Hembusan angin malam bertiup dengan kencang---dahan pohon-pohon besar yang tumbuh disekitarnya tertiup terbawa oleh arah mata angin. Dia melangkah dengan pelan. Udara dingin yang menusuk hingga ke tulang sum-sum, tak mengurungkan niat Mama Ani--menyusuri rumput kecil membawa tubuhnya menuju taman. Kedua tangan Mama Ani merapatkan dua sisi cardigan, kala angin kembali berhembus kencang--membuat tubuh itu sedikit menggigil. Mendaratkan tubuhnya pada sebuah kursi panjang, manik hitam legamnya menerawang jauh menikmati keindahan rembulan--yang bersinar begitu terang, dengan bintang-bintang kecil yang berada disekitarnya. Larut dalam suasana, membawa ingatan wanita paruh baya itu pada sosok kecil yang dia tinggalkan pada beberapa tahun lalu. "Kamu--pasti sekarang sudah dewasa-Nak. Dan, maafkan mama yang sudah meninggalkanmu. Mama yakin, Pa Hendra pasti memperlakukanmu dengan baik," lirihnya, sudah ada genangan air mata pada kedua sudut mata itu, punggung tangan Mama Ani mengusapnya.
Tak berkedip sama sekali kedua mata Rania--setelah berada di dalam kamar hotel. Bak--berada di surganya dunia, Rania begitu terpukau menatap megahnya kamar hotelnya dan Devan, yang cukup luas dengan berbagai fasilitas di dalamnya. "Apa, aku sedang berada ditempat lain?" gumam Rania tanpa sadar, sepasang pupil matanya tak berkedip sama sekali. Bahkan, dirinya sampai mengabaikan keberadaan porter yang membawa barang-barang milikmya dan Devan. "Mau, sampai kapan kau terus berada di sana?!" Suara bariton yang khas memecahkan lamunan panjang Rania, wanita berkulit putih itu segera memalingkan pandangannya pada asal suara--dan mendapati Devan yang sudah berbaring santai sembari kedua tangan pria itu dia tautkan ke belakang sebagai tumpuan kepala. Seulas senyum terbit di wajah Devan, pria itu menatap Rania dengan penuh arti--sembari memainkan ekornya-melemparkan pada sisinya yang masih kosong. Devan, seperti memberikan sebuah kode pada istrinya itu. "Aku lelah, Dev--," ujar Rania dengan
Suara jeritan membuat Sarah tersentak. Wanita itu langsung bangkit dari tidurnya, napas Sarah memburuh--keringat pun bercucuran membasahi dahinya. Sejenak, Sarah nampak seperti seseorang yang baru saja melakukan olah raga. Kembali mengingat pada masa lalunya yang kelam, seketika Sarah dipeluk oleh perasaan takut, "Tidak! Bagaimana pun, Devan tidak boleh mengetahui kalau aku pernah mengandung, dan menggugurkan anak dari pria lain!" gumam Sarah, wajahnya menegang--ketakutan begitu nyata di wajah Desicner perhiasan itu. Seperti baru saja terjadi--Sarah begitu hanyut dalam apa yang menjadi beban pikirannya-hingga suara ketukkan pintu kamar yang menyapa tiba-tiba cukup membuat wanita itu tertegun. Dengan segera Sarah membawa pandangannya pada pintu kamar, sisa-sisa ketakutan itu masih ada. "Siapa----?" tanya Sarah dengan setengah teriakkan, wanita itu merasa dirinya dejafu. "Ini aku-Santi!" Suara ketus yang menyambut pertanyaan itu, dan suara dari Santi berhasil membawa Sarah kembali
"Aku rasa semuanya tadi sudah jelas. Jadi, kalau ada yang perlu dibicarakan, lagi aku rasa besok saja. Aku harus kembali ke kamarku!" ujar Devan dengan datar, pria itu kembali melanjutkan langkah kakinya. Namun, alunan langkah itu berhenti seketika---saat Sarah memeluknya. Dan, apa yang Sarah lakukan cukup membuat Devan terkejut.Devan memberontakkan tubuhnya--agar Sarah dapat melepaskan tautan kedua tangan yang melingkar di pinggang. Namun, bukannya melepaskan--Sarah justru kian mengeratkan pelukan itu, "Lepaskan Sarah!" Devan kembali memberontak, sembari menghardik mantan kekasihnya itu. Namun, bukannya melepaskan--Sarah justru makin menambah eratnya pelukan itu. Dan, beberapa detik setelahnya Sarah terisak. Dan, itu mendadak membuat Devan meremang--kemarahan pun tak terlihat lagi. "Jangan pergi dariku, Dev---hiks---hiks, kau tahu aku begitu hancur saat mengetahui kalau kau telah menikah. Aku masih begitu mencintai, mu, Dev---masih sangat mencintaimu," lirih Sarah dalam isak tang
