplek soalnya. Please, Gal. Bantuin aku. Aku pusing Naka ngerengek terus padahal aku lagi ngurusin Sisi dulu.”
Raina itu penyayang anak kecil. Anak tiri pun dia perlakukan seperti anak kandungnya sendiri. Dia sangat menyayangi Sisi, meski Sisi bukan anak kandungnya. Karena sebelum menikahi Raina, status Raka adalah duda beranak satu.
“Bentar lagi otw.”
“Yeay, makasih Om Gagal. Naka tunggu di rumah ya.”
Sambungan terputus. Gue beranjak ke kamar buat ngambil kunci mobil, lalu meluncur ke rumah sang mantan. Tidak ada yang salah bukan tetap menjalin komunikasi dengan mantan? Walaupun mantannya itu sudah membuat gue kecewa.
Naka itu tipikal bocah anteng yang tidak rewel meskipun beradaptasi dengan orang baru. Naka cukup dekat sama gue. Kalau gue ajak jalan, Naka tidak pernah merengek minta pulang. Gue juga tidak mengerti kenapa bisa begitu. Saat gue tanya ke Raina, dia hanya jawab; aku bilang sama Naka kalau kamu itu Om super baik.
Gue ajak Naka berkeliling di taman kota sesuai perintah ibunya. Ia membeli balon gas bergambar spongebob. Naka bakal anteng kalau diberi mainan, ia akan fokus pada mainan itu tanpa mempedulikan sekitar.
“Om, es klim,” tunjuk Naka pada pedagang es krim. Gue kira dia tidak akan meminta jajan yang lain.
“Aa mau?”
Naka mengangguk antusias.
“Om beli dulu ya, Aa tunggu di sini.”
“Iya, Om.”
Gue menghampiri pedagang es krim yang jualan di pinggir taman kota. Gue beli satu es krim rasa mangga kesukaan Naka. Tuh, gue sampai hafal es krim kesukaan bocah itu. Setelah membayar, gue balik ke tempat di mana Naka gue tinggal. Dari kejauhan Naka berjongkok sambil menangis. Gue buru-buru menghampirinya. Bisa diamuk ibunya kalau gue bikin anaknya nangis.
“Kenapa, A?”
“Cakit, Om,” keluhnya sesenggukan. Ia meraba-raba lututnya yang lecet.
“Astaga! Kamu jatoh?”
Naka mengangguk.
“Sini, Om tiupin. Nih, makan es krimnya.” Gue membuka bungkus es krimnya dan memberikannya pada Naka. Selepas itu gue meniup pelan lutut Naka. Untung goresannya tidak parah.
“Selamat sore, Om.” Seseorang menyapa.
Gue menaikkan pandangan. Tampak seorang gadis manis dengan rambut sebahu berdiri sambil memegangi dua buah cotton candy. Gadis itu tersenyum kaku pada gue. Dan gue berdiri, disusul oleh Naka yang merangkul lengan gue.
“Saya Nana, Om. Saya yang tidak sengaja nabrak anak Om,” cicitnya.
Sembarangan gue dipanggil Om! Muka gue nggak setua itu.
Lalu dia membungkukkan badannya di depan Naka. “Kakak punya permen kapas buat kamu. Katanya tadi mau permen kapas.”
Naka mengangguk antusias. Ia mengambil satu cotton candy. Lalu membuka plastik putihnya sebelum gue mencegahnya. Bisa makin diceramahi ibunya kalau Naka makan permen.
“Jangan Aa. Nanti Bunda marah lho,” bujuk gue sambil berusaha merebut cotton candy dari tangan Naka, tapi Naka kabur dengan cepat.
Gue menatapnya datar. Dia salah tingkah. “Lain kali jangan membeli makanan sembarangan buat anak kecil. Itu tidak sehat.”
Gue dengar ia berdeham setelah melongo beberapa detik. Memperhatikan cotton candy yang masih utuh di satu tangannya yang lain. Lalu mengasongkan cotton candy itu pada gue. Gue menaikkan satu alis.
“Oh, ini untuk Om aja. Biar nggak rebutan sama anaknya. Sekali lagi saya mohon maaf ya, Om.”
Sialan!
