Seminggu setelah pulang dari rumah sakit, Rey sudah kembali sehat dan riang seperti sedia kala. Adapun Vika masih harus beristirahat di tempat tidur. Ayu sendiri masih berusaha berdamai dengan keadaan. Ayu merenung, mengintropeksi diri. Ayu mencoba mencari ketenangan dengan medekatkan diri kepada Tuhan. Mungkin selama ini kehidupan Ayu lebih berpusat pada kehidupan dunia hingga ia jauh dari Tuhan, dan hingga Tuhan menghukum dengan cara seperti ini.
Sebenarnya Ayu masih bimbang, merasa sakit dan kecewa. Semakin Ayu memikirkan itu, semakin membuat hati Ayu perih. Ayu hanyalah manusia biasa yang bisa merasakan sakit dan kecewa. Tidak mudah memang bila harus ada pada posisi seperti ini. "Ayu, apa kamu sudah yakin dengan keputusanmu?" Tanya Bi Sari. "Bi..." Ayu menghela napas berat. "Tetangga-tengga di sekitar mulai menjadikan rumah tangga kami sebagai bahan gunjingan. Mungkin ini keputusan yang terbaik." Ayu sendiri sebenarnya masih ragu dengan keputusannya itu. Ayu tertunduk lesu dengan mata yang masih sembab akibat ia sering menangis. Bi Sari yang duduk di samping Ayu, tiba-tiba merangkul pundak Ayu. "Kalau itu keputusan kami, maka kita akan membicarakannya dengan Anton juga. Hal ini nggak bisa di putuskan dengan sepihak." "Apa Bibi bakal setuju dan akan mendukung keputusanku? Sebenarnya Ayu masih mencoba meyakinkan diri Ayu sendiri agar Ayu. Aku butuh persetujuan Bibi dan dukungan dari Bibi, karena Bibi sudah aku anggap seperti ibuku sendiri." "Bibi tau apa yang kamu rasakan, Yu. Apapun yang jadi keputusan kamu, Bibi akan mendukungnya. Kamu dan Vika sudah Bibi anggap seperti anak Bibi sendiri." Ayu ingin melepas Anton, laki-laki yang ia cintai agar ia bisa bersama dengan Vika, adiknya. Meski sakit, tapi Ayu pikir ini adalah keputusan yang terbaik. Ayu memilih mengalah daripada melihat Vika yang terus-terusan menjadi bahan gunjingan dari para warga. Tentang rencana perceraian serta permintaan Ayu untuk Anton menikahi adiknya, Vika baru di ketahui oleh Bi Sari. Ayu berniat ingin memberi tahu niatnya itu kepada Anton, suaminya. Untuk Vika, Ayu tidak memberi tahunya dulu, Ayu tidak ingin jika adiknya nanti bertambah depresi dan nantinya hal itu akan berdampak buruk bagi janin yang sedang di kandung oleh Vika. *** "Apa maksud kamu, Yu? Apa kamu nggak memikirkan Rey, sampai kamu berencana seperti itu?" Tanya Anton yang baru saja di beri tahu Ayu tentang niatnya. "Kenapa kamu tidak bertanya sama diri kamu sendiri saat kamu berhubungan dengan Vika? Apa kamu masih peduli sama aku dan Rey?" "Tidak! Sampai kapanpun, aku nggak bakal menceraikan kamu. Aku mencintai kamu, Ayu, dan aku nggak mau berpisah dengan kamu." Anton menentang keinginan Ayu, nada bicaranya meninggi, dan ia juga terlihat sangat marah. "Mencintaiku kamu bilang?! Kamu masih bisa bilang mencintai aku setelah kamu menghianati aku?" Ayu tersenyum kecut. "Ingat Mas! Vika sedang mengandung anak kamu, dan kamu harus bertanggung jawab sama dia!" "Ayu... Anton..." Bi Sari mulai angkat bicara. "Bicaralah dengan hati, jangan gunakan emosi kalian. Tidak perluh kalian membentak. Masalah ini