Nana
Saat mentari berada tepat di atas kepala, aku baru pulang dari rumah Aron dengan menggunakan jasa ojek online.
Di hari libur, kosan sepi. Penghuninya seperti keluar dari penjara. Mereka refreshing dari padatnya aktivitas kuliah. Sementara aku kebalikannya, stay di kosan dan memilih jalan-jalan sehabis kuliah jika tidak ada tugas.
Saat hendak membuka pintu, ponselku berdering. Aku mengecek ponsel terlebih dahulu, siapa tahu itu penting. Ah, rupanya dari Ibu.
“Assalamualaikum, Na.”
“Waalaikumsalam, Bu.” Aku mengapit ponsel di antara telinga dan pundak, kemudian membuka pintu kosan. Melanjutkan sambungan telepon sambil rebahan di atas kasur.
“Kamu sehat kan, Nduk?”
Sebagai anak tunggal dari pasangan Kamal Pahlevi dan Mulyani, acap kali Ibu meneleponku untuk sekadar bertanya apa yang sedang aku lakukan. Dulu waktu aku memutuskan kuliah di Jakarta, Ibu setengah hati mengizinkannya. Ibu bilang Jakarta kejam, aku tidak mungkin sanggup hidup sebatang kara. Tapi keyakinanku kuat, aku harus bisa meyakinkan diri sendiri dan kedua orang tuaku, khususnya Ibu, jika aku berani hidup sendiri.
Dan sebagai anak tunggal juga, kedua orang tuaku cukup memanjakanku. Yang aku inginkan pasti mereka kabulkan. Ya, kecuali keinginanku kuliah di Jakarta. Tapi sekarang Ibu sudah mulai terbiasa, tidak terlalu mengkhawatirkanku seperti awal-awal menginjakkan kaki di kota yang identik dengan gedung-gedung pencakar langit ini.
“Sehat, alhamdulillah. Ibu sama Ayah sehat?”
“Sehat. Cuma Ayahmu sekarang sering sembelit.”
Sejak tahun akademik baru, sudah sebulan aku tidak pulang ke Solo. Biasanya aku pulang kampung sebulan sekali, tapi berhubung sekarang banyak tugas, terpaksa aku harus menunda melepas rindu bersama orang tuaku.
“Periksa ke dokter, Bu. Ayah kan sering kali mengabaikan kesehatannya.”
Ketakutan yang sering kali menghantuiku ya itu. Takut Ayah dan Ibu sakit, sementara aku jauh dari mereka. Tetapi aku bersyukur, rumahku dengan rumah saudara-saudara Ayah bertetangga. Setidaknya mereka bisa membantu orang tuaku.
“Iya, Na, Ibu sampai capek ngasih tahu. Kuliahmu gimana?”
Mengubah posisi berbaringku menjadi tengkurap. “Lagi ada project drama, Bu. Tugas kelompok buat main drama gitu. Doain mudah-mudahan Nana hafal dialognya dan kelompok Nana dapat nilai yang memuaskan ya, Bu.”
“Ibu tak pernah lepas doain kamu, Nduk. Sehabis salat, Ibu selalu berdoa supaya kamu baik-baik saja, selalu ada dalam lindungan Allah.”
Aku tersenyum dengan hati yang bergetar. “Makasih ya, Bu. Doa dari Ibu itu restu untuk Nana,” lirihku terharu.
“Oh iya, Bayu mau nikah, Na.”
Jantungku seakan berhenti berdetak saat Ibu menyebutkan nama itu. Dia yang kucintai, namun meninggalkanku dengan alasan ingin melanjutkan S2 di Surabaya. Saat itu, aku yang baru duduk di kelas 11 SMA hanya bisa pasrah dan menangis karena keputusan Mas Bayu.
“Bayu Winatraguna?” tanyaku memastikan. Siapa tahu yang Ibu maksud itu Bayu yang lain.
“Iya. Nikah sama temannya sewaktu S2. Minggu kemarin baru lamaran, bulan depan nikahannya. Ayu tenan calon istrinya, ramah pula. Pantes toh Bayu kepincut.”
Aku berdecak. Sebal jika Ibu sudah memuji wanita lain. Apalagi yang Ibu puji adalah calonnya Mas Bayu.
“Bu, Ibu sadar nggak kalau yang Ibu puji itu calon istri dari mantan aku?”
Ibu justru tertawa dengan renyah. “Kan cuma mantan, Na. Ibu pernah nemu status orang di f******k, katanya buanglah mantan ke kebun binatang. Biar jadi santapan macan.”
