"Tuan, mobil yang dikendarai anak itu sudah kami urus dan kami bereskan..." Laporan anak buah Martin membuatnya cukup tenang.Siapa suruh datang lagi ke rumahnya di saat dia tidak ada!"Biar dia tahu rasa!" Martin nampak tersenyum saat mendengar kabar mobil itu jatuh terguling dan terperosok ke sisi kiri jalan yang berseberangan dengan jurang cukup curam."Mobilnya tidak sampai masuk jurang, Tuan. Hanya tadi kami mengamati terakhir tersangkut di akar-akar pohon besar." Lanjut anak buahnya saat melaporkan."Apa dia masih hidup?""Kami tidak tahu pasti. Yang jelas dia pingsan sekaligus ada luka di kepalanya." Katanya lagi."Kalian yakin anak itu adalah si bule yang biasa ke sini?"Anak buahnya terhenti sejenak. Lalu karena takut jika dia seolah tak bisa bekerja dengan baik, dijawab saja dengan anggukan kepala.Salah satu anak buahnya yang lain masih ragu karena sepertinya sekilas itu bukan anak yang biasanya datang ke tempat Tuan Martin."Iya-iya kami yakin Tuan." Jawab sosok yang berdi
"Aku ingin berkunjung ke sana!" Kata Tuan Martin pada salah satu anak buahnya.Dia berinisiatif untuk mengunjungi menantunya yang secara tidak sengaja menjadi korban dari perlakuan anak buahnya."Sebaiknya jangan dulu, Tuan. Kita tidak pernah tahu ada apa sebenarnya sedang terjadi di rumahnya. Ini akan jadi hal yang fatal..."Mentalnya jatuh seketika. Bagaimana bisa anak buahnya begitu ceroboh sampai-sampai mencelakai menantunya sendiri? Baginya, Benedict itu sangat jauh berbeda dibandingkan dengan keluarganya yang lain.Hanya Benedict yang di mata Tuan Martin, layak disebut sebagai manusia.Dia tak pernah menjahati Aliesha apalagi selalu hadir di masa-masa terpuruk anak perempuannya itu. Lain halnya dengan Noah yang tak mau tahu soal keberadaan janin yang dulu masih di kandungan Aliesha."Tuan, sebaiknya jangan ke sana dulu!" Anak buahnya yang lain mencegah. Ini demi kebaikan semuanya."Oke, aku akan menuruti kalian dengan tidak ke sana. Tapi beri tahu aku, siapa kemarin yang menemba
"APAA?" Aliesha tentu saja terkejut. "Iya, Non. Sebaiknya Non Aliesha keluar sebentar untuk melihat keadaannya." Pesan dari seorang pengawal Kakek yang dikatakan kepada Aliesha. Wanita cantik itupun bangkit dari duduk dan keluar membuka pintu. Semua orang terkejut dan khawatir kalau terjadi sesuatu. "Aliesha, mau ke mana?" Papa mertuanya bertanya dan mendekat. Rupanya semua anggota keluarga duduk di depan ruang ICU untuk menjaga dan memantau keadaan Benedict. "Ayah... masuk ke IGD karena tertembak!" Ucapnya lirih. Betapa kasihannya ketika orang-orang melihat wanita itu, yang di saat suaminya terkena musibah kecelakaan dan tak sadarkan diri, sekarang Ayahnya juga mengalami kecelakaan tertembak. "Apa yang terjadi?" Tanya mertuanya. "Belum tahu, Pa. Saya masih mau ke sana. Mungkin memang hari ini adalah hari ujian dalam hidupku!" Badannya lemah dan berjalan menuju IGD diantarkan oleh pembantu yang selalu menyertainya. "Ricky, lihat kondisi Ayahnya. Siapa tahu parah!" Kata mertu
"Tolong bawa pasien atas nama Martin Zhafir segera ke ruang operasi." Salah satu pegawai rumah sakit berseragam mengabarkan.Anak buah Tuan Martin bersiap untuk mengantarnya."Nona Aliesha, kami memahami perasaan Nona sekarang. Tapi, alangkah baiknya kalau saat ini Nona juga berdoa untuk keberhasilan operasinya Ayah Nona. Permisi, kami harus pergi dulu ke ruang persiapan operasi!" Anak buah Tuan Martin membawa perlengkapan tas dan dokumennya.Asisten Tuan Martin sudah berdiri di samping ranjang yang digunakan untuk berbaring pasien.Melihat rombongan orang-orang itu menjauh, Aliesha hanya bisa diam di tempat tanpa suara.Dia termenung memikirkan nasib suaminya yang sedang bergelut dengan maut. Apa jadinya nanti jika terjadi kemungkinan terburuk yang dikatakan dokter?Aliesha belum siap jika harus menjanda lagi. Tapi di sisi lain, kondisi Ben tidak ada jaminan kalau nanti saat sembuh akan kembali normal.Apakah dia sanggup merawat suaminya yang cacat dan tak sempurna lagi?Semua pikir