sudah jadi buah bibir di desa kita. Jangan kalian menambahnya dengan pertengkaran kalian yang bisa di dengar tetangga. Mereka akan semakin membuat kalian sebagai bahan pembicaraan." "Bi, aku nggak mau bercerai dengan Ayu. Sampai kapanpun, nggak akan." Ucap Anton. "Mas!! Apa kamu nggak mikir sama Vika dan juga anak yang sedang di kandungnya?" Ayu dan Anton saling menatap tajam. Mereka tetap pada pendiriannya masing-masing. Ayu yang menginginkan agar mereka berdua bercerai tetapi, Anton bersikeras menolaknya dan selalu mengatakan kalau dirinya mencintai Ayu, dan cintanya hanya milik Ayu seorang. Rasanya sangat muak saat Ayu mendengar hal itu. Bagaimana bisa Anton mengatakan mencintainya sedangkan sudah jelas-jelas laki-laki itu menghianati Ayu. "Ayu... Anton... sudahlah. Sekarang kita perluh berpikir hal terbaik dari semua ini. Jika kalian tetap seperti ini, nggak akan ada titik temu. Coba kalian berpikir jernih!" Bi Sari akhirnya angkat bicara setelah melihat Ayu dan Anton yang saling menyalahkan juga keukeh dengan pendirian masing-masing. Akhirnya Ayu dan Anton terdiam. "Bi, aku bakal tetap sama pendirianku. Aku ingin bercerai dengan Mas Anton, secepatnya. Lalu setelah itu, Mas Anton harus menikahi Vika! Mau bagaimanapun, Vika itu tetap adikku. Aku nggak mau kalau Vika hanya menjadi bahan mainan laki-laki seperti Mas Anton, ia sudah berani berbuat tapi ia tidak mau bertanggung jawab!" "Yu, tenangkan diri kamu." Bi Sari menggenggam erat tangan Ayu. "Anton, coba pikirkan baik-baik. Pikirkan tentang Vika dan anak yang ada di dalam kandungannya. Mereka juga butuh tanggung jawabmu." Ucap Bi Sari menasehati Anton. "Aku tau, Bi. Aku akan bertanggung jawab, Bibi nggak perluh khawatir. Tapi, Anton tetap nggak akan menceraikan Ayu, Bi. Aku sangat mencintai Ayu, Bi!" "Jangan pernah kamu menyebutkan kata cinta untukku!" Bentak Ayu. "Baik, jika kamu ingin aku menikahi Vika, aku akan menikahinya. Tapi ingat, aku tidak akan pernah menceraikanmu." Ucap Anton dengan suara meninggi. Ayu terkejut dengan ucapan Anton. Apa dia bermaksud untuk menjadikan Vika sebagai madu Ayu? Ayu benar-benar tak habis pikir. "Apa maksudmu, Anton? Itu tidak mungkin!" Tanya Bi Sari. Ayu terisak, dan tidak bisa lagi membendung air matanya. Bi Sari mengelus punggung Ayu untuk menenangkan dan memberikan kekuatan agar Ayu bisa bersabar walaupun emosi Ayu sudah di ubun-ubun. "Apa yang tidak mungkin, Bi? Bukankah dalam agama kita di perbolehkan untuk mempunyai istri lebih dari satu? Lagi pula kalian yang ingin aku menikahi Vika, jadi aku akan menikahinya tetapi aku tidak akan pernah menceraikanmu, Ayu!" Tegas Anton. "Brengsek kamu, Mas!" Ayu sudah mengamuk dan tidak bisa lagi menahan amarahnya. Hampir saja Ayu mencakar Anton jika saja Bi Sari tidak mencegah Ayu. "Sabar, Yu... sabar. Jangan dahulukan emosi kamu. Bagaimanapun Anton masih suamimu. Kamu harus menghormatinya! Tenangkan dirimu, biar Bibi saja yang bicara." "Anton... poligami memang di perbolehkan dalam agama kita, tetapi syaratnya berat, bersikap adil itu sulit." Kata Bi Sari. "Aku bisa bersikap adil untuk Ayu dan