Gaul bukan Ibuku? Dia memiliki akun F******k sama I*******m.
“Aku nggak ngebuang mantan, Bu. Mas Bayu sendiri yang ngebuang aku,” dengkusku.
“Husshhh. Jangan suudzon. Toh, dulu kan Bayu sudah kasih alasan kenapa dia mutusin kamu.” Ibu selalu berpikiran positif, padahal lelaki itu sudah menyakiti hati anak semata wayangnya.
“Tapi sakit, Bu, sakitnya tuh di sini.” Aku menepuk dada walaupun Ibu tidak melihatnya.
Lagi-lagi Ibu tertawa. “Itu artinya Tuhan mau kamu nyari yang lebih baik dari Bayu.”
“Aku belum menemukannya sampai sekarang.”
Mas Bayu adalah mantanku satu-satunya. Aku masih trauma, takut dicampakkan lagi. Sebenarnya aku tidak membatasi pergaulan dengan lelaki, hanya saja saat mereka mulai melancarkan kode, aku lebih memilih tak acuh daripada harus baper. Aku belum siap jatuh cinta lagi kalau itu hanya akan memberikan luka di hati.
“Sabar, Ibu nggak nuntut kamu nikah muda. Fokus dulu sama kuliahmu.”
Alhamdulillah. Ibu yang pengertian.
“Kalau aku nikah, Ibu mau cucu berapa?”
“Empat. Laki-laki dua perempuan dua. Biar rumah rame. Nggak kayak rumah kita sekarang, cuma ada Ayah sama Ibu.”
Aku melotot. Gila! Pemerintah saja menganjurkan dua anak cukup. Nah, Ibu minta cucu empat.
“Salah sendiri kenapa nggak ngasih aku adek.”
“Bukan nggak kasih, tapi nggak jadi-jadi. Mungkin karena Ibu kelamaan pake pil KB jadi rahimnya kering.”
“Tuh, makanya jangan di KB,” jawabku asal.
“Kalau nggak di KB nanti adikmu empat.”
“Ya jangan banyak-banyak, Bu. Cukup satu aja biar aku ada temen curhat gitu.”
Karena sungguh menjadi anak tunggal itu tidak punya teman bercerita di rumah. Kalau curhat sama Ibu agak susah. Soalnya pemikiran kami kerap kali berbeda.
“Cukup ya berkhayalnya, sekarang Ibu mana bisa ngasih kamu adik.”
Aku bergumam.
“Kamu udah makan belum?” tanya Ibu membuka topik lain.
“Belum, Bu. Nanti aku ajak Rani keluar buat cari makan.”
Perut masih kenyang karena di rumah Aron tadi menghabiskan banyak camilan.
“Emang kamu di mana sekarang?”
“Di kosan, Bu. Baru pulang kerja kelompok.”
“Jangan sampai telat makan, Nduk. Nanti maag kamu kambuh.” Ibu menasehati.
“Insya Allah, nggak, Bu. Kan sekarang tiap pagi minum lemonade. Katanya itu baik untuk perut, Bu. Oh iya, bisa mengatasi sembelit juga, Bu. Coba ayah minum air lemon satu jam sebelum sarapan.”
“Oh gitu. Ya sudah, Ibu tutup dulu, Nduk. Kamu di sana jaga kesehatan, pergaulannya dijaga, salatnya jangan bolong-bolong, jangan malas belajar juga. Orang yang sukses itu adalah mereka yang selalu bertawakal disertai usaha.” Wejangan yang tidak mungkin Ibu lewatkan setiap kali menelepon.
“Siap, Ibunda.”
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Sambungan terputus. Aku menyimpan ponsel di atas kasur. Meraih guling dan mendekapnya dengan erat. Hampir memejamkan mata, sebelum pintu kamarku diketuk, wajah Rani muncul dari balik pintu. “Na, pinjem buku catatan lo yang pelajaran Pak Windu dong. Soalnya gue belum nyatet.”
“Ambil tuh di meja.” Aku menunjuk buku catatanku dengan dagu.
“Oke sip. Lo abis dari mana, Na? Lo pergi nggak bilang-bilang, mau gue WA tapi nggak ada kuota.”
Aruna Calya Agrania, atau yang akrab dipanggil Rani. Rani ini sahabatku dan kita satu kelas. Perkenalan kami dimulai saat aku pindahan kosan. Rani pun saat itu baru pindah. Dari situ aku coba ngobrol sama dia, dan ternyata kami mengambil prodi yang sama.
“Nugas, Ran. Sanggar sastra,” jawabku malas.
