Share

2. Mari Berpisah

"Mari akhiri ini, Mas!" katanya memandangku dengan kaca mata hitam yang dipakainya. 

"Apa maksudmu, akhiri?!"

Aku mencebik padanya. Pasalnya kondisi Abi juga sedang sakit jika ditambah permasalahan ku maka aku takut kesehatannya akan bertambah buruk. 

"Kamu bodoh atau apa, Mas. Akhiri artinya kita berpisah," ucap Naya dengan wajah datarnya. 

"Tutup mulutmu dan hapus story mu. Apa kamu gak malu jadi bahan pembicaraan orang, Naya. Harusnya kamu nutupi perbuatan ku, sebagai istri seharusnya kamu mendukungku!" ucapku lagi dengan suara meninggi merasa marah dengan sikap dingin Naya. 

"Nutupi kata kamu, selama ini apa kurang ku, apa? Kamu lebih senang nongkrong sama teman-teman kamu. Bahkan kamu udah punya pacar baru. Kamu kira aku bodoh. Apa harus aku tutupi terus kesalahan kamu dan kita berpura-pura jadi keluarga bahagia?

Aku harus ngikuti seminar keluarga bahagia dimana aku jadi pemateri. Kamu gak pikirin perasaan aku. Aku hancur ketika menyemangati mereka sementara rumah tangga kita berantakan. Aku udah gak tahan sama sikap kamu, Mas!"

Naya berkata dengan suara bergetar. Emosi yang selama hampir enam tahun kami berumah tangga dikeluarkannya. 

"Naya, Abi sakit dan kamu harus ngerti. Aku akan menjadi penerus Abi di yayasan. Kita sebaiknya sudahi ini," ucapku mencoba menenangkannya.

Namun Naya menghapus kasar wajahnya tanpa membuka kacamatanya. Aku tahu dia seharian menangis dan mengumpulkan kekuatan besar serta keberanian untuk melakukan semua ini. Dengan cibiran Naya memandangku. 

"Harusnya kamu tahu kondisi Abi mu seperti apa sebelum kamu selingkuh. Kamu lupa pernah melakukannya dan aku memaafkanmu karena Ummi minta aku tak perpanjang masalah ini. Sebenarnya aku tak suka pengkhianatan.

Namun aku memberimu kesempatan karena Ummi bilang kamu akan berubah, tetapi apa kenyataannya? Penyakitmu malah tambah parah, Mas. Harusnya kamu sadar kalau putera pengurus yayasan tidak baik membuang waktu yang tidak berguna seperti nonton bola sampai subuh, bermain internet dan game sampai lupa waktu.

Bahkan kamu mengorbankan masa depan Ahmad yang butuh ayah nya!" kata Naya dengan suara bergetar. Aku mendesah karena ucapannya adalah kebenaran dan bagaimana aku membela diriku.

"Aku tahu Naya, aku bersalah namun untuk sekarang lebih baik kita pikirkan lagi dan cari jalan tengah," ucapku dengan lembut agar Naya mau mengerti.

Aku tak bisa korbankan reputasi ku sebagai calon pemimpin, dimana calon pemimpin harus punya marwah yang baik dimata masyarakat.

Aku sebenarnya tidak siap dengan semua ini. Namun aku dituntut Abi dan Ummi untuk menjadi dewasa. Ya, aku harus dewasa sebelum waktunya. Berat jadi anak seorang pemimpin yayasan.

Yayasan sekolah Full Day Islamic School yang dibangun keluargaku secara turun temurun mulai dari Kakek buyut ku. Aku dituntut untuk sempurna disana. Aku juga didapuk menjadi duta untuk mengisi acara keluarga muda bahagia seperti Naya. Kami berdua atau terkadang salah satu dari kami diminta menjadi pemateri. 

Usia pernikahan yang dikatakan terlalu muda. Aku menikahi Naya diusia dua puluh satu tahun. Dimana aku baru lulus kuliah dan Naya dua puluh tahun. Sama sekali tanpa saling kenal terlebih dahulu. Karena Abi dan Ummi yang menjodohkan kami. 

Aku sampai sekarang tak tahu apa itu cinta. Karena aku dan Naya mungkin tak saling cinta. Yang ada kami terpaksa menikah, aku juga tak tahu bagaimana isi hati istriku yang sesungguhnya. Aku ingin menolak pernikahan ini namun Abi dan Ummi bersikeras aku menikah agar aku lebih bertanggung jawab. Aku dipaksa membimbing Naya yang notabane nya tidak tahu apa-apa. 

Ummi mengenal Ibu Naya, mereka bersahabat. Kata Ummi Naya adalah korban broken home, di mana dia tumbuh dengan Ayah yang tinggal jauh di Jerman. Orang tua Naya menikah dalam keadaan berbeda agama.

Ah, pernikahan seperti itu biasa terjadi di negara ini. Setelah orang tua Naya bercerai, Mamanya meminta agar dia dijodohkan saja denganku dengan dalih Naya akan banyak belajar agama di lingkungan sekolah ini dimana nuansa pendidikan sangat kental disini. Mamanya ingin Naya menjadi lebih religius dan agamis. 

Gayung pun bersambut dimana Abi setuju aku menikahi Naya. Aku mengenalnya beberapa bulan namun hubungan kami hanya tegur sapa saja. Aku begitu shock saat orang tuaku meminta aku menikahi gadis yang aku juga tak pernah intens berkomunikasi dengannya. Keterpaksaan ya hanya keterpaksaan aku menikahinya untuk menghormati orang tuaku dan Mamanya. 

"Aku bosan, aku muak dan capek ngadapin kamu. Jalan tengah dan tengah. Aku lelah, Mas. Kamu tidak menepati janji kamu. Kamu pernah berjanji sebelum menikahi aku dan apa nyatanya semua palsu!" katanya sengit.

Aku merasa muak sekali dengan sikap Naya. Harusnya dia berterima kasih sama aku karena dahulu aku mau menikahinya. 

"Naya, harusnya kamu berterima kasih sama aku karena Mamamu memohon agar aku kawin sama kamu. Sekarang ini ucapan kamu itu!" 

"Kamu memang egois, Mas. Udah tahu kamu yang salah dan kamu yang selingkuh namun kamu masih mencoba mencari pembenaran atas sikapmu. Aku muak sama l*ki-laki pend*st* kayak kamu!" 

"Oke, apa mau kamu, Apa? Ha!"

Aku sudah tak tahan dan semakin tersulut emosi akan sikap Naya. 

"Aku mau perpisahan, dan kamu jangan mencoba menghalangi itu. Ahmad anakku dan akan bersamaku," ucap Naya.

Kali ini kacamata hitam yang dipakainya dia buka secara cepat dan netranya yang membulat besar itu menatap garang diriku. Tatapan kami mengunci dalam kebencian. 

"Sedang apa kalian, apa kalian bertengkar lagi? Naya, Syahdan. Ummi dan Abi tidak mau ada perceraian, titik."

Sebuah suara mengagetkan kami. Sepasang Netra Naya dan diriku menoleh melihat Ummi yang sudah berdiri menatap kami berdua marah. 

Bersambung.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Yung
kallian tak mau anak kalian bercerai,tapi putra kalian berhianat kalian diam saja,naya itu terluka hati nya tau nggak,anak sama orang tua sama sama penghianat
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status