Vika, Bi. Aku akan berusaha sebaik mungkin, karena itu aku akan tetap menikahi Vika dan aku juga tidak akan pernah menceraikan Ayu!" Ucap Anton dengan lantang. "Anton... apa kamu tau menikahi dua saudara kandung itu hukumnya haram? Mengumpulkan dua wanita bersaudara itu di larang! Jadi kamu nggak bisa menikahi Vika jika tidak menceraikan Ayu terlebih dahulu. Itu dosa, Nak!" Terang Bi Sari. Hening. Hanya ada suara isak tangis dari Ayu. Ayu berusaha keras untuk menahan tangisnya agar tidak bersuara, ia juga berusaha tegar tapi untuk saat ini, Ayu tidak bisa. Anton menghempaskan dirinya ke sofa. Ia mendongak menatap langit-langit rumah, serta kedua tangannya menutup wajahnya. "Anton, di dunia ini memang nggak ada yang sempurna. Sebuah kesalahan tidak seharusnya di tumpuk dengan kesalahan yang lain, yang nantinya berujung pada dosa yang lebih besar. Ingat Nak, azab Allah itu pasti ada. Selagi kita bertobat dan bisa memperbaiki kesalahan, maka manfaatkan itu. Jangan terjerumus semakin dalam dengan dosa. Dan jangan mengikuti kemauanmu yang itu, itu tindakan yang salah, Nak." Anton menatap Bi Sari dengan mata berkaca-kaca, tanpa terasa air matanya menetes. Dengan segera Anton menyeka air matanya. "Bi, ada tidak jalan lain selain bercerai dengan Ayu? Aku nggak bisa, Bi." Mata Anton tertuju pada Ayu. "Nggak bisa bagaimana? Aku juga nggak bisa lagi punya suami kayak kamu, Mas!" "Tenang Yu, tidak baik jika di dengar tetangga. Ingat, omongan tetangga lebih tajam, Vika bisa semakin stres nanti. Istigfar Yu, biar hati kamu tenang."Ayu menghela napas panjang. Ayu beristighfar. Rasanya berat dan sulit untuk memohon ampun kepada Allah. Lidah Ayu mendadak kelu. Kemarahan telah menguasai hatinya. Lagipula, wanita mana yang tidak akan marah saat kenyataannya suami dan adiknya begitu tega melukainya, merusak kepercayaan yang selama ini Ayu berikan. "Ayu, apakah sudah nggak ada lagi tempat di hatimu untuk aku? Ayu, ingat ada Rey yang masih membutuhkan kita." Ucap Anton dengan wajah memelasnya. Ayu tersenyum kecut. Air matanya kembali menetes. Ayu masih sangat mencintai suaminya itu, tapi di lain sisi, Anton sudah menyakiti hatinya, bahkan sangat sakit. Tapi Ayu juga tidak mau jika Vika terabaikan. Masalah ini sangat berat bagi Ayu. Keputusan apapun yang Ayu ambil pasti akan membuatnya terluka dan sakit. Dalam masalah ini, Ayu adalah istri yang menginginkan sosok suami tetap ada, di lain sisi, Ayu adalah seorang kakak yang tidak mau adiknya terluka. Ayu menghapus air matanya, di tatapnya lekat-lekat
"Kok di dalam perut Tante Vika, sih? Kalau adik Rey, kan ada di dalam perut Bunda, kalau belum lahir." Ucapan Rey membuat Ayu, Bi Sari serta Lily saling berpandangan. Perih sekali rasanya hati Ayu mendengar kepolosan anaknya itu. Bi Sari dan Lily sudah tidak bisa lagi menahan air matanya. Ayu sungguh sangat kasihan kepada anaknya karena harus menerima nasib seperti itu. Kenyataan yang sungguh sangat menyakitkan. "Rey sayang sama Tante Vika, kan?" Tanya Bi Sari. "Iya, Rey sayang sama Tante Vika, sama Nenek, sama Tante Lily juga Rey sayang." Ucap Rey dengan polosnya. "Rey memang anak yang baik. Kalau Rey sayang sama Tante Vika, berarti Rey juga harus sayang sama adik bayi yang ada di dalam perut Tante Vika. Anggap adik bayinya kayak adik Rey sendiri." Ucap Bi Sari dengan mata berkaca-kaca. Rey memandang Bi Sari dengan heran. Rey menatap Ayu, lalu memeluknya. Rey juga merabah perut Ayu dan berkata, "Kalau adik bayi dalam perut Tante Vika lahir, Rey akan sayang sam
