Aku pulang habis membeli sayur di pedagang keliling dengan wajah ditekuk. Enggak langsung ke dapur, aku menghempas bokong di sofa ruang tamu. Gatan dan Damar sedang bermain di sana. "Kenapa, Nes?" Pria yang duduk di karpet itu mungkin sadar kalau sejak tadi aku berusaha mengatur napas. "Memang, ya. Kita itu enggak bisa jujur-jujur benget sama orang lain!" ucapku berapi -api. "Bukannya untung, malah buntung. Tahu gini, mending aku nipu aja sekalian!" Aku menumpahkan rasa kesal. Gatan menajamkan mata sesaat. Pria itu menengok Damar yang kembali asyik dengan mainan usai melirik padaku sebentar. Aku berdeham, menyesal sudah menaikkan nada suara. Habis, bagaimana? Aku kesal!"Memang ada apa?" Aku menoleh pada Gatan yang tengah mengangsurkan mobil-mobilan pada Damar. "Kamu tahu tetangga sebelah?" "Sebelah mana? Kiri? Kanan? Apa kanan kiri?" Dia malah merespon dengan candaan, aku mencubit lengannya. Pria itu hanya meringis. Tetap menjaga agar keadaan nyaman untuk si bayi yang sibuk me
"Kenapa, sih, harus sampai mutusin hubungan begitu?" Gatan menyuarakan protesnya usai kami makan dan duduk di ruang tamu. Saat makan tadi, aku mengutarakan keinginan. Aku enggak mau Ibu datang atau Gatan mengajak kami bertandang ke rumah Ibu sampai batas waktu yang belum ditentukan. Hal ini aku lakukan untuk melindungi anakku. Melihat bagaimana Ibu tega menyalahkan Damar seperti siang kemarin, tekadku untuk menjauhkan kami dari Ibu makin besar. Aku enggak mau mengambil risiko Damar akan mengalami apa yang pernah aku rasakan. "Mutusin hubungan gimana?" bantahku dengan nada suara sewot. "Aku cuma bilang, untuk sementara, Ibu enggak boleh datang dan aku menolak diajak berkunjung." "Tapi kan Ibu itu satu-satunya orang tua kita, Anes." Gatan masih berusaha membujuk. Mendengar itu, aku menghela napas. Kutatap dia putus asa. Aku yakin, dia masih bisa bicara begini karena enggak pernah merasakan apa yang aku alami. "Kamu tahu?" mulaiku. "Kemarin siang, Ibu datang cuma untuk menyalahkan
Gatan benar-benar ingin mengakhiri pernikahan kami. Seminggu lebih pria itu enggak pulang. Aku sampai-sampai harus meminta Rahisa datang untuk menemani aku dan Damar di rumah. Sedari Rahisa datang, aku langsung menangis dan menceritakan apa yang terjadi. Perasaanku campur aduk. Aku marah, kesal karena Gatan terlalu menganggap serius perkataanku kemarin sampai-sampai merajuk dan enggak pulang. Belum lagi, sejak kemarin sore Damar demam. Anak itu terus memanggil-manggil ayahnya. Sepertinya dia juga rindu dengan lelaki itu. Dasar pria kurang ajar! Setelah membuat kami terbiasa dengan kehadirannya, sekarang malah tiba-tiba pergi. "Aku harus apa, Rahi?" tanyaku pada Rahisa yang sejak tadi menggendong Damar. "Apa lagi? Ya minta dia balik." Damar di gendongan Rahisa mulai merengek lagi. Papak, katanya seraya menangis. Rahisa menengokku dengan ekspresi kecut. "Jemput sana. Anakku kasihan nangis begini." Air mataku tumpah lagi. "Kalau dia anakmu, kamulah yang jemput bapaknya!" Rahisa
Gatan itu penipu. Katanya lembur, banyak pekerjaan, tidur di kantor. Mana ada! Lelaki itu menginap di hotel. Aku sudah ke kantornya tadi. Enggak tahan menunggu terus, aku berniat menjemput, menyeretnya pulang. Namun, karena enggak menemukan dia di kantor, aku menelepon. Dia pun memberi alamat hotel, dan di sinilah aku sekarang. Pria itu agaknya sudah tidur. Saat membukakan pintu tadi, rambutnya berantakan, pun mukanya bengkak. Dasar kurang ajar. Selepas dipersilakan masuk, aku langsung memukul dadanya. "Kamu bisa tidur enak-enak, sementara aku dan Damar kecarian?!" Lelaki itu menggaruk kepala. Dia terduduk di tepian ranjang dengan kepala tertunduk. "Kamu kira ngurus rumah dan Damar itu enggak susah, hah? Kamu sendiri yang bilang mau bantuin. Tapi, apa? Kamu nipu! Bilangnya mau kerja, malah tidur di hotel! Enggak sekalian kamu bawa perempuan kemari?!" Dia melirik dengan sorot dongkol di mata. "Rencananya besok," sahut pria itu enteng. Mendengar itu, aku langsung memukul kepalan