"Deni, bisakah kau membantuku--untuk masuk ke dalam hotel? Kakiku sangat sakit, dan aku tidak bisa bangun,"pinta Rania dengan memohon, dan apa yang diinginkan oleh wanita itu membuat Devan dan Deni sama-sama kaget. Apa lagi Devan yang nampak tidak terima. Wajah pria itu telah berubah tegang. Melayangkan tatapan nyalangnya pada Deni, dan Deni yang ditatap seperti itu hanya membeku, wajahnya pucat pasih. Dan, tanpa meminta persetujuan dari Rania--Devan memaksa menggendong istrinya, dan membawanya ke dalam. Sepanjang perjalanan mereka menuju kembali ke kamar hotel--Rania terus saja memberontakkan tubuhnya kecil. Bukan, karena masih kesal dengan apa yang terjadi tadi--namun, sebab kini dia dan Devan menjadi pusat perhatian orang-orang. "Dev, turunkan aku!" pinta Rania berbisik pelan di telinga suaminya, namun nada suaranya penuh penekanan di dalamnya. "Dan, membiarkanmu--digendong oleh Deni?!" sentaknya, dan kalimat itu mampu membuat Rania membungkam. Masih menjadi pusat perhatian
"Jangan katakan kalau kau--masih meminta orang untuk mencari Ani Lestari!" Suara lantang--yang cukup memekikkan di telinga membuat pandangan papa Akio teralihkan pada asal suara. Air mukanya berubah keruh setelah mendapati kedatangan sang istri--Winda. Moodnya berubah buruk. "Aku baru saja selesai melakukan panggilan telepone dengan Sarah!" Suara papa Akio terdengar berat. Tuduhan tidak benar yang sang istri layangkan, membuatnya jengah. Mama Anita tertawa renyah. Wajahnya kian menegang, amarah--bercampur kecewa melebur jadi satu memenuhi diri wanita paruh baya itu. Sebab, dia tahu dengan jelas sang suami-masih mencintai masa lalunya,"Semoga saja itu-benar. Sebab, walaupun sudah ada Sarah diantara kita, tapi kau masih belum mampu bisa melupakan wanita itu. Tidak, bisa dibayangkan bagaimana perasaan putri kita, jika mengetahui kalau pria yang dia bangga-banggakan, ternyata masih mencintai wanita masa lalunya," ujar mama Winda dengan lirih. Suara wanita paruh baya itu telah berubah pa
"Dev----." Suara panggilan membuat Devan yang sedang menikmati hijaunya taman samping restorant seketika menolehkan wajahnya pada asal suara, dan mendapati kedatangan Rania. Wanita itu tersenyum lebar, namun walaupun telah menutupinya dengan senyuman--Devan dapat melihat dengan jelas guratan kesedihan di sana. Yakin--ada sesuatu yang terjadi pada sang istri, Devan melemparkan pandangannya pada Deni--yang berada di belakang Rania, dan pria itu menyambutnya dengan sebuah anggukan yang pelan. Menghela napasnya dalam, air muka Devan telah berubah keruh. Dan, sedetik kemudian Deni segera melangkah pergi. "Kau, bahkan tidak membangunkanku!" Suara bariton Devan memecahkan keheningan yang melanda keduanya, ada kemarahan yang terselip dalam nada biacaranya walaupun suara pria itu terkesan biasa. "Maaf,"ujar Rania dengan kikuknya, dirinya memaksakan wajah itu untuk menerbitkan senyuman. Sungguh. Dia belum dapat melupakan kata-kata Sarah tadi. Apa lagi kembali mengingat kemesraan Devan da
Ternyata Devan sedang melakukan panggilan telepone. Begitu melihat kedatangan Deni, pria itu memutuskan untuk menyudahinya."Tuan. Ada yang ingin saya tunjukkan pada anda," ujar Deni segera, setelah dirinya telah berada didekat Devan. Devan yang sebelumnya akan melayangkan pertanyaan-- memilih untuk mengurungkan niatnya, sebab rasa penasaran telah menyelimuti diri setelah mendengar apa yang baru saja Deni sampaikan."Apa, itu?" tanya Devan menuntut, manik hitam legamnya begitu tajam--dan dalam menatap anak buahnya itu. Bukannya menyambut pertanyan yang Devan layangkan, Deni justru merogo saku celana dan mengeluarkan benda pipih miliknya, dan menyerahkannya pada Devan, Menatap Deni dengan lekat-lekat, dengan gerakan tangan yang ragu Devan mengambil gawai dalam genggaman Deni. Sepasang mata Devan membelalak lebar, pria itu seperti tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Rania, istrinya--berdebat dengan Santi. Seketika, senyum mengembang di wajah Devan--pria itu nampak bangga."Ambi