“Saya bukan anak kecil. Dan saya bukan Om kamu,” pungkas gue sebelum mengejar Naka.
Setelah berhasil mengejar Naka, gue langsung antar dia pulang. Sudah bisa gue prediksi kalau Raina akan mendumel panjang lebar karena lecet di lutut Naka.
“Kamu apain Naka sih, Gal? Lututnya Naka jadi lecet gitu.” Dia berkacak pinggang. Padahal anaknya asyik mengemut cotton candy.
“Naka ditabrak orang pas aku beli es krim. Ya udah, lain kali nggak usah memintaku ngajak main Naka. Percuma juga.” Entah kenapa emosi gue sering kali naik setiap mengingat pengkhianatan Raka dan Raina tiga tahun silam. “Aku balik.”
Rasanya tidak perlu basa-basi lagi. Gue hendak berbalik badan ke arah pintu, nama gue kembali dipanggil. Terpaksa gue diam di tempat lagi.
“Makasih ya.” Suara Raina mengalun manis di telinga gue.
“Buat apa?” tanya gue tanpa menatap. Sejak gue pisah sama dia, gue berusaha keras buat tidak menatap manik matanya. Sebab mata itu yang membuat gue jatuh cinta dulu, bahkan mungkin hingga sekarang.
“Buat kamu yang udah mau nerima Naka.”
Iman gue lemah, meski berusaha membatasi diri, nyatanya gue ingin sekali menatap keteduhan di matanya. Dan itu membuat gue goyah lagi. “Hanya untuk sementara,” cetus gue memutus kontak mata.
Butuh waktu sepuluh detik untuknya kembali berbicara dengan nada sedih. “Aku berharap kamu tetap kayak gini sama Naka. Kamu boleh benci sama aku dan Raka. Tapi, tolong. Jangan libatkan Naka dalam masalah itu. Naka nggak salah, Gal. Naka nggak seharusnya menjadi pelampiasan amarah kamu.”
“Iya.”
Gue pernah bersugesti pada diri gue sendiri. Gue hadirkan pikiran negatif gue buat Naka, bahwa karena adanya dia dalam perut Raina waktu itu membuat gue sama Raina tidak bisa bersatu. Tapi hati kecil gue menolak, dan gue sadar gue masih punya hati nurani. Bayi yang lahir itu tidak salah.
“Aku balik ya.”
Raina mengangguk.
Gue lantas mengelus pipi Naka yang asyik minum susu di atas sofa. Habis makan es krim dan cotton candy. Sekarang bocah itu langsung minum susu. “Om Gagal pulang dulu ya.”
Naka hanya mengangguk-anggukan kepalanya.
“Astaga! Aku lupa. Bentar, Gal, jangan dulu pulang.”
Gue mengernyit saat Raina kembali mencegah untuk segera enyah dari rumah yang dindingnya dipenuhi figura foto keluarga ini. Foto pernikahan Raka dan Raina, foto waktu Raina hamil, hingga foto Naka dari fase ke fase. Hati gue berdenyut nyeri.
“Ngapain lagi?” tanya gue.
“Tunggu bentar.”
“Oke,” jawab gue malas.
Raina berlari ke arah dapur. Gue menunggunya sesuai perintah. Ia muncul lagi dengan kotak tupperware di tangannya. Kedua alis gue bertaut menatap tupperware yang dia asongkan.
“Buat kamu makan malam.”
“Hah?”
“Badan kamu bisa makin cungkring kalau jarang makan. Masakanku aman kok, nggak aku campur racun tikus.”
Gue ambil tupperware makanan itu. “Thanks. Kotaknya gue balikin kapan-kapan ya. Gue balik kalau gitu. Bye.”
Raina melambai. “Dadah Om Gagal.”
