Share

BAB 9 Terjebak di Resort

Selagi masih ada sinyal dan listrik di pulau Gura-guri, Noah memanfaatkannya untuk berkomunikasi dengan Ben dan keluarganya.

“Sudah, nikmati saja dulu honeymoon kalian…” kelakar tawa yang diucapkan Ben sama sekali tidak membuat Noah lega.

Dia terus-terusan digodai oleh rekannya itu.

“Honeymoon apanya? Aliesha itu bukan wanita manja yang bisa menyenangkan lelaki. Dia itu batu!” rutuk Noah kesal.

“Walau bagaimanapun, kamu tidak boleh rugi. Kamu sudah dijadikan mainan oleh mereka. Setidaknya, nikmatilah tubuhnya… hahahahaa…”

Gurauan itu membekas di benaknya. Apa iya dia harus melakukan itu? Apa Aliesha akan menuruti apa maunya… itu jelas mustahil.

“Noah, sepertinya pemadaman akan dimulai malam nanti.”

Sudah hapal dengan tabiat istrinya yang takut gelap, diapun menenangkannya. “Tidak usah takut. Pihak resort sudah memastikan cadangan listrik aman. Lagipula mereka membagikan lilin cukup banyak jika terjadi hal yang tak diinginkan.”

“Tapi…”

“Sudahlah. Jangan berpikiran buruk. Setiap kejadian pasti ada hikmahnya…”

Aliesha pun akhirnya duduk dan termenung. Cadangan batrei ponselnya tak dibawa. Dia tak pernah membayangkan akan terjebak di sini.

Sementara ayahnya yang punya pesawat jet pribadi, justru tak bisa dihubungi saat emergency.

“Apa yang bisa kita lakukan selama sepekan terkurung di kamar ini?” Aliesha benar-benar terlihat cemas.

“Percayalah, ada banyak hal yang bisa kita lakukan. Aku jamin kamu tidak akan bosan! Justru akan ketagihan…” Noah mengedipkan mata kirinya.

Bagi Aliesha itu bukanlah jawaban.

Dirinya tidak mood membicarakan hal-hal berbau ‘dewasa’ begitu.

“Ayolah, Nona. Seharusnya di usiamu yang sekarang… kamu di masa puncaknya untuk hal itu.” Kalimat Noah terdengar sedang mengajak perang. “Jangan biarkan gelora di hatimu itu mati sia-sia…”

Sang istri pura-pura tidak mendengar dan terus men-scroll layar ponselnya untuk mengalihkan pikiran. Rupanya menahan godaan saat berdua begini cukup sulit untuknya.

Lebih-lebih sekarang di sini tak ada pekerjaan atau hal yang menyibukkan dirinya.

“Dasar playboy!” seloroh Aliesha dengan mata mendelik.

**

Ramalan cuaca memang lebih akurat dari prediksi dukun manapun. Angin mulai berputar-putar di sekitar pantai.

Aliesha menyaksikan sendiri mendung kelabu mulai berduyun-duyun memenuhi langit. Padahal awalnya langit masih cerah dan berwarna biru.

Noah yang tadinya di luar buru-buru masuk ke dalam.

“Nona, sebaiknya kita tidak ke mana-mana dulu.” Tangannya mengeluarkan barang-barang belanjaan dari tas besar.

Dia terkagum dengan kesigapan suaminya menanggulangi bencana yang akan menerpa.

“Apa ini semua?” Aliesha keheranan.

Noah belanja dalam jumlah cukup besar.

“Aku memborong semua bahan makanan dan buah-buahan di toko. Apa saja yang bisa kita makan, aku beli…” ungkapnya merasa lega. “Kuharap kamu doyan, Nona.”

“Bagaimana kita memasaknya kalau kompor Listrik tak bisa menyala?”

Senyuman Noah terkembang, tak rugi dirinya dulu mengikuti kegiatan pramuka dan pecinta alam.

“Kita bisa membuat api darurat nanti. Tenang…”

Aliesha tak sepenuhnya yakin, apakah suaminya benar-benar bisa diandalkan. Kita lihat saja nanti…

**

Gemuruh petir dan angin membuat suara yang memekikkan telinga.

Untunglah bangunan resort itu kokoh dan didesain mampu bertahan pada goncangan gempa maupun hempasan angin.

Saat siang hari, mereka tak merasa masalah karena masih terlihat apa-apa dengan jelas. Barulah saat senja, angin semakin kencang dan gelap melanda.

Listrik cadangan tak berfungsi. Jadilah mereka seperti hidup di zaman primitif.

“Kamu bikin apa?” Aliesha melihat Noah yang menyalakan api kecil untuk menghangatkan air.

“Malam nanti kita makan mi ayam saja. Semuanya instant…”

Meski bukan penyuka mi, Aliesha setidaknya harus berdamai dengan keadaan.

“Aku juga akan membuat teh hangat. Udara malam akan turun suhunya…” tangannya dengan terampil menyiapkan dua gelas dengan dua teh celup yang disedunya dengan air mendidih.

Istrinya lebih banyak diam.

Noah paham, kehidupan Aliesha memang berubah drastis sejak menikahinya.

“Kalau dengan minuman hangat ini kamu masih kedinginan, aku bisa membantu menghangatkanmu dengan tubuhku…”

“Sudahlah… humormu tidak berguna sekarang. Kita sudah di antara hidup dan mati, Noah.” Ujar Aliesha yang sesekali melihat ke luar jendela.

Angin berputar-putar mulai menari di pelataran depan resort.

“Nona, kita tidak akan mati sekarang… Tuhan masih sayang padamu. Dia tahu kamu masih harus memiliki anak dan keturunan. Dia tak akan membiarkanmu mati sebelum punya anak…”

Aliesha terpancing lagi, “Itu tidak ada kaitannya dengan aku punya anak atau tidak.”

Setelah beradu argumen beberapa saat, Noah akhirnya memasukkan mi yang telah matang ke dalam dua wadah.

“Makanlah. Kamu beruntung sekali Nona, punya suami seperti aku. Semua serba bisa!”

“Jangan terlalu memuji dirimu sendiri berlebihan, Noah…”

Mendengar kalimat Aliesha, Noah tersedak. Cepat-cepat Aliesha menyodorkan segelas air putih.

Selepas mengonsumsi mi dan teh hangat, keduanya berbaring di sofa dekat tv yang padam.

Entah dosa apa yang mereka perbuat sehingga mereka dihukum di resort ini. Tak ada sinyal, listrik, serta tak bisa ke mana-mana.

Padahal jika keadaan normal, mereka bisa saja bermain jetski, berenang di pantai, menyelam dan lain sebagainya.

“Nona, mau bermain tebak-tebakan sama aku?” dia tampak semangat saat mengajak bosnya untuk bermain bersama.

“Membosankan dan kekanakan.” Aliesha menolak.

Dia adalah seorang CEO, bermain tebak-tebakan tentu bukanlah levelnya.

Selain umurnya masih di bawahnya, rupanya suaminya belum tumbuh dewasa juga. Dia masih suka pada hal-hal yang berbau anak-anak. Huh!

“Bagaimana jika bermain batu, kertas, gunting?” usulnya lagi.

“Itu permainan anak TK!” bosnya tertawa. “Aku tak suka itu semua...”

“Baiklah… kali ini kamu harus mau!” Netra Noah tampak serius saat mengucapkannya. “Mari bermain truth or dare!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status