Ayu merenung beberapa hari setelah perselingkuhan adik dan suaminya. Ayu tidak pulang, ia lebih memilih tinggal di rumah Bi Sari untuk menenangkan diri. Ayu tidak ingin bertemu dengan adik dan suaminya. Ayu juga tak melihat Rey, anaknya. Setiap hari Ayu hanya melamun, tak ada gairah hidup. Tiba-tiba Bi Sari memberi tahu Ayu kalau Rey sedang sakit. Entah kekuatan dari mana, Ayu langsung bangkit untuk pulang ke rumahnya, di temani oleh Bi Sari.
"Ayu, akhirnya kamu pulang. Rey selalu cariin kamu. Dia rindu sama kamu, Yu." Ucap Anton. Ayu tidak menghiraukan Anton begitu juga dengan Vika yang berdiri di samping Anton. Pandangan Ayu hanya tertuju pada putranya. Ayu langsung memeluk putranya yang terkulai lemas di tempat tidur. Wajah Rey sangat pucat serta tubuhnya sangat panas. "Rey... Bunda disini, Nak. Maafkan Bunda." Bisik Ayu tepat di telinga Rey. "Bunda, Rey kangen Bunda." Igau Rey dengan mata tertutup serta mulut yang sedari tadi meracau memanggil nama Ayu. "Tadi malam Dokter sudah memeriksa Rey. Obatnya juga sudah di minum, tapi panasnya masih belum turun." Jelas Anton. "Bi, kita bawa Rey ke rumah sakit aja." Pintah Ayu pada Bi Sari. "Bibi rasa juga lebih baik seperti itu. Bibi juga khawatir dengan keadaan Rey." "Akan ku antar." Ucap Anton tiba-tiba. "Tidak perluh." Tolak Ayu. "Bi, tolong bilang Mas Bayu untuk mengantarku dan Rey ke rumah sakit." Pintah Ayu. Sedikit informasi bahwa Bayu adalah putra pertama dari Bi Sari. "Baiklah, tunggu sebentar biar Bibi suruh dia siap-siap dulu." "Kenapa Bayu yang harus mengantar? Aku Ayah Rey, lebih baik aku saja." Ucap Anton yang tidak setuju dengan ucapan Ayu. "Aku tidak sudi di antar olehmu!" Teriak Ayu pada Anton. Mata Ayu kembali berkaca-kaca. Anton memandangi Ayu lekat, sedangkan Vika sedari tadi hanya diam dan menunduk. "Demi Rey. Tolong kalian jangan bertengkar. Jangan permasalahkan siapa yang mengantar. Yang terpenting itu segera membawa Rey ke rumah sakit. Dia butuh perawatan sesegera mungkin." Ucap Bi Sari. Anton terdiam. Sedangkan Bi Sari sudah bangkit dan berjalan ke luar untuk menemui putranya. Memberi tahu untuk mengantarkan Rey ke rumah sakit. "Rey, sabar yah Nak. Sebentar lagi kita ke rumah sakit." Ucap Ayu sembari membelai pipi Rey. "Maafkan aku, Ayu." Ucap Anton yang sudah mendekat dan berlutut di hadapan Ayu. "Aku tau, aku bersalah. Aku dan Vika benar-benar khilaf. Kami menyesali perbuatan kami. Biarkan kami menebus kesalahan kami. Aku mohon, Ayu. Maafkan kami. Rey juga sangat membutuhkan kasih sayang kamu, jangan acuhkan dia." "Khilaf? Minta maaf? Menyesal? Kenapa kalian tidak memikirkan hal itu sebelum kalian berdua melakukannya? Ingat Mas, Vika hamil! Itu artinya bukan hanya sekali kalian melakukannya. Kalian hanya menuruti nafsu kalian sendiri!" Ayu benar-benar emosi dibuatnya saat mendengarkan penuturan Anton. Ayu tidak dapat mengendalikan diri karena kemarahannya. Bahkan Ayu mendorong tubuh Anton hingga menjauh darinya. Ayu sampai lupa kalau sekarang ini sedang ada Rey, putranya yang tengah berbaring lemah di tempat tidur. Rey sampai kaget dan menangis, karena suara Ayu sangat keras. Ayu mendadak gelagapan melihat Rey menangis, "Rey sayang, jangan takut. Maafkan Bunda." Air mata Ayu kembali membasahi pipinya. "Kalian jangan bertengkar dulu! Ayo cepat bawah Rey ke rumah sakit!" Ucap Bi Sari yang tiba-tiba datang. *** Cukup lama Rey berada di rumah sakit. Kira-kira seminggu lamanya. Bi Sari selalu