Renata merebahkan tubuhnya diatas ranjang ukuran King size dalam kamar bernuansa putih itu. Jarinya lincah mengetik sesuatu di aplikasi hijau diponselnya.
[Bi, dimana?]
[Di rumah! Kenapa?]
[Kangeeen]
[Kenapa?]
[Ada apa?]
Belum sempet Renata membalas pesan Bianca, di layar ponselnya terpampang wajah sahabatnya yang menelpon via W******p. Langsung saja dia mengusap tanda hijaunya.
"Ada apa, Ren?" tanya Bianca tanpa basa-basi Setelah melihat jelas wajah sahabatnya.
"Kangeeen," jawab Renata dengan mata berkaca-kaca.
"Kamu nggak baik-baik saja, Ren, iyakan?" ujar Bianca, menyelidik setiap garis wajah Renata yang nampak di layar ponselnya.
Renata memejamkan matanya. Merasakan nyeri yang berdenyut di lubuk hatinya.
"Aku ke rumahmu sekarang!"
Lalu gambar Bianca seketika hilang dari layar ponselnya.
Renata seketika tergugu, tangisnya kembali pecah tanpa bisa ditahan lagi. Dia tenggelam dalam luka hati yang sangat dalam. Wanita mana yang tidak akan merasa hancur saat dia berbadan dua dan sang suami, malah menyeleweng.
Kepalanya terasa sakit sekali, Renata beberapa kali menggelengkan kepala dan juga matanya mengerjap-ngerjapkannya dengan harapan rasa sakitnya bisa berkurang. Namun usahanya gagal, nyeri yang dirasakan bukan hanya di kepala saja namun hatinya lebih sakit daripada itu.
———
"Renata dimana, Bik?" tanya Bianca pada Bik Sumi, asisten rumah tangga di rumah ini.
"Di kamarnya, Non?" sahut Bik Sumi.
"Akh, ok."
"Non," panggil Bik Sumi.
Bianca menghentikan langkahnya dan menoleh "Ada apa, Bik?" tanyanya.
"Si Non, mau minum apa? Biar nanti Bibi bawain ke atas," ujarnya.
"Tidak usah, Bik, nanti saya yang turun kalau haus," sahutnya sambil berbalik dan naik ke arah kamar Renata.
"Ren," panggilnya, tapi Renata tidak bergeming. Wajahnya terlihat begitu damai dan tenang dengan nafas yang teratur. Bianca tidak tega membangunkan sahabatnya itu, yang mungkin saja sedang bermimpi indah dalam lelapnya.
Bianca memilih duduk di sopa yang ada di kamar Renata dan memainkan ponselnya.
Renata menggeliat dari tidurnya, tadi dia menangis hingga tertidur. Wajahnya terlihat mengerikan dengan kantung mata yang besar dan raut muka yang pucat.
"Ren," sapa Bianca, sambil menghampiri Renata yang masih terbaring ditempat tidur.
"Bi," panggil Renata, tangisnya pecah kembali saat Bianca memeluknya.
Renata kembali menangis dipelukan Bianca, sakit yang Renata rasakan mebuat Bianca juga merasakan ngilu dalam hatinya.
"Sakiiiit sekali, Bi," adunya diantara tangisan.
Bianca mengeratkan pelukan nya, mencoba menguatkan Renata bahwa dirinya selalu ada untuknya. Sungguh malang nasib si yatim piatu ini. Sejak dulu sahabat nya ini selalu salah dalam menemukan lelaki yang dicintainya, dan sialnya sikap bucin dan labilnya-lah sumber gejala rasa sakit yang Renata terima.
Renata selalu mencintai dengan sepenuh jiwa raganya ketika dia menganggap orang itu tepat buatnya. Maka ketika terjadi pengkhianatan, Renata selalu hancur seperti ini, dan ini bukan kali pertama. Dulu saat jaman kuliah pun ia pernah patah hati meski bukan karena pengkhianatan, saat Bara meninggalkan nya ke Belanda karena mendapat beasiswa kuliah ke negri kangguru itu. Lalu Doni datang membawa sejuta impian indah jadi sebagai pengobat luka bagi Renata. Sampai akhirnya dia yakin dengan Doni kemudian memutuskan mau dinikahi oleh lelaki itu.
Dan dua tahun kemudian, Doni malah sama saja menghancurkan Renata, dengan berselingkuhan, lebih parah dari apa yang Bara lakukan.
———
Sementara Doni, Setelah mengantar Renata ke kamarnya. Dia berniat pergi ke rumah Raka, dia bingung setelah Renata bilang mau istirahat dan tidak mau diganggu.
"Ka, dimana?" tanya Doni saat panggilannya terhubung, dia menghubungi teman dekatnya.
"Di rumah, sini ngopi sambil mabar," jawabnya.