Akhirnya apa yang Vika inginkan akhirnya terwujud. Cintanya pada Anton akhirnya terbalas saat mereka berdua telah melakukan hal itu. Sejak saat itu, Vika dan Anton selalu main diam-diam. Setiap ada kesempatan, pasti selalu mereka manfaatkan dengan baik. Tapi tentunya Vika tidak ingin jika dirinya terus-terusan menjadi wanita simpanan Anton. Tanpa diketahui oleh Anton, Vika dengan sengaja tidak lagi meminum pil Kb yang selalu diberikan oleh Anton. Tujuan Vika tentu saja agar dirinya hamil, dan bisa menuntut pertanggung jawaban dari Anton agar Anton bisa menikahinya. Akhirnya beberapa bulan kemudian, Vika hamil anak dari Anton. Tentu Vika sangat bahagia. Tinggal menunggu waktu yang tepat sampai akhirnya ia memberitahukannya kepada Anton. "Mas, aku hamil." "Apa? Kamu hamil?" Pekik Anton yang sangat terkejut dengan ucapan Vika. "Iya Mas, disini ada anak kita." Ucap Vika sembari mengambil tangan Anton, untuk mengelus perutnya yang masih rata. "Nggak Vik. Ini uda
Hari-hari yang Ayu jalani terasa sangat berat. Ayu menjalani kehidupannya seperti biasa walaupun bedanya ia sudah bukan lagi menjadi istri dari Anton. Ayu menjalani hari-harinya menjadi seorang ibu yang baik bagi Rey, pun menjadi seorang kakak yang bijaksana bagi Vika. Ayu selalu tampil sempurna di hadapan orang lain. Padahal kenyataannya, itu hanyalah topeng belaka. Di balik senyum yang selalu Ayu tampilkan, menyimpan duka yang Ayu pendam dalam-dalam. Ayu memaksa dirinya untuk tetap tegar. Ia berusaha untuk tidak marah atau menangis. Ayu menguatkan dirinya ketika ia melihat Anton dan Vika. Ayu berusaha bersikap normal. Awalnya memang sangat sulit bagi Ayu untuk menjalaninya. Namun semua yang Ayu lakukan hanya untuk putranya, Rey. Ayu akan berjuang dan bertahan. Bagi Ayu, Rey tidak boleh kehilangan sosok seorang ayah. Ia harus bisa mendapatkan kasih sayang dari orangtua yang lengkap. Walaupun sebenarnya sudah tidak utuh lagi. Ayu ingin putranya tetap merasa bahwa o
Rasanya begitu berat bagi Ayu, saat ia hendak mengambilkan makanan untuk Vika. Ayu sadar Vika adalah adiknya yang paling ia sayangi, namun disisi lain Vika jugalah perusak rumah tangganya. Rasa marah, benci, kecewa, semua tercampur aduk menjadi satu, sehingga tidak bisa di deskripsikan dengan kata-kata. Ayu menghela napas dalam-dalam ketika ia berdiri di depan pintu kamar Vika. Ayu mencoba menenangkan diri dan menekan emosinya. Setelah merasa siap, akhirnya Ayu mengetuk pintu kamar Vika. "Vik... ini aku." Ucap Ayu sembari membuka pintu, dan melangkah masuk. "Kak Ayu." Ayu bisa melihat dengan jelas saat ini Vika sedang terbaring lemas. Wajahnya juga terlihat pucat. "Kakak bawakan makanan untuk kamu. Makanlah!" "Aku nggak lapar, Kak." Sahut Vika yang terdengar lirih. Ayu meletakan nampan berisi makanan di atas nakas, lalu duduk disisi ranjang. Ayu membantu Vika untuk bersandar. "Kakak akan menyuapimu. Makanlah biar sedikit." Bujuk Ayu, lalu menyodorka