Rani ikut berbaring di sebelahku. “Rajin amat kelompok lo. Kelompok gue dong adem ayem aja, pas udah mepet waktu baru deh mereka kalang kabut. Gue sih bodo amat, lagian gue udah ngajak kumpul merekanya banyak alasan. Waktunya kumpul sama keluargalah, kencanlah, tidur seharianlah. Bete tahu nggak sih, satu kelompok sama orang yang penginnya ngandelin kerja otak orang lain doang.” Rani kalau marah suka langsung tancap gas kalau bicara.
“Sabar, Buk. Sabar.” Aku menertawakannya sambil menepuk-nepuk pundaknya.
“Ya gimana gue bisa sabar. Ini tugas tuh nggak main-main. Gagal satu orang aja, tamat riwayat kita.”
Betul. Tugas ini tidak boleh dianggap remeh. Jika dalam satu kelompok ada yang malas, pastinya akan berpengaruh pada penampilan drama di atas panggung.
“Iya gue paham banget, Ran. Gue juga lagi kesel sama kelompok gue. Apalagi Anjani tuh.”
Ah, mengingat ideku diacuhkan begitu saja, menimbulkan kesal yang mencokol di hati.
“Kenapa lagi sama Chelsea Islan?”
Kenapa kami memanggilnya Chelsea Islan, bukan karena wajah Anjani yang mirip artis muda berbakat itu. Tapi Chelsea Islan itu--Cewek Langsing dan Seksi Idola Semua Lelaki Tampan.
“Dia kan negur, katanya gue diem aja. Dia minta gue ngasih ide. Pas gue cerita ide yang gue punya, Jani dengan tanpa rasa bersalah bilang; agak klise nggak sih?”
Rani tergelak saat aku mempraktikkan ekspresi Anjani tadi pagi.
“Pengin gue tabok tuh mukanya. Mentang-mentang cantik bisa seenaknya kayak gitu. Dan herannya Aron tuh nurut banget apa kata dia.”
Rani berbaring menyamping ke arahku. Dia mengambil paksa guling yang sedang kupeluk. “Kayak lo nggak tahu Aron aja. Istilahnya kucing garong dikasih ikan ya langsung disantaplah. Jani punya jerawat kecil di hidung aja, Aron langsung siaga kasih salep, kan?”
Aku mengangguk setuju.
“Terus konsep kelompok lo gimana?”
“Preman pensiun. Nggak tahu deh Aron yang punya ide. Dia juga yang ngerjain naskah awal.”
“Mantap jiwa!” Rani bersorak takjub. “Eh, lo udah kirim cerpen lagi ke majalah Ceria?”
Mengambil jurusan sastra karena aku memang mencintai novel. Kumpulan novel dari berbagai penulis baik dalam maupun luar negeri berjejer rapi di rak buku kosan. Selain itu, sebagai penulis amatir, sering kali aku mengirimkan cerpen-cerpen yang aku tulis ke redaksi. Yang nantinya akan diterbitkan di majalah ataupun koran. Lumayan, untuk menambah uang saku.
“Belum. Gue udah nulis sih cerpennya cuma belum gue revisi. Kayaknya masih banyak typo.”
“Wih, mau baca dong. Kali ini ceritanya tentang apa?”
Rani selalu menjadi pembaca pertamaku, sering kali ia mengoreksi typo atau ada kalimat yang rancu. Kadang dia juga ikut baper dengan karakter yang kuciptakan.
“The Perfect Doctor. Cerita tentang dokter ganteng dengan sifat romantis, setia, ah pokoknya bisa bikin lo meleleh.” Aku sendiri menulis cerpen itu dengan senyum mengembang. Membayangkan jika tokoh cewek yang kuciptakan di cerpen itu adalah aku sendiri.
“Tumben amat ngambil profesi dokter?”
“Karena gue pengin punya jodoh dokter. Lo tahu sendiri dokter itu gajinya gede. Ya keren aja gitu kalau gue punya suami dokter.” Aku terkikik.
“Gile... Gile... Gile. Sini gue baca dulu cerpennya.”
“Lo baca dalam kulkas harusnya, Ran.”
Alis Rani terangkat satu. Menatapku heran. “Kenapa emang?”
“Takutnya lo meleleh sama sosok dokter yang gue ciptain. Dan katanya ucapan itu doa, kali aja dokter di cerita gue itu ada di dunia nyata, kemudian ketemu sama gue, kita pendekatan, abis gitu merit. Astaga! Bahagia banget ya gue ngekhayal.”
