Hari ini adalah hari dimana jadwal mediasi tahap pertama untuk Renata dan Doni dilaksanakan. Sebenarnya Renata tidak menginginkan itu, tapi Doni ngotot dengan alasan mereka baru mempunyai bayi. Sehingga sang Hakim pun mengabulkan keinginan Doni. Entahlah apa yang dipikirkan lelaki itu, bahkan saat istrinya hamil, dia bisa main belakang dengan perempuan lain, tapi ketika Renata memilih menyudahi hubungan mereka. Maka dia-lah yang seakan terdzolimi dengan alasan Renata tidak mempertemukannya dengan anaknya.
Wanita cantik berusia 25 tahun itu, sedang dalam masa kejayaannya, apapun yang diinginkannya bisa terwujud dengan mudah, meski tanpa keluarga, sikap-sikap Renata yang santun dan tenang, selalu disukai setiap orang, bahkan para pelangganya pun, Seakan berlomba-lomba untuk dekat dengan pemilik butik terbesar di kota itu. Para sosialita satu persatu mengajak Renata untuk bergabung dengan geng mereka. Namun Renata tetap pada pendiriannya, senang menyendiri dan ti
Terima kasih sudah membaca 🙏
"Ren, Rena!" teriak Doni, memanggil nama istrinya dengan setengah berlari."Tunggu!" teriaknya lagi.Renata menyeret langkahnya dengan tergesa-gesa, antara muak dan kesal menyatu dengan hasil mediasi kali ini. Betapa tidak, sidang yang seharusnya bisa selesai dalam waktu satu bulan, namun kini akan terlaksana berjilid-jilid Karena suaminya menolak bercerai."Renaaaa!" teriak Doni makin nyaring, sambil menarik tangan Renata, amarahnya mulai tersulut ketika melihat respon dingin dari istrinya. Renata pun agak oleng akibat tarikan tangan suaminya, dia sedikit limbung dan terhuyung.Renata menghentikan langkahnya, dan menatap tajam tepat dimanik mata suaminya. Tatapan mengancam membuat nyali Doni sedikit ciut, namun dia harus berani atau kalau tidak dia akan kehilangan Renata."Mau apa lagi?" ucap Renata dengan dingin dan bergetar, sorot matanya memancarkan kebencian.&n
Pov Doni Sungguh diluar dugaan, Renata akan melakukan hal seperti itu, karena yang aku tahu, dia sangat bucin dan cinta mati padaku. Sikap lemah lembut dan tenangnya membuat aku yang butuh tantangan jadi khilaf dan membuatnya terluka akibat kecurangan ini. Kukira jika memang suatu hari Renata tahu, aku hanya perlu minta maaf dan berjanji tidak mengulanginya lagi. Namun Renata berbeda, dia diam dan langsung ambil tindakan, bahkan saat aku belum tahu bagaimana wajah anakku, dia berani menggugat cerai diriku. Renata lebih tega dan kejam padaku, betapa tidak! Aku ... suaminya sendiri tidak diperbolehkan menemui anak pertama kami. Istriku itu tidak pernah bisa ditebak, tapi aku tak akan melepaskannya begitu saja. "Kita lihat, Ren, siapa yang kalah." Dunia terasa sempit, kepalaku mau pecah, Apalagi dengan Lia terus-terusan menghubungiku. Aku jadi ingat dengan apa yang diucapkan Bianca tempo hari, yan
Ahmad dan Alvin sudah rapi dengan memakai baju Koko dan kain sarung model celana. Rombongan anak-anak pondok yang ikut untuk ziarah pun, sangat banyak. Satu bus pariwisata dan beberapa mobil pribadi milik para pengajar dan orang tua santri yang juga ikut berziarah. Alvin melambaikan tangannya pada Lia, yang berdiri melepas kepergiannya, dari arah jendela bus yang ditumpanginya, wajah Alvin sangat bahagia, anak itu sangat suka dengan mobil-mobil besar, dan kali ini, dia berada disana bersama ayahnya. "Dadah, Ibu, nanti aku beli oleh-oleh ya!" teriaknya dari jendela Bus. "Hati-hati, Ya, Nak, jangan nakal!" teriak ibunya. Bus pun melaju perlahan mengikuti beberapa mobil yang telah duluan keluar dari gerbang, lalu menghilang. Lia bergegas masuk ke rumahnya dan meraih ponselnya di atas nakas. Dia menekan nomor Doni beberapa kali, tapi tak ada jawaban. Akhirnya d