"Mas, suapin Vika." Rengek Vika pada Anton, suaminya. Pasangan suami-istri itu sedang berada di meja makan untuk sarapan. Sementara Ayu melewati mereka untuk ke dapur dan membuatkan sarapan untuk Rey, karena Rey ingin dibuatkan nasi goreng dengan telur ceplok. "Sayang... pengen telur ceplok." Ayu mendengar dengan jelas rengekan Vika. Entah mengapa firasat Ayu mengatakan bahwa saat ini, Vika sengaja membuatnya cemburu dan ingin memanas-manasi Ayu. "Vik, kamu kan nggak suka telur ceplok. Biasanya kan kamu nggak mau." Ucap Anton yang juga bisa di dengar oleh Ayu. "Iya, tapi aku kan lagi hamil, Mas. Biasanya ibu hamil suka yang aneh-aneh, kan? Anakmu yang minta loh, Mas. Kamu mau anak kamu nanti ileran kalau nggak di turuti? Buatin aku telur ceplok, aku maunya itu! Nggak mau yang lain!" Entah mengapa kini Ayu merasa jengkel dan benci mendengar rengekan Vika kepada Anton. Apakah Ayu cemburu? Sebenarnya, Ayu sangat ingin meninggalkan rumah itu tempat dimana V
Seperti yang sudah Ayu rencanakan kemarin, hari ini Ayu akan pergi ke makam orantuanya, dan setelahnya jalan-jalan sebentar. "Rey, udah siap?" Tanya Lily yang datang menjemput Ayu dan Rey. "Siap Tante." Jawab Rey dengan antusias. "Nanti Rey pengen beli es krim, yah." Ucap Rey yang sudah berada di pangkuan Lily. Sementara Ayu sendiri tengah sibuk memakai kerudungnya. "Iya, nanti Tante belikan." "Hore... Rey suka es krim cokelat sama Vanilla." Ucap Rey. "Tapi Rey nggak boleh makan es krim terlalu banyak, yah?" Ucap Ayu mengingatkan, karena Rey sangat muda terkena flu jika makan makanan yang dingin-dingin. "Iya Bunda. Rey ingat, biar nggak sakit, kan?" Tanya Rey dengan polos. "Iya sayang. Sini pake sepatu dulu." "Biar aku aja yang pakaikan, kak." Ucap Lily dan segera mengambil sepatu Rey. "Terimakasih ya, Ly." Ayu tersenyum kecil lalu mengemasi dompet dan ponsel, lalu memasukannya ke dalam tas. "Sama-sama, kak." Ucap Lily membalas senyu
Pagi ini Ayu terbangun dengan kepala yang terasa berat. Pusing sekali rasanya. Ayu juga merasa mual dan ingin muntah. Ayu mengoleskan ke perut dan ke sekitar hidungnya. Ia berharap itu dapat membuatnya merasa lebih nyaman. Ayu tidak beranjak dari ranjang, hingga tiba-tiba Rey terbangun dan ikut membangunkan Ayu. "Bunda..." panggil Rey. Ayu hendak bangun, namun tubuhnya terasa sangat lemas. "Bunda kenapa?" Tanya Rey yang menatap Ayu dengan lekat. "Maafin Bunda sayang, Bunda lagi nggak enak badan," tutur Ayu. "Bunda sakit apa?" Tanya Rey khawatir. "Nggakpapa sayang, sepertinya Bunda cuma kecapean dan masuk angin. Kemarin kita kan habis jalan-jalan." Rey memeluk Ayu dengan erat, "Bunda cepat sembuh, ya." "Iya sayang." "Ayu, Rey.. kalian di dalam?" Panggil Anton sembari mengetuk pintu kamar. "Ayah..." teriak Rey yang langsung berlari ke arah pintu dan membukanya. "Rey baik-baik saja?" Tanya Anton begitu Rey membukakan pintu. "Iya, Re