"Kamu senang jadi janda dua kali?" Tadinya berniat mendiamkan semua omelan Ibu, aku terpaksa menoleh karena mendengar kalimat tadi. Gila. Tega sekali wanita yang sudah melahirkan aku itu berkata demikian? Memang, siapa yang suka jadi janda? Dua kali pula? Terlebih bukan janda yang ditinggal mati? Agak lain Ibuku ini. Jadi, hari ini Ibu dan Inara pulang dari luar negeri. Agenda tiap bulan, mengantar anak kesayangannya, si Inara itu untuk berobat. Kebetulan, pas mereka pulang, aku lagi ada di rumah. Bertemulah kami. Bukannya bertanya kabar, minimal bertanya habis berapa juta aku untuk biaya perceraian yang putusannya baru keluar dua hari lalu, Ibu malah marah-marah ndak jelas. Tadinya, sumpah, aku ingin diam saja. Sadar diri karena nantinya akan menumpang lagi di rumah Ibu, sudah kuputuskan untuk menerima saja semua wejangan wanita itu. Akan aku tahan apa pun yang dia katakan. Mau dibilang tak becus jadi istri, terlalu banyak tingkah jadi perempuan, sampai tuduhan selingkuh kalau
Inara dan aku itu macam bawang putih dan bawang merah. Bagai air dan api. Seperti air dan minyak. Juga, sama seperti siang dan malam. Pokoknya, beda sekali. Aku yakin, salah satu dari kami pasti anak pungut. Aku atau Inara, salah satunya pasti ditemukan di semak-semak, pinggir sungai, tepi jalan atau genteng tetangga. Dan anak pungut itu pasti bukanlah Inara. Inara itu sudah 27 tahun sekarang. Sudah berumahtangga pula. Namun, lihatlah bagaimana Ibu memperlakukannya. Di depanku sekarang, ada berbagai macam hidangan. Udang asam manis, ikan gurami sambal, ayam goreng, ayam tumis kecap, tumis kangkung pedas, dan ... getirnya kehidupan spesial untukku. Ibu duduk di seberangku. Di sampingnya ada Inara. Ibu sedang berusaha merayu Inara agar mau membuka mulut dan melahap sesendok kasih sayang Ibu dalam bentuk sepotong daging ikan tanpa tulang. Ululu, manis sekali untuk Inara. Luar biasa pahit untuk diri ini. Seumur hidup, sejak aku bisa mengingat, ya. Ibu hanya menyuapiku 2 kali. Satu
Sebenarnya, dulu itu aku punya ksatria. Pahlawan yang akan selalu membela, tiap kali Ibu marah-marah, cubit-cubit atau pukul-pukul. Nama pahlawanku itu Rudianto. Ayahku. Sayang, seperti kata orang-orang. Orang baik itu perginya cepat. Ayahku juga pergi cepat sekali. Waktu aku berusia 17 tahun, Ayah berpulang karena penyakit yang sama seperti yang Inara derita. Sakit jantung. Sejak Ayah sudah enggak ada, aku enggak punya seseorang yang akan membawaku pergi jalan-jalan setiap habis dimarahi Ibu. Enggak ada lagi yang diam-diam masuk ke kamarku, terus kasih pelukan berlama-lama sambil bercerita soal hal seru, setelah siangnya aku dibentak Ibu habis-habisan. Sekarang aku sendirian. Harus sendirian merasai sakit hati habis disuruh mati sama suaminya Inara. Ayah enggak di sini untuk mendengar semua keluhanku. Beruntung si Gatan itu. Kalau saja Ayah masih ada, aku yakin dia sudah digantung hidup-hidup. Berani sekali bilang punya niat melenyapkanku? Memang dia siapa berhak atas nyawa seseo
Aku sedang menikmati mujair goreng yang dimasak Buk Tami, saat tiba-tiba saja Inara terdengar merintih. Perempuan itu sedikit membungkuk, lalu memegangi dada kiri. Kujeda gerakan mengunyah. Sudah akan menghampiri dia, tetapi Ibu dan suami perempuan itu lebih dulu melakukannya. Jadi, aku lanjut menggerakkan rahang, menghaluskan makanan di mulut. Inara pasti kambuh lagi. Entah di mana Ibu membawanya berobat, sepertinya selama ini ia dirawat dokter gadungan. Bertahun-tahun sudah menjalani perawatan, minum obat ini dan itu, sudah dua kali operasi, tetapi jantungnya masih saja bermasalah. Inara sudah begitu dari lahir. Sejak kecil, dia sering pingsan. Kelelahan sedikit, pingsan. Terkejut sedikit, pingsan. Bahkan untuk sekadar ikut upacara di sekolah saja dia itu enggak sanggup. Ibu sudah membawanya ke beberapa dokter. Kata mereka kelainan jantung yang Inara punya sulit disembuhkan. Paling bisa dibantu obat dan beberapa kali operasi. Namun, setelah semua itu dilakukan, kondisi anak kedu