Mobil pun melaju dengan cepat, suasana sore yang cukup lenggang di weekend kali ini. Perlahan tapi pasti mobil sedan warna hitam itu, semakin jauh melaju, tidak macet hanya sedikit merayap, apalagi ini sudah suasana menjelang Magrib. Dua insan yang dimabuk asmara mereka lupa dengan dosa. Sifat suka menyalahkan orang lain yang dimilikinya, membuat keduanya mengukir luka pada keluarga. Tawa bahagianya saat ini adalah air mata duka untuk keluarga. Suasana Puncak malam ini tidak sepadat biasanya. "Kita mau makan dulu?" tanya Doni. "Iya dong, saya lapar?" tegas Lia, sambil mengerling manja pada lelaki tampan di balik kemudi itu. "Di warung sate atas sana aja ya!" ucap Doni. Sambil tetap melajukan mobilnya perlahan-lahan, karena jalan yang berkelok. Dan posisi warung sate ada di seberang mobilnya, membuat Doni harus membelokan mobilnya ke sebelah kanan, c
Bianca malah menawarkan diri untuk memberikan salinan chat Doni dan Lia pada polisi, demi mengungkap perselingkuhan mereka. Ada rasa puas yang membuncah dihatinya, tangisan Renata selama ini dibayar tunai, sekaligus dengan terungkapnya hubungan mereka ke publik tanpa harus dia menghajar Doni terlebih dahulu, tapi hukum alam yang bekerja. "Adakah keluarga pasien atas nama Lia Apriliani?" tanya seorang dokter, yang menghampiri mereka. Hening tak ada yang menjawab. "Apakah ada keluarga dari pasien atas nama Lia," tanya dokter itu untuk kedua kalinya. Ahmad tak berminat menjawab, dia hanya memeluk Alvin, wajahnya datar, tanpa ekspresi atau sejenisnya, pandangannya kosong ke arah lantai. Begitupun Sarah, yang merasakan lidahnya kelu meski hanya untuk mengaku sebagai keluarga korban. "Dok, dimana anak saya?" seorang laki-laki tua tergopoh menghampiri kerumunan
Dokter menerangkan bahwa keadaan Doni kritis, harapan hidupnya sangat tipis kecuali ada keajaiban tuhan. Tangis Bu Tuti semakin meraung-raung. Sesekali ia pingsan dalam dekapan suaminya. Sedangkan Renata tak sepatah kata pun terucap dari bibirnya. Dia diam seribu bahasa begitu banyak pertanyaan demi pertanyaan yang dia tanyakan kembali pada hatinya. Walau bagaimanapun, Doni adalah masih suaminya, Doni juga adalah Ayah dari Annisa. Ada iba yang menelisik disudut hatinya. Suara dering ponsel membuyarkan segala yang ada dalam pikirannya. Nama Bik Sumi terpampang jelas saat Renata mengeluarkan ponsel itu dari tas tangannya. "Assalamualaikum, iya, Bik," ucap Renata dengan lembut. "Waalaikumsalam, Neng, Baby Annisa, tubuhnya panas semalaman, sudah bibik coba balurin bawang sama asem, tapi panasnya belum turun aja," terang Bik Sumi pada majikannya. "Hah." Renat
Claudia Rindiani Wisesa, putri bungsu dari seorang pengusaha terkenal Usman Wisesa, yang namanya selalu masuk di deret nama-nama pengusaha sukses. Rindi panggilannya, gadis manja yang pintar. Tak heran sebagai anak bungsu dari keluarga konglomerat, mudah dijangkau apapun yang diinginkannya. Hidupnya penuh dengan gelimang harta, membuat Rindi tumbuh jadi sosok yang egois, apapun yang diinginkannya harus ia dapatkan. Pak Usman Wisesa memiliki satu anak lelaki dan dua perempuan. Semua suda
Renata mematut penampilannya di cermin besar, yang terletak di walk in closet kamar pribadi miliknya. Dengan busana casual, celana jeans panjang dipadu dengan kemeja motif leopard keluaran brand ternama dipadu dengan flat shoes warna hitam senada dengan warna tas tangannya. Wajah tirus serta body yang langsing membuat penampilannya tidak seperti telah punya anak. Tapi matanya sedikit ada lingkaran hitam karena hampir setiap malam baby Annisa begadang. Entahlah apa yang membuat bayi itu selalu terbangun ditengah malam. Bahkan sampai Renata membuat jadwal agar mereka bertiga gantian menjaga baby Annisa ketika malam hari. Bayi berusia 2 bulan itu tumbuh dengan sehat dan menggemaskan, asupan nutrisi yang dimakan Renata membuat kualitas asinya mengalir deras. Membuat bayi itu tak pernah kekurangan air susu ibunya. "Bik, saya mau keluar dulu ya, Asi sudah ada di freezer," terangnya, pada Bik Sumi, orang