Satu jam berlalu Doni masih terduduk di ruang tunggu IGD. Dia nampak gelisah memikirkan Renata didalam sana.
Tiba-tiba ponselnya berkedip dan lagi nama Lia terpampang di layarnya. Dengan kasar Doni mengusap tanda gagang telepon dan menempelkannya ketelinganya.
"Assalamualaikum," ucap suara di seberang sana yang terasa bagaikan siraman es di tengah panas terik matahari, sangat menyejukkan.
"Waalaikumsalam," jawab Doni agak gugup.
"Mas," panggil Lia begitu merdu di pendengaran Doni.
"Iya, Li," sahut Doni. "Ada apa?" tanyanya
"Emh … a—aku kangen," tutur Lia terbata.
"Apa?!" Doni terlonjak kaget.
"Maaf," cicit Lia dan langsung mematikan teleponnya.
Jantungnya terasa copot kaget dengan reflek dia bilang kangen pada Doni, setelah Doni tadi menyatakan pertemuan mereka batal karena Doni sakit perut, perasaan marah dan kesal tiba-tiba menyeruak di dadanya. Belum lagi dia membaca status suaminya tentang poligami. Ya … entah kenapa suaminya selalu membahas itu di status facebooknya dan diamini oleh teman-temannya, membuat Lia malu dan kecewa saja.
Ahmad Sobari namanya. laki-laki yang menikahinya lima tahun lalu. Lia dan Ahmad dikaruniai seorang putra yang kini berusia empat tahun, Alvin Raditya Sobari namanya. Tumbuh kembang Alvin sangat bagus, di usianya yang sekarang bahkan Alvin sudah hafal bacaan sholat wajib. Beberapa surah-surah pendek Al-Qur'an dan sholawat dihafalnya. Mungkin karena Alvin tumbuh di lingkungan pesantren jadi banyak santri yang kadang bermain dengannya dan mengajarkan apa yang mereka terima di pondok, entah Alvin mendengar sendiri lalu menghafal nya atau karena saking seringnya mendengarkan. Lia tidak tahu pasti tentang itu, karena dia sering diluar rumah. Sebagai guru TK, Lia punya tanggung jawab pekerjaan yang mengharuskannya meninggalkan Alvin di rumah bersama suaminya.
Mereka tinggal di lingkungan pondok pesantren karena suaminya Lia bekerja disana juga karena posisi rumah mereka yang jauh dari lokasi tempat Ahmad bekerja. Hingga pemilik pondok menawarkan sebuah rumah mungil di ujung kobong santriwati. Sekalian suaminya mengurus semua tata usaha yang ada, katanya pada waktu itu.
Tentu saja Lia mau, kebetulan di kampung pun dia belum memiliki rumah sendiri masih ikut dengan orangtua.
Satu kesempatan baginya untuk mandiri.
Namun dua tahun belakang ini, Ahmad sering sekali membahas perihal poligami. Padahal jika ditelaah apa kurang dirinya, masih muda, berpendidikan, punya kerjaan yang terhormat, dia juga berhijab syar'i. Apalagi yang ingin dicari suaminya, Lia tak paham.
Awalnya dia hanya menanggapinya lucu-lucuan tapi seiring waktu berlalu dirinya merasakan itu sebuah kode yang ditujukan oleh Ahmad, hingga semua itu jadi beban dan pikiran menggerogoti rasa yang ada untuk suaminya, perlahan mengikis dan wanita itu mulai muak dengan segala candaan nya tentang poligami, sehingga Lia menjadi liar seperti ini, berani menaruh hati pada lelaki lain yang juga belum diketahui statusnya.
Wanita berhijab itu tergugu sambil menakup wajahnya dengan kedua tangan. Ada rasa malu dan lega setelah ia mengutarakan rasa rindunya pada Doni. Tentang Ahmad entahlah bagaimana nanti saja. Lia mematikan ponselnya lalu keluar kamar untuk mencari Alvin yang sejak tadi tidak kelihatan batang hidungnya.
———
Sementara Doni masih terpaku dengan apa yang didengarnya. Lia mengatakan rindu padanya, seketika senyumnya mengembang. Dia merasa bahagia dan dunia menjadi semakin indah setelah mengetahui perasaan Lia, pesonanya sebagai lelaki tertampan berhasil menggaet Lia tanpa dia harus bersusah payah merayunya.