“Licin amat mulut lo! Tapi gue aminin deh. Semoga jodoh lo dokter.”
Senyumku mengembang. “Aamiin.”
Rani duduk bersila. “Mana cerpennya, mau gue baca.”
“Itu di laptop. Nyalain aja. Abis baca anter gue nyari makan.”
“Oke, siap.”
NanaSebagai mahasiswa, haram hukumnya untuk tertindas di kelas. Jangan mau dikucilkan, karena dosen tidak akan mengenal namamu, apalagi alamat rumahmu dan kedua orang tuamu jika kamu tidak memperjuangkannya sendiri. Tunjukkan sepandai apa kamu bisa mengambil hati dosen, sepandai apa kamu bisa membuat dosen selalu mengingat namamu.Aku tidak cerdas. Tapi aku mampu melakukan apa pun yang harus aku kerjakan. Bertanya di setiap kesempatan setelah dosen menerangkan mata kuliah, itu wajib hukumnya buatku. Karena dari situ, dosen akan mengingat wajahku juga namaku. Pada akhirnya, dosen melihat potensi dalam diriku.Pintar itu tidak perlu ditunjukan secara berlebihan. Bermainlah dengan cantik, niscaya bukan hanya kepintaran yang kamu dapat, namun juga kecerdasan dalam berpikir logis.Mantap bukan apa yang barusan aku jabarkan? Tentu, karena itu merupakan kalimat bijak dari Ayah yang dia berikan padaku. Kalimat Ayahlah yang menjadi motivasiku untuk mel
NanaApa yang menjadi definisiku tentang dokter selama ini? Iya, seorang yang mengabdi untuk kesehatan manusia, seseorang yang ramah dan sabar menghadapi berbagai karakter pasien. Yang tidak mudah terpancing emosi, dan menurutku setiap dokter itu karismatik.“Lo kenapa diem aja dari tadi?” Rani menyenggol lenganku.Lamunanku buyar sejak melihat kejadian dokter yang memarahi koasnya tadi.“Ran, lo inget dokter yang lo bilang horor tadi?” tanyaku.“Inget. Lumayan cakep, Na. Eh, bukan lumayan sih, tapi beneran cakep. Kenapa emang?”Aku akui, dokter Galih itu tampan. Sayang, ia memberikan kesan buruk di awal pertemuan kami.“Gue pernah ketemu sama dia di taman. Dia sama anaknya waktu itu.”Aku dan Rani duduk di kursi tunggu ruang inap ibunya Beni. Rani bahkan menahan diri untuk langsung masuk ke dalam, demi mendengar ceritaku.“Oh, dia sudah menikah. Teru
NanaKurang baik apa aku sebagai mahasiswa? Meski di belakang menggerutu, menjelek-jelekkan dosen, bahkan mungkin sampai membuat telinga dosen itu berdengung, tetap saja aku mengerjakan semua tugasnya. Serumit apa pun tugas itu tetap aku kerjakan dengan maksimal.Jangan salah paham dulu. Aku lebih sayang sama nilaiku daripada dosenku. Kuberi tahu, dosen di fakultasku tidak ada yang muda. Kebanyakan sastrawan masa lalu yang merangkap jadi dosen. Penampilannya beragam, rata-rata dosen laki-laki itu rambutnya gondrong. Hal yang biasa, karena fakultas sastra Indonesia terkenal unik, seunik dia merangkai kata menjadi kalimat yang indah.Ada satu dosen yang memang tampan. Sayangnya, itu bukan di Fakultasku, tetapi fakultas ekonomi. Tetapi jangan lupakan realita, dosen muda sudah tak single lagi. Memang, karena dia sudah menikah dan beranak satu. Patah hatilah semua mahasiswa yang mengidolakannya.Kembali ke topik awal dan lupakan soal
NanaAku berselancar ke instagram. Mencari akun owner dari Raighin Caffe. Setelah menemukan akun instagramnya aku mulai melihat-lihat postingannya. Postingannya tidak banyak, kebanyakan tentang menu-menu makanan. Aku scroll sampai bawah. Satu foto anak kecil mengusik perhatianku. Aku mengklik foto tersebut, sepertinya aku pernah melihat anak ini? Ah, iya, anak yang kupikir adalah anaknya dokter Galih.“Eh, ini kan anak yang sama dokter Galih waktu di taman.”Ucapanku membuat Rani mendongak. Ia menatapku bingung. “Anak yang mana?”“Ini, Ran. Anaknya owner Kafe ini.” Aku menunjukan foto anak itu pada Rani. Kami mengobrol sambil berbisik-bisik karena masih berada di Kafe.“Ah, lo salah kali, Na. Masa iya itu anaknya dokter Galih? Mbak Raina tuh udah punya suami, Na,” balas Rani pelan. Matanya celingak-celinguk. Mungkin takut tiba-tiba Mba