"Aku kesana."
Doni melajukan mobilnya di jalan kompleks, kebetulan rumah Raka dan rumahnya hanya beda blok saja masih ada di satu perumahan yang sama.
"Hay, Bro," sapanya pada pemilik rumah.
"Masuk," sahut pemilik rumah.
Doni menjatuhkan bobotnya di hadapan Raka yang sedang anteng pada ponselnya.
"Ada masalah?" tanya Raka tanpa basa-basi, dia hafal betul peringai Doni.
Doni memijat kepalanya, dia ragu untuk bercerita kepada Raka. Tapi hanya Raka temannya yang netral jika dimintai pendapat, Raka sangat dewasa meski hingga saat ini belum menikah.
Akhirnya cerita tentang Renata mengalir pada Raka tanpa dibumbui kebohongan, sikap Renata yang tiba-tiba dingin dan sering dilihatnya menangis sendirian.
Raka menatap tajam temannya itu, tepat dimanik matanya. Dia mendengarkan setiap kata yang dilontarkan oleh Doni.
"Kamu yakin tidak ada andil dengan sikap Renata yang berubah seketika?" tanya Raka dengan tatapan menyelidik.
"Engga!" sanggahnya, Mana mungkin dia ceritakan tentang Lia, cari mati namanya.
"Yakin?" selidik Raka meragukan pengakuan Doni.
Doni diam tak menjawab lagi, sungguh dia bingung. Gil* saja pikirnya, kalau sampai dia menceritakan perihal Lia pada Raka.
Akan habis dihajarnya, kalau Raka tahu dia mengkhianati Renata, Raka sangat benci dengan pengkhianatan, siapapun pelakunya akan dimusuhi.
"Ingat, Don ... wanita akan berubah sikap dikarenakan lelakinya!" tegas Raka.
Doni terbatuk saat Raka membuka suaranya dan seolah menuding dirinya ikut andil dalam perubahan sikap Renata.
"Iya 'kan, Don?" desak Raka.
"E—euh, iya kali," cicit Doni akhirnya membenarkan ucapan Raka.
"Renata sedang hamil besar.
Seharusnya kamu lebih peka, lebih perhatian pada istrimu! jangan egois! Di rahimnya ada anakmu! pikir baik-baik itu," tegas Raka penuh penekanan.
Apa yang diucapkan Raka benar semua. Tapi bagaimana dengan Lia? Bagaimana dengan hatinya yang sudah nyaman dengan Lia? Pikiran Doni melayang tak tentu arah.
"Jangan sampai kamu menyesal! jangan sampai Renata mencari Ayah baru untuk anakmu!" ucap Raka dengan rahang yang mengeras.
"Entahlah, Ka, gue bingung," sahutnya.
Raka sebenarnya sudah tahu kecurangan yang dilakukan Doni dibelakang Renata. beberapa hari lalu Raka melihat Doni dengan Lia di sebuah cafe. Raka sudah curiga dari awal, wanita yang dilihatnya itu bukan rekan kerja sahabatnya. Tapi Raka lebih memilih diam sampai nanti Doni menceritakannya sendiri, dan sekarang Doni berusaha mencari kesalahan istrinya. "Bajing*n sekali sahabatku ini," gumamnya dalam hati.
Dilihat dari segi penampilan dan keadaan, Renata menang banyak dibanding Doni, dari awal, Raka melihat keberuntungan pada Doni yang mendapatkan Renata. Seorang pengusaha wanita dengan postur tubuh yang bodygoals, sebab Renata bergelut dibidang fashion pantas saja kalau penampilannya modis dan keren.
Berbanding terbalik dengan wanita yang dilihatnya di cafe bersama Doni, seorang perempuan berhijab panjang dengan tubuh mungil. Tapi kalau bicara tentang selera, Raka juga tidak mau berdebat, karena setiap orang punya hak memilih, apa yang dianggapnya baik dan layak untuk dirinya sendiri.
Raka tidak akan menyinggung perihal wanita berhijab itu, biarkan Doni mengakuinya sendiri. Sebagai orang yang mengenal Renata, ia ikut marah dan emosi ketika tahu Doni curang terhadap istrinya yang sedang hamil tua. Tapi, Raka tidak bisa berbuat apa-apa selain menunggu waktu yang tepat untuk menegurnya suatu hari nanti, saat Doni sudah mengakui sendiri kecurangannya.
Bukan ranahnya jika tiba-tiba ia marah dengan pengkhianatan Doni pada istrinya. Raka tahu dan sadar posisinya tapi kalau Doni sampai membuka suaranya perihal pengkhianatannya pada Renata, satu tonjokannya sudah dipastikan akan mendarat di tubuh temannya itu.