Doni bahkan sampai lupa istri dan anaknya sedang berada di IGD, gara-gara tadi ia mengerem mendadak saat Lia menelepon, saking takut ketahuan oleh Renata, dia sampai rela mengorbankan istri dan calon anaknya.
Krieeet .…
Seorang dokter muda keluar sambil celingukan dan berhenti saat melihat Doni menghampirinya.
"Bagaimana keadaan istri saya, Dok?" tanyanya.
"Ibu Renata 'kah?" tanya dokter muda itu.
"Iya, benar, Dok!" sahut Doni.
"Ibu Renata dan bayinya baik-baik saja, hanya Anda harus lebih memperhatikannya. Sebab dia sangat stress Sekali. Jika ini terus berlanjut akan berpengaruh juga pada kehamilannya" tutur sang dokter.
"Baiklah, Dok, terima kasih," sahut Doni lega dan mengulurkan tangannya untuk menjabat tangan sang dokter tersebut.
Doni lalu masuk ke ruang IGD untuk menjemput Renata, karena istrinya dinyatakan baik-baik saja dan bisa langsung pulang.
"Ren," panggilnya.
Renata melirik Doni dengan ujung matanya, dia tak menjawab panggilan suaminya, hatinya sudah terlanjur sakit dan terluka oleh Doni. Karena tadi, Renata juga melihat siapa si penelpon yang membuat Doni, mengerem mendadak hingga menyebabkan diri dan bayinya sekarang terbaring disini.
Renata bimbang untuk mengatakan semua yang diketahuinya perihal hubungan suaminya dan Lia. Mungkin ia harus sedikit lebih bersabar lagi agar semua sesuai dengan rencananya.
Namun hatinya sedikit berontak atas kejadian tadi pagi.
"Aku butuh, Bianca saat ini juga," lirihnya dalam hati.
"Ayo! kita pulang," ajak Doni. Kamu bisa berdiri atau aku gendong?" tanyanya.
Renata mendelik "kamu pikir aku lumpuh?" cetusnya penuh emosi.
Lalu Renata bangkit dan mencoba berjalan meski perut bawahnya sedikit ngilu, kehamilan nya memang dari awal sering mengalami kontraksi palsu, ya semacam sakit pada saat jalan beberapa meter saja, saat dia konsultasi pada dokter katanya tidak apa-apa dan dinamai kontraksi palsu.
Renata ingin sekali menepis tangan Doni yang sigap memegang nya saat dia melangkah, tapi kali ini biarlah dulu ia mengalah lagi, pikirnya.
Renata mengaduk isi tas nya, mencari ponsel baru miliknya. Tapi tidak ditemukan juga.
"Kamu nyari apa?" tanya Doni.
"Ponselku." ketus Renata.
Doni menunduk mencari ponsel milik Renata diantara kaki istrinya, dan benar saja ponsel yang dicari Renata ada dibawah. Mungkin tadi terjatuh saat ia mengerem mobil.
"Kemana kita?" tanya Doni.
"Ketemu selingkuhan," Ketus Renata.
Doni langsung tersedak mendengar jawaban Renata, seketika tubuhnya menegang dan tergagap.
"M—maksud kamu?" tanya nya dengan muka memerah dan gugup.
"Tidak ada maksud," sahut Renata dingin sambil pandangan nya tetap lurus kedepan, meski lawan bicaranya ada di sampingnya.
"Kenapa kamu tersedak, Mas, saat aku bilang selingkuhan? Kamu selingkuh?" selidik Renata, kini matanya menatap tajam ke arah Doni yang seketika gemetar.
"Sembarangan," kilahnya.
"Ku kira kamu selingkuh, Mas."
"Enggalah."
"Kalau kamu selingkuh aku sih tak apa-apa, hanya saja ada yang perlu kamu bayar mahal atas hancurnya hatiku," tegasnya.
Doni tak lagi menggubris perkataan istrinya, dia langsung menginjak pedal gas keluar dari pelataran rumah sakit. Hatinya seketika ciut saat mendengar penuturan Renata yang seakan mengancamnya secara langsung.
Doni berusaha fokus pada jalanan meski otaknya sibuk memikirkan tentang kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi seandainya Renata tahu hubungan nya dengan Lia, meski belum ada kejelasan atas kebersamaan nya dengan Lia. Tapi sekedar keluar bareng dan nongkrong, sudah hampir setiap hari pada saat jam kantor.