menemani Ayu di rumah sakit. Anton juga selalu datang setiap hari untuk melihat keadaan Rey, tapi Ayu selalu mengusirnya. Kondisi Rey juga sudah mulai membaik dan Ayu sudah akan membawa Rey pulang. Tapi tiba-tiba saja Bayu dan Lily datang dengan raut wajah cemas keduanya. "Apa yang terjadi, Mas? Kenapa kalian tampak cemas seperti itu?" Tanya Ayu. "Itu Yu, kami tadi kesini juga mengantar Vika. Tadi tiba-tiba dia pingsan." Deg! Jantung Ayu berdegup cepat. "Kenapa Vika bisa sampai pingsan, Mas? Bagaimana kondisinya sekarang? Ada dimana dia?" Ayu memberi Bayu pertanyaan beruntun. "Dia masih di tangani Doketer, Kak." Jawab Lily. "Lily, tolong jaga Rey disini sebentar." Ucap Bi Sari pada putrinya. "Bayu, tolong antarkan kami ke ruangan Vika." Perintah Bi Sari pada Bayu. Bayu dan Lily mengangguk bersamaan. Ayu yang tidak sabar pun meminta Bayu untuk berjalan lebih cepat. Ayu memang sangat marah kepada Vika atas perbuatannya bersama Anton, suaminya. Namun siapa sangka, rasa sayang Ayu untuk adiknya jauh lebih besar. Bagi Ayu, Vika tetap adik kecilnya yang manja dan sangat Ayu sayangi. Saat mereka bertiga sampai di depan IGD, ternyata disana sudah ada Anton yang sedang berdiri dan tengah melamun sambil menatap pintu ruangan itu. "Anton, bagaimana keadaan Vika?" Pertanyaan Bi Sari membuat Anton terkejut dan tersadar dari lamunannya. "Maaf Bi, tadi Bibi tanya apa?" Tanya Anton. "Bagaimana keadaan Vika? Kenapa dia bisa pingsan?" Tanya Ayu secara tiba-tiba. "Sejak kemarin Vika nggak mau makan, dan selalu merasa mual. Aku rasa itu karena kehamilannya, tapi tadi... dia tiba-tiba pingsan saat hendak ke kamar mandi." Ucap Anton menjelaskan. Ayu menatap Bi Sari dengan mata yang sudah berkaca-kaca. Bi Sari merangkul pundak Ayu untuk memberi Ayu kekuatan. "Tenang, Yu. Kita berdoa saja agar tidak terjadi sesuatu pada Vika." Kata Bi Sari. Tiba-tiba seorang perawat muncul, dan meminta keluarga pasien untuk menemui dokter. Ayu dan Anton akhirnya masuk ke dalam ruangan, lalu sang dokter memberikan keterangan kepada keduanya. *** "Ibu dan janinnya selamat. Dia tidak perluh rawat inap. Dia hanya perluh berirtirahat di rumah, setidaknya untuk dua minggu ke depan. Sepertinya dia depresi, jadi sangat penting untuk menjaga suasana hatinya tetap baik. Jangan membuatnya banyak pikiran atau merasa takut. Ini resep yang harus di tebus. Setelah menebus obat dan menyelesaikan administrasi, pasien boleh di bawa pulang." "Terimakasih, Dok." Anton menerima resep obat yang sudah di tuliskan oleh sang dokter. "Apa saya bisa menemui adik saya, Dok?" Tanya Ayu pada sang dokter. "Iya, tentu saja. Silahkan. Adik anda sudah sadar." "Terimakasih, Dok. Kalau begitu saya permisi." Pamit Ayu. "Silahkan." Ucap dokter muda itu dengan tersenyum ramah. Ayu dan Anton bangkit dari tempat duduk. Ayu hendak menuju brankar dimana Vika sedang berbaring. Tapi tiba-tiba Anton menarik tangan Ayu, hingga langkahnya terhenti. "Administrasi Rey, apakah sudah di bayar?" Tanya Anton. Ayu menjawab pertanyaan Anton dengan gelengan kepala. "Lalu bagaimana dengan resep obatnya?" Lanjut Anton. Tiba-tiba Ayu mengambil resep obat yang berada di dalam tasnya. Lalu Ayu memberikan resep obat itu kepada Anton, tanpa sepatah kata pun. "Aku akan menebus obat mereka dan menyelesaikan administrasinya dulu." Ucap Anton. Ayu tak lagi mempedulikan ucapan Anton. Ayu kembali melangkah menuju ke tempat Vika. Ayu memandangi Vika. Tubuhnya terlihat