NanaSaat mentari berada tepat di atas kepala, aku baru pulang dari rumah Aron dengan menggunakan jasa ojek online.Di hari libur, kosan sepi. Penghuninya seperti keluar dari penjara. Mereka refreshing dari padatnya aktivitas kuliah. Sementara aku kebalikannya, stay di kosan dan memilih jalan-jalan sehabis kuliah jika tidak ada tugas.Saat hendak membuka pintu, ponselku berdering. Aku mengecek ponsel terlebih dahulu, siapa tahu itu penting. Ah, rupanya dari Ibu.“Assalamualaikum, Na.”“Waalaikumsalam, Bu.” Aku mengapit ponsel di antara telinga dan pundak, kemudian membuka pintu kosan. Melanjutkan sambungan telepon sambil rebahan di atas kasur.“Kamu sehat kan, Nduk?” Sebagai anak tunggal dari pasangan Kamal Pahlevi dan Mulyani, acap kali Ibu meneleponku untuk sekadar bertanya apa yang sedang aku lakukan. Dulu waktu aku memutuska
NanaSebagai mahasiswa, haram hukumnya untuk tertindas di kelas. Jangan mau dikucilkan, karena dosen tidak akan mengenal namamu, apalagi alamat rumahmu dan kedua orang tuamu jika kamu tidak memperjuangkannya sendiri. Tunjukkan sepandai apa kamu bisa mengambil hati dosen, sepandai apa kamu bisa membuat dosen selalu mengingat namamu.Aku tidak cerdas. Tapi aku mampu melakukan apa pun yang harus aku kerjakan. Bertanya di setiap kesempatan setelah dosen menerangkan mata kuliah, itu wajib hukumnya buatku. Karena dari situ, dosen akan mengingat wajahku juga namaku. Pada akhirnya, dosen melihat potensi dalam diriku.Pintar itu tidak perlu ditunjukan secara berlebihan. Bermainlah dengan cantik, niscaya bukan hanya kepintaran yang kamu dapat, namun juga kecerdasan dalam berpikir logis.Mantap bukan apa yang barusan aku jabarkan? Tentu, karena itu merupakan kalimat bijak dari Ayah yang dia berikan padaku. Kalimat Ayahlah yang menjadi motivasiku untuk mel
NanaApa yang menjadi definisiku tentang dokter selama ini? Iya, seorang yang mengabdi untuk kesehatan manusia, seseorang yang ramah dan sabar menghadapi berbagai karakter pasien. Yang tidak mudah terpancing emosi, dan menurutku setiap dokter itu karismatik.“Lo kenapa diem aja dari tadi?” Rani menyenggol lenganku.Lamunanku buyar sejak melihat kejadian dokter yang memarahi koasnya tadi.“Ran, lo inget dokter yang lo bilang horor tadi?” tanyaku.“Inget. Lumayan cakep, Na. Eh, bukan lumayan sih, tapi beneran cakep. Kenapa emang?”Aku akui, dokter Galih itu tampan. Sayang, ia memberikan kesan buruk di awal pertemuan kami.“Gue pernah ketemu sama dia di taman. Dia sama anaknya waktu itu.”Aku dan Rani duduk di kursi tunggu ruang inap ibunya Beni. Rani bahkan menahan diri untuk langsung masuk ke dalam, demi mendengar ceritaku.“Oh, dia sudah menikah. Teru
NanaKurang baik apa aku sebagai mahasiswa? Meski di belakang menggerutu, menjelek-jelekkan dosen, bahkan mungkin sampai membuat telinga dosen itu berdengung, tetap saja aku mengerjakan semua tugasnya. Serumit apa pun tugas itu tetap aku kerjakan dengan maksimal.Jangan salah paham dulu. Aku lebih sayang sama nilaiku daripada dosenku. Kuberi tahu, dosen di fakultasku tidak ada yang muda. Kebanyakan sastrawan masa lalu yang merangkap jadi dosen. Penampilannya beragam, rata-rata dosen laki-laki itu rambutnya gondrong. Hal yang biasa, karena fakultas sastra Indonesia terkenal unik, seunik dia merangkai kata menjadi kalimat yang indah.Ada satu dosen yang memang tampan. Sayangnya, itu bukan di Fakultasku, tetapi fakultas ekonomi. Tetapi jangan lupakan realita, dosen muda sudah tak single lagi. Memang, karena dia sudah menikah dan beranak satu. Patah hatilah semua mahasiswa yang mengidolakannya.Kembali ke topik awal dan lupakan soal