"Akh … entahlah, bagaimana nanti saja, aku malas memikirkan nya, sekarang aku mau fokus sama Renata dulu, dan semoga Lia tidak menghubungiku saat libur hari ini," gumamnya dalam hati.
Renata merebahkan tubuhnya diatas ranjang ukuran King size dalam kamar bernuansa putih itu. Jarinya lincah mengetik sesuatu di aplikasi hijau diponselnya.[Bi, dimana?][Di rumah! Kenapa?][Kangeeen][Kenapa?][Ada apa?]Belum sempet Renata membalas pesan Bianca, di layar ponselnya terpampang wajah sahabatnya yang menelpon via WhatsApp. Langsung saja dia mengusap tanda hijaunya."Ada apa, Ren?" tanya Bianca tanpa basa-basi Setelah melihat jelas wajah sahabatnya."Kangeeen," jawab
Bianca sungguh geram sekali pada Doni. entah dimana pikirannya. Bermain hati dengan keadaan istrinya yang sedang hamil besar. Emosinya memuncak. Ingin sekali ia menghajar Doni hingga lelaki babak belur. Renata sangat terpukul setelah dia mengetahui saat ia terbaring di IGD pun, Doni masih menerima panggilan masuk dari pelakor syar'i itu. "Ren." Renata tak menyahut, hanya melihat ke wajah Bianca. "Kapan kamu akan bongkar perselingkuhan suami tercintamu itu?" "Aku belum tau, Bi." "Aku gak mau ya, Ren, melihat kamu terus begini!" "Lalu?" "Entahlah, aku sendiri bingung." "Apa aku bongkar saja sekarang?" "Jangan! Gak seru." "Kita grebek aja pas Doni ketemuan, gimana?" Seru Bianca sambil nyengir menampilkan deretan behel barunya. "Nanti ada yang rekam, lalu viral, Bi?" "Itu memang maksudku, Re — na — ta!" Bianca gemas sekali dengan lemotnya pikiran sahabatnya itu. justru ia ingin mereka viral. Membiarkan hukum netizen yang berlak
Sepeninggal Bianca aku masih pada posisi yang sama, memeluk diri sendiri. Memeluk perihnya hati yang tiada terkira, memeluk luka yang semakin menganga. Ingin ku enyahkan segala rasa, ingin kucampakan semua duka, tapi aku tak bisa. Aku kehilangan arah saat semuanya tak lagi berlaku. Aku tak boleh kalah! Aku tak boleh egois. Bagaimana nasib anakku yang akan lahir ini? Haruskah aku mengakhiri ini semua? Kepalaku rasanya mau pecah memikirkan semua ini. Apakah aku yang salah? Hingga Suamiku punya wanita idaman lain di luar rumah? Apakah kurangku? Dan masih banyak lagi apakah-apakah lainnya. Sungguh tega dirimu Mas! Kau hancurkan aku hingga porak-poranda tak bersisa. Kini aku tak mau menangis lagi. Aku hanya punya dua pilihan, terus bersama suami yang pengkhianat demi bayiku atau aku harus menyelesaikan nya dengan perceraian? Akh, aku butuh Bianca lagi, padahal dia baru saja pulang dua jam lalu. Aku bangkit, lalu mencuci mukaku yang mengenaskan akibat tak terse
Renata tengah mematut dirinya di depan cermin. Dia bermaksud untuk pergi ke butik miliknya, sudah seminggu ini dia tidak tahu bagaimana kabar butiknya itu. Masalahnya dengan Doni membuat dunianya beku dalam segala hal. Renata tersenyum sendiri melihat pantulan dirinya sendiri, cantik, tinggi, putih, namun tidak lantas membuat lelakinya setia. Hidup macam apa ini pikirnya. "Astaghfirullah," Renata mengucapkan istighfar saat sadar, dia seolah meragukan takdir sang pemilik alam. Doni keluar dari kamar mandi, diapun akan bersiap untuk pergi kekantor "Mau kemana?" tanyanya saat melihat istri cantiknya telah berdandan rapi. "Ke butik." "Oh." Doni berlalu dan bersiap untuk pergi kekantor, dia mengenakan celana panjang navy, kemeja putih dan jas warna senada dengan celananya. Tampan dan gagah, ucapan yang akan dilontarkan siapa saja yang melihat penampilannya. Karena memang Doni dan Renata itu pasangan yang sangat serasi dalam hal perawakan dan penampilan. Siapa