lemah, bibirnya kering, serta wajah yang pucat. "Kak Ayu... maafkan aku." Lirih Vika. Dia berusaha bangun dari tempat tidurnya. "Berbaring saja! Kamu tidak perluh banyak bergerak. Demi anak yang berada dalam kandunganmu." Ucap Ayu. Rasa sesak itu kembali muncul saat mengingat bahwa saat ini Vika tengah mengandung anak dari suaminya. Namun disisi lain, Ayu tidak tega melihat kondisi Vika yang terlihat lemah. "Kak Ayu." Panggil Vika dengan suara lemah, tangannya berusaha menggapai Ayu. "Aku disini." Ayu menyambut tangan Vika. Telapak tangan Vika terasa dingin. "Kak, aku sangat jahat sama Kakak. Aku..." "Jangan bicarakan hal itu dulu! Berpikirlah hal yang baik yang bisa membuatmu nyaman. Ingat kalau sekarang ini kamu sedang mengandung." Ucap Ayu dengan sok bijaknya, padahal dalam hatinya ia sakit. Vika terdiam. Ia memejamkan matanya dan semakin mengeratkan pegangan tangannya kepada Ayu serta sudut matanya kini sudah mengeluarkan cairan bening. Ayu mengusap air mata Vika. Hati Ayu mulai berkecamuk, mati-matian Ayu menahan dirinya agar tidak ikut menangis.Sikap Anton menjadi berubah semenjak ia mengetahui Ayu berkenalan dengan Adam. Anton menjadi sangat perhatian kepada Rey. Sudah beberapa hari ini dia memaksa untuk mengantar Rey ke sekolah.Rey tentunya senang dengan perhatian ayannya. Dibalik semua itu, Ayu harus menghadapi kecemburuan Vika yang sudah kelewatan. Bahkan adiknya itu mengucapkan kata-kata yang semakin pedas untuknya."Kamu jangan gunakan Rey buat cari perhatian Mas Anton dong, Kak. Kamu nggak kasihan sama Inara? Inara masih kecil dan butuh perhatian lebih dari ayahnya!"Vika datang pagi-pagi sembari menggendong bayinya yang sedang menangis, untuk melabrak Ayu dirumah Bi Sari, tepat setelah Anton berangkat mengantar Rey ke sekolah."Kamu kalau bicara jangan sembarangan ya, Vik. Bukan aku yang minta suami kamu buat antar-jemput Rey. Dia sendiri yang maksa buat melakukan itu!""Kamu nggak usah ngelak, Kak! Akui aja kalau memang kamu masih mengharapkan Mas Anton, tapi nggak kayak gini caranya, Kak Ayu!" Suara Vika semakin k
Rey langsung berlari menghampiri Anton, "Ayah... Lihat, Rey dapat mainan baru. Bagus kan?" Anton menggendong Rey lalu mencium pipi putranya. Sedetik kemudian, ia menatap Bi Sari dan Ayu. Ayu bisa melihat dari raut wajah mantan suaminya itu, ada terbesit tanda tanya. "Iya, bagus sekali pesawatnya. Apa Bunda yang belikan?" tanya Anton. "Bukan Ayah, ini hadiah dari Om." Rwy begitu jujur. "Om? Om siapa?" Anton menurunkan Rey dari gendongannya. Matanya tertuju pada Ayu seolah ingin diberi penjelasan. "Ooh, Adam. Itu yang barusan pergi dari sini. Nanti Om Adam juga mau ngajak Rey sama Bunda jalan-jalan," ucap Rey pada sang ayah. Anton semakin penasaran setelah mendengar cerita Rey. Ia lalu mendekati Bi Sari yang masih duduk sedari tadi. "Siapa Adam?" Anton meminta penjelasan. Ayu lebih memilih diam. Ia tidak ingin mengatakan apapun pada mantan suaminya itu. "Dia putranya Pak Ramzi," jawab Bi Sari. "Pak Ramzi yang di kampung sebelah?" "Iya