Raka sangat benci penghianatan, masih diingatnya tangisan ibunya dulu, hingga menyebabkan depresi dan masuk rumah sakit jiwa. Ibunya terlalu mencintai ayahnya Raka, hingga seluruh hidupnya digantungkan pada lelaki itu. Sampai suatu saat pada masanya ayahnya tergoda wanita lain dan menyebabkan Ibunya shock hingga terpuruk dan depresi.
Raka marah dan dendam pada ayahnya sendiri, hingga ia memutuskan keluar dari rumah dan hidup mandiri. Sejak saat itu Raka tidak tertarik dengan sebuah status, ia lebih memilih bersenang-senang tanpa ikatan.
Bianca sungguh geram sekali pada Doni. entah dimana pikirannya. Bermain hati dengan keadaan istrinya yang sedang hamil besar. Emosinya memuncak. Ingin sekali ia menghajar Doni hingga lelaki babak belur. Renata sangat terpukul setelah dia mengetahui saat ia terbaring di IGD pun, Doni masih menerima panggilan masuk dari pelakor syar'i itu. "Ren." Renata tak menyahut, hanya melihat ke wajah Bianca. "Kapan kamu akan bongkar perselingkuhan suami tercintamu itu?" "Aku belum tau, Bi." "Aku gak mau ya, Ren, melihat kamu terus begini!" "Lalu?" "Entahlah, aku sendiri bingung." "Apa aku bongkar saja sekarang?" "Jangan! Gak seru." "Kita grebek aja pas Doni ketemuan, gimana?" Seru Bianca sambil nyengir menampilkan deretan behel barunya. "Nanti ada yang rekam, lalu viral, Bi?" "Itu memang maksudku, Re — na — ta!" Bianca gemas sekali dengan lemotnya pikiran sahabatnya itu. justru ia ingin mereka viral. Membiarkan hukum netizen yang berlak
Sepeninggal Bianca aku masih pada posisi yang sama, memeluk diri sendiri. Memeluk perihnya hati yang tiada terkira, memeluk luka yang semakin menganga. Ingin ku enyahkan segala rasa, ingin kucampakan semua duka, tapi aku tak bisa. Aku kehilangan arah saat semuanya tak lagi berlaku. Aku tak boleh kalah! Aku tak boleh egois. Bagaimana nasib anakku yang akan lahir ini? Haruskah aku mengakhiri ini semua? Kepalaku rasanya mau pecah memikirkan semua ini. Apakah aku yang salah? Hingga Suamiku punya wanita idaman lain di luar rumah? Apakah kurangku? Dan masih banyak lagi apakah-apakah lainnya. Sungguh tega dirimu Mas! Kau hancurkan aku hingga porak-poranda tak bersisa. Kini aku tak mau menangis lagi. Aku hanya punya dua pilihan, terus bersama suami yang pengkhianat demi bayiku atau aku harus menyelesaikan nya dengan perceraian? Akh, aku butuh Bianca lagi, padahal dia baru saja pulang dua jam lalu. Aku bangkit, lalu mencuci mukaku yang mengenaskan akibat tak terse
Renata tengah mematut dirinya di depan cermin. Dia bermaksud untuk pergi ke butik miliknya, sudah seminggu ini dia tidak tahu bagaimana kabar butiknya itu. Masalahnya dengan Doni membuat dunianya beku dalam segala hal. Renata tersenyum sendiri melihat pantulan dirinya sendiri, cantik, tinggi, putih, namun tidak lantas membuat lelakinya setia. Hidup macam apa ini pikirnya. "Astaghfirullah," Renata mengucapkan istighfar saat sadar, dia seolah meragukan takdir sang pemilik alam. Doni keluar dari kamar mandi, diapun akan bersiap untuk pergi kekantor "Mau kemana?" tanyanya saat melihat istri cantiknya telah berdandan rapi. "Ke butik." "Oh." Doni berlalu dan bersiap untuk pergi kekantor, dia mengenakan celana panjang navy, kemeja putih dan jas warna senada dengan celananya. Tampan dan gagah, ucapan yang akan dilontarkan siapa saja yang melihat penampilannya. Karena memang Doni dan Renata itu pasangan yang sangat serasi dalam hal perawakan dan penampilan. Siapa