"Memang aku kurangnya apa, Mas?" lirih Lia sambil terisak. Hatinya sungguh terluka dengan unggahan status Ahmad di F******k, siang itu. Seperti biasa Ahmad selalu membuat status tentang poligami yang selalu diamini oleh teman-temannya.Selain kecewa dan terluka, Lia merasa dirinya dipermalukan sampai titik terendah. Bagaimana tidak! Bahkan usia pernikahan nya pun belum genap 5 tahun."Jawab aku, Mas!" ucap Lia dengan gemas. Ketika melihat suaminya malah diam membisu."Jika, Mas, sudah tidak mencintai saya, kembalikan saya pada Abah. Jangan permalukan saya seperti ini!" sungut Lia penuh emosi.Sementara Ahmad malah diam membisu, sebenarnya dia hanya iseng saja update status seperti itu, hanya untuk bercanda dan meramaikan beranda F******k nya. Tapi Lia, malah menanggapinya lain, dan ini bukan kali pertama ia update status tentang poligami. Tapi hari ini, entah kerasukan apa istrinya itu, hingga perihal status saja dia ngamuk seperti ini. Jadi males ada di rumah. Pikir
"Menyebalkan," gerutunya, lalu tiba-tiba tangisnya pecah, merasakan sesak dari semua yang dialaminya."Mas Ahmad dan Mas Doni sama saja. Mereka hanya menoreh luka di hatiku," jerit batinnya.Wanita berbadan mungil itu, menelungkupkan wajahnya di atas bantal, Lalu menangisi nasib diri yang dirasa sangat menyakitkan baginya. Ia gamang harus bagaimana. Ia kira Doni akan jadi pengobat luka hatinya. Namun kenyataannya malah menambah kehancuran hidupnya saja."Apakah salahku hingga kedua lelaki itu begitu kompak hadir di hidupku hanya untuk menyakiti dan menghancurkanku secara bersamaan!" batinnya bertanya kenapa dan kenapa.———Renata tersenyum melihat story' yang dibuatnya telah dilihat oleh Lia, dering panggilan pun beberapa kali di ulangi.Akhirnya setelah berhenti Renata dengan sigap menghapus unggahannya juga
"Ya, gi—gitu ... biar aku over aja deh sama Bianca," sahut Renata pelan. Dia bingung membahasakannya bagaimana seharusnya agar tak menyinggung hati suaminya juga keluarganya."Ibu dan Dina, pasti akan tersinggung, Ren!" cicit Doni."Karena begitu, Mas, aku ngomong sama kamu sekarang," lirihnya.Keduanya sama-sama diam tanpa kata.———Bianca sudah meluncur menuju rumah Ibunya di kawasan Depok. Dia bermaksud pamit untuk terbang besok pagi, pasti diomelin karena tidak menginap. Entahlah, setelah bekerja Bianca lebih memilih hidup mandiri daripada tetap tinggal dengan orang tuanya.Awalnya dia hanya ngekos di daerah Tangerang dengan biaya yang mahal menurut bundanya. Yang akhirnya dia memutuskan memilih rumah tipe cluster dengan harga yang lumayan, untuk ukuran gaji dia sekarang ini. Tapi lebih murah kalau diban
"Ren?" panggil Bunda Hani."Iya, Bun.""Kamu, baik-baik saja kan?" tanya bundanya Bianca menyelidik, sejak Renata masuk tadi wajahnya tidak seceria biasanya, Bunda Hani merasa ada yang salah dengan Renata. Wajah wanita muda itu begitu murung seperti dirudung duka."Akh, enggak, Bun, emang kenapa, Bun?" Kilah Renata. Dan berusaha menyembunyikan kepahitan hidup yang sedang dialaminya"Wajah kamu tidak menyiratkan baik-baik saja," tegas Bunda Hani sambil menatap lekat wajah Renata. Dia menyisir setiap inci wajah sahabat anaknya itu.Renata hanya diam, tiba-tiba saja rasa sedih menyeruak di dadanya. Padahal tadi dia tertawa bahagia bisa berkumpul dengan keluarga Bianca. Namun sekarang seketika saja dia tak bisa menyembunyikan duka yang sedang dirasakannya. Renata memeluk tubuh Bunda Hani dihadapannya. Lalu menangis sejadi-jadinya. Tangisan Renata begitu pilu di pendengaran wanita par