Nana Sejujurnya aku tidak pernah membayangkan ada di posisi ini. Canggung sekali. Bayangkan satu mobil dengan lelaki yang baru dikenal. Lelaki yang pernah aku cap galak, karena memang galak. Rasanya tidak keruan. Sejak tadi aku mengatupkan bibir, ingin memulai obrolan pun malu. Dokter Galih sebenarnya tidak memaksa untuk ikut bersama mobilnya. Hanya saja aku tidak enak menolak ajakannya, biarlah toh hanya sekali ini saja aku bertemu dengannya. Ekor mataku melirik dokter Galih yang fokus mengemudi. “Rumah kamu daerah mana?” Ah, akhirnya dia memancing obrolan. “Di Solo, Dok.” Kudengar kekehan geli darinya. Aku bertanya-tanya dalam hati, jawabanku tidak salah, bukan? “Bisa aja bercandanya,” katanya. “Rumah saya emang di Solo, Dok. Saya ngekos di Jakarta.” Aku berusaha menjelaskan. “Oh, kamu merantau?” tanyanya mengerti. “Iya.” “Saya kira asli Jakarta. Pantesan dialek Jawany
NanaBerita tentang Ayah menjadi pukulan terberat untukku. Pikiranku selalu ingin pulang, buyar, dan tidak fokus. Bahkan saat latihan drama sepulang kuliah pun, Aron dan pemain lain beberapa kali menegurku yang sering salah berdialog dan banyak melamun.Selepas berlatih drama, aku mengutarakan alasan mengapa aku tidak fokus hari ini. Aku juga meminta izin pada Aron untuk pulang lebih dulu karena ingin menemui dokter Galih dan berkonsultasi tentang penyakit Ayah.Aron masih berdiam diri, antara ingin mengizinkanku pergi atau tidak. Sementara anggota kelompok yang lain juga sama sekali tidak membantu, hanya saja berdera perang mulai berkibar saat Anjani dengan lantang berasumsi.“Lo nggak bisa main izin aja, Na. Waktu kita nggak banyak. Kita harus benar-benar mateng kalau nggak, semuanya hancur,” katanya seakan tidak memiliki hati nurani.Aku berusaha tidak terpancing. Anjani memang egois. Tidak mementingkan perasaan oran
NanaDokter Galih mengajakku bertemu di acara car free day Bundaran Hotel Indonesia. Aku terduduk lemas di trotoar jalan setelah jogging di sekitar bundaran HI, napasku memburu, dan kakiku berselonjor untuk menghindari kram. Kelelahanku sepertinya menjadi hiburan bagi dokter Galih. Ia duduk di sebelahku sambil terkekeh. Tak lupa kedua kakinya yang ikut berselonjor.“Kelihatan nggak pernah olahraga,” katanya.Aku menggeleng sambil meneguk air putih dalam botol. Kemudian menyanggah pendapatnya. “Saya biasa jogging tiap minggu sore”“Olahraga itu perlu, minimal seminggu sekali untuk menjaga kebugaran tubuh.”Sepertinya jika setiap hari aku bertemu dengannya, setiap hari pula aku akan mendapatkan seminar gratis tentang kesehatan.“Kalau weekend gini saya biasa tidur sampe sore, abis itu bangun buat jogging.”“J
NanaHidup itu terkadang penuh kejutan. Dalam seminggu terakhir ini, kejutan bertubi-tubi datang menghampiri. Di awali dari imajinasiku yaitu merancang sebuah cerita pendek tentang impianku yang ingin memiliki jodoh dokter. Selanjutnya, pertemuanku dengan dokter Galih di taman itu merupakan awal dari segala kejutan terjadi. Tentang imajinasiku yang nyaris patah tentang dokter, tentang penyakit ayah, yang pada akhirnya membawaku berada dalam satu dimensi waktu kembali dengan dokter Galih.Soal nazarku tempo hari, bukankah dokter Galih tidak seperti dokter Nando diceritaku? Aku tidak harus mengejarnya, kan? Toh, bertemunya aku dengannya hari ini bukan karena bermaksud flirting, tapi karena memang ada yang ingin aku tanyakan.Pukul dua belas siang, kami sepakat untuk pulang. Aku kira sewaktu pulang dari bioskop itu akan menjadi yang pertama dan ter