Bunyi jam dinding membuatnya terusik dari tidur.Ada beberapa suara manusia yang sedang melakukan sesuatu. Suara yang sama sekali tidak ia kenal. Ada apa ini? Kenapa tubuhnya terasa sangat berat dan tak kuasa digerakkan. Bahkan ia tak mampu bicara untuk menceritakan apa yang sebenarnya sekarang ia rasakan.Matanya terasa berat dan tak mampu dia buka.Di mana aku?Sekuat tenaga dia menjerit tapi masih saja tak bisa mengeluarkan suara ke luar.Apa sekarang ini dia sudah mati dan berpindah alam? Rasanya belum.Aroma itu adalah aroma obat-obatan. Tak salah lagi, sejak tadi ia mendengar suara orang yang ada di sekitarnya namun rasanya mereka memang sibuk sedang melakukan sesuatu.Tubuhnya tak terlalu bisa merasakan apa-apa selain dingin. Rasanya dingin melebihi saat masuk ke dalam freezer. Tulangnya bagaikan membeku.Di mana ini sebenarnya. Rumah sakit? Seingatnya terakhir kali dia sadar, dia tak berada di sini.Kepalanya sakit luar biasa saat dia akan mengingat memori terakhirnya. Bukank
Batin siapa yang tak teriris ketika melihat sosok itu tiba-tiba saja pergi tanpa pamit? Aliesha hanya bisa menangis dan menjerit.Rasanya baru kemarin Ben hadir dalam hidupnya dan ia muncul di saat dirinya tak memiliki siapapun untuk bersandar.Lelaki tampan itu seolah menjelma menjadi manusia berhati malaikat saat mendekatinya. Tanpa pikir panjang, saat itu dengan mudah Aliesha bisa menerimanya.Entah niatan apa yang membuat Ben mendekati dan menerima Aliesha, yang jelas ketulusan dan cintanya itu bisa menembus batas di dinding tinggi yang telah Aliesha buat setelah dikhianati oleh Noah.Saat terpuruk dan tak ada siapa yang bisa dia jadikan sebagai sandaran tangis, Aliesha beruntung saat itu mendapati sosok sebaik dirinya.Tak banyak menuntut meski tetap saja ada onak dan duri yang menjadi bumbu romantisme hubungan mereka."Ben..." Aliesha memeluk jasad itu dengan penuh cinta.Seakan suaminya itu sekarang sedang tertidur dan tak terjadi apa-apa. Aliesha mengelusnya seakan menunggunya
"Aku tidak mau tahu, suruh perempuan itu pergi dari ini!" Suara kakek menggelegar sehari setelah Ben dimakamkan.Tangannya sampai gemetaran saat mengucapkan hal itu pada pengawal dan beberapa orang pembantunya."Tapi, Tuan..." Itu kalimat yang ingin disampaikan oleh pembantu, tapi tetap saja dia tak berani berkata apa-apa karena majikannya lah yang menggaji setiap bulan.Untuk sementara dia harus berdiam diri dan tidak menyanggah apapun yang diperintahkan oleh sang majikan."Cepat kemasi barang-barangnya dan aku tidak mau melihatnya keluyuran di sini lagi!" Kakek semakin membabi buta dan marah sejadi-jadinya."Ba-baik Tuan, kami akan membawanya pergi dari sini.""Jangan sampai ada satu barangnya yang tertinggal. Aku tidak mau di rumahku bau keringat dan jejaknya tersisa di sini. Cepat lakukan!" Kakek bertitah dan kemudian masuk kembali ke ruang kerjanya untuk menyendiri.Baginya kehilangan Ben seperti kehilangan nyawanya sendiri. Seumur hidupnya, cucu yang satu ini teramat menurut dan
Aliesha mengaitkan kedua lengannya dan melipatnya di depan dada.Ada rasa berat saat dirinya meninggalkan rumah ini sekarang. Dulu, dia bersikeras ingin segera pergi dari sini dan meneruskan hidupnya di rumah yang berhasil ia bangun dengan mimpinya sambil membesarkan usaha yang dia rintis.Kini, entah sejak kapan rasa memiliki itu mulai muncul.Rasanya berat saat Ben sudah tak ada lagi. Apakah dia masih bisa menyebut sebuah bangunan itu sebagai sebuah rumah? Rasanya tidak saat Ben tak ada lagi di dalamnya.Dan tempat terakhir yang Aliesha rasakan sebagai rumah adalah rumah Kakek, yang dirinya akhrinya terusir juga untuk pergi.Memang tak ada yang abadi di dunia ini.Aliesha tahu itu."Apa kamu baik-baik saja?" Suara Noah yang lagi-lagi membuatnya kembali menjejakkan angannya ke bumi.Wanita berbaju hoodie yang ukurannya oversize itu hanya mengangguk dan sorot matanya kosong.Saat ini, Noah juga sama-sama hancur tapi satu hal yang dia pegang yaitu kalimat Ben yang menitipkan Aliesha se