Tidak bisa di pungkiri Ayu terkejut dengan perkataan Adam. Laki-laki itu seolah sudah mengenal Ayu dengan baik. Tentang pernyataannya yang akan menerima Rey sebagai anaknya. Semua itu menimbulkan banyak tanya dalam benak Ayu. Apakah Bi Sari yang sudah memberi tahu Adam banyak hal tentangnya? Tapi Ayu rasa tidak mungkin Bi Sari seperti itu. "Bunda, Rey lapar," rengek Rey. Ayu tersadar dari lamunannya. Bi Sari dan Adam juga menatapnya, dan hal itu membuat Ayu jadi salah tingkah. "I–iya sayang. Kita makan, ya?" ucap Ayu pada Rey. "Mari, Mas. Sambil makan dulu, Mas." Ayu mempersilahkan untuk mengambil makan siang yang sudah dihidangkan. "Nggak perluh sungkan, Nak. Ambil dan nikmati, tapi adanya ya seperti ini," ucap Bi Sari sambil mengambil makanan. "Makanannya sangat banyak, Bi. Sampai bingung mau pilih yang mana." Adam pun mulai mengambil makanannya, hal itu tak luput dari pandangan Ayu. Ayu tersenyum tipis saat ia melihat Adam yang terlihat lahap
Ayu memikirkan dengan matang-matang mengenai tawaran Bi Sari untuk berkenalan dengan Adam, anak dari Pak Ramzi. Setelah tiga hari Ayu mempertimbangkan semua itu, akhirnya ia mau menerima tawaran itu. "Kamu sudah siap, Yu?" tanya Bi Sari. "Iya, Bi. Ini aku tinggal pake kerudung saja," jawab Ayu. Ayu memang tidak akan bertemu dengan Adam sendirian. Bi Sari dan Rey tentu saja akan ikut. Sedangkan Adam akan datang sendirian, karena ayahnya Pak Ramzi ada urusan mendadak keluar kota. *** Awalnya Pak Ramzi menawarkan bertemu di rumah Bi Sari, tapi Adam bilang kalau dia ingin bertemu di rumah makan milik Ayu saja. Selain memiliki toko, Ayu juga memiliki rumah makan, yang jarang ia kunjungi. Walaupun begitu, Ayu sudah mempunyai orang kepercayaannya yang bisa mengurus rumah makan miliknya, jika ia tidak bisa datang untuk berkunjung. Ayu dan Bi Sari berangkat saat siang, karena mereka akan menunggu Rey pulang sekolah dulu, baru bisa pergi ke rumah makan. "
"Memangnya Bibi mau aku kenalan dengan siapa?" tanya Ayu penasaran. Sebenarnya Ayu masih tidak ingin untuk mengenal orang baru, tapi karena ia melihat kesungguhan di wajah Bi Sari, ia jadi tidak enak kalau menolak. "Kamu kenal dengan Pak Ramzi yang tinggal di kampung sebelah itu kan, Nak?" Ayu mengerutkan dahi, ia tahu orang yang dimaksud oleh Bi Sari. Pak Ramzi adalah seorang duda yang terkenal baik dan dermawan. Tapi, apa iya Bi Sari akan menjodohkan Ayu dengannya? Usia Pak Ramzi saja sama dengan usia ayah Ayu jika saja ayahnya masih hidup. "Kamu kenapa, Yu?" tanya Bi Sari yang melihat Ayu nampak kebingungan. "I–iya, aku tahu Pak Ramzi yang dari kampung sebelah. Dia yang juragan lele itu, kan?" tanya Ayu memastikan. "Iya, dia maksud Bibi." "Jadi Bibi mau menjodohkanku dengan Pak Ramzi?" sahut Ayu dengan cepat. Ia langsung panik. Mengapa Bi Sari ingin mengenalkan dirinya dengan orang yang lebih pantas menjadi ayahnya? Bi Sari tertawa mendengar
"Kamu harusnya bisa bersikap tegas pada istrimu, ketika apa yang dia lakukan salah. Aku nggak akan meminta kamu memberi yang lebih, cukup luangkan waktumu untuk Rey. Temani dia dan berikan kasih sayangmu. Kamu harus adil, Mas. Anak kamu bukan cuma Inara. Rey juga anakmu. Kamu juga tahu sendiri kan, bagaimana Rey sangat sayang dan mengidolakan kamu sebagai ayahnya," omel Ayu. Anton menghela napasnya dalam-dalam, lalu mengusap wajahnya dengan kasar. "Aku bingung, Yu. Vika selalu menakutiku dengan banyak hal. Aku juga takut, kalau aku nggak menuruti keinginannya, dia akan kembali mencampakan Inara. Aku nggak tega dengan bayi kecilku," ucap Anton. "Jadi kamu nggak tega sama Inara, tapi kamu tega sama Rey? Iya?" Sungguh ucapan Anton benar-benar membuat Ayu semakin kecewa. "Bukan begitu, Ayu. Tolong kamu mengerti dengan kondisiku," ucap Anton dengan memelas. "Kalau aku berusaha mengerti kondisimu, apa kamu bisa mengerti keinginan Rey? Dia juga ingin di antar ke s