NanaAku berselancar ke instagram. Mencari akun owner dari Raighin Caffe. Setelah menemukan akun instagramnya aku mulai melihat-lihat postingannya. Postingannya tidak banyak, kebanyakan tentang menu-menu makanan. Aku scroll sampai bawah. Satu foto anak kecil mengusik perhatianku. Aku mengklik foto tersebut, sepertinya aku pernah melihat anak ini? Ah, iya, anak yang kupikir adalah anaknya dokter Galih.“Eh, ini kan anak yang sama dokter Galih waktu di taman.”Ucapanku membuat Rani mendongak. Ia menatapku bingung. “Anak yang mana?”“Ini, Ran. Anaknya owner Kafe ini.” Aku menunjukan foto anak itu pada Rani. Kami mengobrol sambil berbisik-bisik karena masih berada di Kafe.“Ah, lo salah kali, Na. Masa iya itu anaknya dokter Galih? Mbak Raina tuh udah punya suami, Na,” balas Rani pelan. Matanya celingak-celinguk. Mungkin takut tiba-tiba Mba
Nana Sejujurnya aku tidak pernah membayangkan ada di posisi ini. Canggung sekali. Bayangkan satu mobil dengan lelaki yang baru dikenal. Lelaki yang pernah aku cap galak, karena memang galak. Rasanya tidak keruan. Sejak tadi aku mengatupkan bibir, ingin memulai obrolan pun malu. Dokter Galih sebenarnya tidak memaksa untuk ikut bersama mobilnya. Hanya saja aku tidak enak menolak ajakannya, biarlah toh hanya sekali ini saja aku bertemu dengannya. Ekor mataku melirik dokter Galih yang fokus mengemudi. “Rumah kamu daerah mana?” Ah, akhirnya dia memancing obrolan. “Di Solo, Dok.” Kudengar kekehan geli darinya. Aku bertanya-tanya dalam hati, jawabanku tidak salah, bukan? “Bisa aja bercandanya,” katanya. “Rumah saya emang di Solo, Dok. Saya ngekos di Jakarta.” Aku berusaha menjelaskan. “Oh, kamu merantau?” tanyanya mengerti. “Iya.” “Saya kira asli Jakarta. Pantesan dialek Jawany
NanaBerita tentang Ayah menjadi pukulan terberat untukku. Pikiranku selalu ingin pulang, buyar, dan tidak fokus. Bahkan saat latihan drama sepulang kuliah pun, Aron dan pemain lain beberapa kali menegurku yang sering salah berdialog dan banyak melamun.Selepas berlatih drama, aku mengutarakan alasan mengapa aku tidak fokus hari ini. Aku juga meminta izin pada Aron untuk pulang lebih dulu karena ingin menemui dokter Galih dan berkonsultasi tentang penyakit Ayah.Aron masih berdiam diri, antara ingin mengizinkanku pergi atau tidak. Sementara anggota kelompok yang lain juga sama sekali tidak membantu, hanya saja berdera perang mulai berkibar saat Anjani dengan lantang berasumsi.“Lo nggak bisa main izin aja, Na. Waktu kita nggak banyak. Kita harus benar-benar mateng kalau nggak, semuanya hancur,” katanya seakan tidak memiliki hati nurani.Aku berusaha tidak terpancing. Anjani memang egois. Tidak mementingkan perasaan oran
NanaDokter Galih mengajakku bertemu di acara car free day Bundaran Hotel Indonesia. Aku terduduk lemas di trotoar jalan setelah jogging di sekitar bundaran HI, napasku memburu, dan kakiku berselonjor untuk menghindari kram. Kelelahanku sepertinya menjadi hiburan bagi dokter Galih. Ia duduk di sebelahku sambil terkekeh. Tak lupa kedua kakinya yang ikut berselonjor.“Kelihatan nggak pernah olahraga,” katanya.Aku menggeleng sambil meneguk air putih dalam botol. Kemudian menyanggah pendapatnya. “Saya biasa jogging tiap minggu sore”“Olahraga itu perlu, minimal seminggu sekali untuk menjaga kebugaran tubuh.”Sepertinya jika setiap hari aku bertemu dengannya, setiap hari pula aku akan mendapatkan seminar gratis tentang kesehatan.“Kalau weekend gini saya biasa tidur sampe sore, abis itu bangun buat jogging.”“J