"Memang aku kurangnya apa, Mas?" lirih Lia sambil terisak. Hatinya sungguh terluka dengan unggahan status Ahmad di F******k, siang itu. Seperti biasa Ahmad selalu membuat status tentang poligami yang selalu diamini oleh teman-temannya.Selain kecewa dan terluka, Lia merasa dirinya dipermalukan sampai titik terendah. Bagaimana tidak! Bahkan usia pernikahan nya pun belum genap 5 tahun."Jawab aku, Mas!" ucap Lia dengan gemas. Ketika melihat suaminya malah diam membisu."Jika, Mas, sudah tidak mencintai saya, kembalikan saya pada Abah. Jangan permalukan saya seperti ini!" sungut Lia penuh emosi.Sementara Ahmad malah diam membisu, sebenarnya dia hanya iseng saja update status seperti itu, hanya untuk bercanda dan meramaikan beranda F******k nya. Tapi Lia, malah menanggapinya lain, dan ini bukan kali pertama ia update status tentang poligami. Tapi hari ini, entah kerasukan apa istrinya itu, hingga perihal status saja dia ngamuk seperti ini. Jadi males ada di rumah. Pikir
"Menyebalkan," gerutunya, lalu tiba-tiba tangisnya pecah, merasakan sesak dari semua yang dialaminya."Mas Ahmad dan Mas Doni sama saja. Mereka hanya menoreh luka di hatiku," jerit batinnya.Wanita berbadan mungil itu, menelungkupkan wajahnya di atas bantal, Lalu menangisi nasib diri yang dirasa sangat menyakitkan baginya. Ia gamang harus bagaimana. Ia kira Doni akan jadi pengobat luka hatinya. Namun kenyataannya malah menambah kehancuran hidupnya saja."Apakah salahku hingga kedua lelaki itu begitu kompak hadir di hidupku hanya untuk menyakiti dan menghancurkanku secara bersamaan!" batinnya bertanya kenapa dan kenapa.———Renata tersenyum melihat story' yang dibuatnya telah dilihat oleh Lia, dering panggilan pun beberapa kali di ulangi.Akhirnya setelah berhenti Renata dengan sigap menghapus unggahannya juga
"Ya, gi—gitu ... biar aku over aja deh sama Bianca," sahut Renata pelan. Dia bingung membahasakannya bagaimana seharusnya agar tak menyinggung hati suaminya juga keluarganya."Ibu dan Dina, pasti akan tersinggung, Ren!" cicit Doni."Karena begitu, Mas, aku ngomong sama kamu sekarang," lirihnya.Keduanya sama-sama diam tanpa kata.———Bianca sudah meluncur menuju rumah Ibunya di kawasan Depok. Dia bermaksud pamit untuk terbang besok pagi, pasti diomelin karena tidak menginap. Entahlah, setelah bekerja Bianca lebih memilih hidup mandiri daripada tetap tinggal dengan orang tuanya.Awalnya dia hanya ngekos di daerah Tangerang dengan biaya yang mahal menurut bundanya. Yang akhirnya dia memutuskan memilih rumah tipe cluster dengan harga yang lumayan, untuk ukuran gaji dia sekarang ini. Tapi lebih murah kalau diban
"Ren?" panggil Bunda Hani."Iya, Bun.""Kamu, baik-baik saja kan?" tanya bundanya Bianca menyelidik, sejak Renata masuk tadi wajahnya tidak seceria biasanya, Bunda Hani merasa ada yang salah dengan Renata. Wajah wanita muda itu begitu murung seperti dirudung duka."Akh, enggak, Bun, emang kenapa, Bun?" Kilah Renata. Dan berusaha menyembunyikan kepahitan hidup yang sedang dialaminya"Wajah kamu tidak menyiratkan baik-baik saja," tegas Bunda Hani sambil menatap lekat wajah Renata. Dia menyisir setiap inci wajah sahabat anaknya itu.Renata hanya diam, tiba-tiba saja rasa sedih menyeruak di dadanya. Padahal tadi dia tertawa bahagia bisa berkumpul dengan keluarga Bianca. Namun sekarang seketika saja dia tak bisa menyembunyikan duka yang sedang dirasakannya. Renata memeluk tubuh Bunda Hani dihadapannya. Lalu menangis sejadi-jadinya. Tangisan Renata begitu pilu di pendengaran wanita par
Saat Lia hendak menuju pintu, badannya berbalik seketika tanpa menoleh terlebih dahulu. Kebetulan posisi meja tempat makan dia tadi, berada di ujung pintu. Jelas saja saat dia berbalik, langsung menyenggol siapapun yang keluar atau masuk pintu itu. Karena tempatnya yang memang minimalis.Pria kokoh yang ditabraknya tadi memelototkan matanya karena kaget melihat wanita berhijab maroon itu sampai oleng jika saja tidak memegang sisi meja, sudah pasti ia akan terjerembab.Lia menjerit dan beristighfar saat bawaan nya jatuh dan tubuhnya seakan sedikit terpental ke belakang. Dia yang menubruk, dia sendiri yang oleng. Beberapa pasang mata melihat ke arah Lia dan laki-laki yang masih tertegun di pintu masuk."Maaf," cicit Lia, sambil meringis memegang pinggulnya yang sakit terkena ujung meja."Oh, saya yang minta maaf, apa ada yang sakit?" tanyanya, sambil memandang penuh penyesal