Share

Hobi Arsen

Tak terasa, waktu pun bergulir.

Kini, aku menahan senyum saat melihat Arsen yang sedang duduk di depan televisi.

Terkadang, aku merasa heran dengan hobi pria itu, aku pikir pria yang memiliki sikap dan kebiasaan seperti anak kecil itu akan lebih suka menonton film kartun atau film anak-anak.

Tapi, dia malah lebih suka dengan acara berita!

Aku bahkan sering bertanya-tanya apakah mungkin Arsen mengerti dengan apa yang disampaikan dalam setiap berita yang ia tonton?

"Seorang pemuda berinisial A.N tersangka pengedar narkoba baru saja ditangkap oleh pihak yang berwajib. Pemuda yang buron selama satu minggu itu akhirnya tertangkap di sebuah rumah kosong yang kuat dugaan kerap menjadi tempat untuk bertransaksi barang haram tersebut."

Aku mengernyitkan dahi ku saat tiba-tiba saja aku menangkap raut kekesalan dari wajah Arsen.

Apakah mungkin ekspresi kesalnya itu karena mendengar berita tersebut?

"Arsen?" sapaku, seraya duduk disampingnya.

Arsen hanya bergumam tanpa mengalihkan matanya dari layar televisi.

"Kamu suka berita?" tanyaku, sedang Arsen hanya mengangguk.

"Tapi, kamu kok kaya kesel gitu lihatnya?" sambungku mencoba untuk mengajaknya mengobrol.

Namun tiba-tiba saja Arsen malah menatapku dengan tatapan tak suka.

Entah apa yang salah dengan ucapanku barusan hingga membuat Arsen terlihat begitu kesal dan menatap dengan tatapan yang begitu menusuk hingga membuatku merasa takut.

"A-arsen? Apa ada yang salah?" tanyaku seraya melambaikan tangan di depan wajahnya.

"Aku benci polisi. Mereka jahat karena udah nangkap dan ngurung orang lain. Padahal mereka juga butuh kebebasan," ucap Arsen setelah sekian lama terdiam.

Aku akhirnya tersenyum mendengar jawaban darinya. Mungkin, ia salah paham dengan apa yang dilihatnya.

"Arsen, polisi itu gak jahat. Justru, mereka itulah yang sering menangkap orang jahat," jelasku.

"Lihatlah! Pemuda itu ditangkap karena dia bersalah, dan yang salah, harus dihukum," sambungku, seraya kembali menatap layar televisi.

"Oh, begitu," sahutnya singkat.

"Arsen! Kamu mau cemilan, gak?" tanyaku saat pria itu kembali fokus ke layar televisi.

Sesungguhnya aku saat ini mulai merasa bosan.

Berada dalam rumah ini sudah hampir lima bulan, tapi aku belum pernah keluar rumah sama sekali.

Aku selalu menghabiskan waktuku di rumah sendiri karena hampir setiap hari Bu Hanum dan Arsen pergi keluar.

Tapi sepertinya, Bu Hanum sama sekali tak memiliki keinginan untuk mengajakku.

Ah, andai saja Arsen suami yang normal, mungkin saat ia tengah berada di rumah seperti ini aku bisa memintanya untuk mengajakku keluar meski hanya sekedar untuk jalan-jalan.

Tapi sayangnya, karena kondisinya yang seperti ini, Bu Hanum tak pernah mengijinkan ku untuk melakukan hal tersebut.

Makanya, hari ini aku mencoba untuk mendekatinya dan mengajaknya mengobrol. Ya, setidaknya aku tidak terlalu merasa kesepian jika ada teman ngobrol.

"Aku gak mau ngemil. Aku mau nonton, jangan ganggu!" ucapnya yang langsung membuatku menghembuskan nafas gusar.

"Arsen! Tapi aku kesepian gak pernah ada teman ngobrol. Tetangga rumah kita juga seringnya keluar rumah. Kalau kamu dan Bu Hanum lagi pergi, aku benar-benar sendiri. Jadi, mumpung kamu ada di rumah, udah dong, jangan nonton berita terus, kita ngobrol-ngobrol sambil ngemil, kan enak," bujukku setengah memelas.

"Memangnya kamu mau ngobrolin apa?" tanya Arsen sambil menggaruk kepalanya, hingga poninya terlihat berantakan.

Aku tersenyum seraya merapikan kembali rambutnya yang memang agak panjang itu.

Coba saja kalau Arsen memotong rambutnya dan mengganti gaya rambutnya dengan model cepak, mungkin ia akan terlihat lebih rapi dan tidak seperti pria idiot.

"Arsen, sekali-kali kamu ijin dong sama Bu Hanum biar bisa pergi sama aku. Aku janji, aku bisa jagain kamu, kok! Kita pergi ke salon terus kamu potong rambut, ya! Aku udah mikirin gaya baru buat rambut kamu. Mau, gak?" bujukku, dengan harap-harap cemas.

Arsen terdiam seraya terus mengadukan kedua jari telunjuknya, hingga beberapa saat kemudian ia menggeleng dan membuat harapanku kembali ciut.

"Kenapa sih? Kok gak mau? Aku kan udah jadi istrinya kamu," tanyaku dengan penuh rasa kecewa.

"Aku lebih percaya sama ibu," sahut Arsen seraya memalingkan kembali wajahnya pada layar televisi.

"Beritanya udah selesai. Aku mau tidur aja," sambungnya, kulihat acara di televisi memang sudah berganti.

Kusandarkan kembali punggungku pada sandaran kursi seraya menatap punggung Arsen yang terus berjalan menuju kamar.

"Sabar, Zea! Derajat mu sebagai orang miskin memang sudah terangkat karena kini sudah menjadi menantu orang kaya. Tapi, kamu harus terima kenyataan kalau sampai kapanpun kamu tidak akan pernah bisa merasakan bagaimana rasanya menjadi istri dari orang kaya!" gumamku pada diri sendiri.

Setelah mematikan televisi aku akhirnya melangkah menyusul Arsen. Meski sebenarnya sulit, tapi aku harap aku masih bisa membuat pria itu lebih banyak bicara denganku. Namun aku kembali dibuat heran saat kulihat Arsen sedang memegang sebuah smartphone ditangannya. Ia tampak begitu serius, sedang aku semakin bertanya-tanya sendiri.

Apa mungkin Arsen juga bisa membaca?

"Zea?" ucap Arsen begitu ia menyadari kehadiranku. Lantas aku segera menghampirinya dan duduk di sampingnya.

"Kamu punya hp?" tanyaku, sedang Arsen hanya mengangguk seraya menyimpan ponselnya.

"Terus barusan kamu abis chat siapa?" tanyaku yang tingkat ke kepoannya mulai meninggi.

"Enggak," sahut Arsen singkat.

"Enggak gimana? Barusan aku lihat kamu serius banget ngutak ngatik hpnya. Kamu chatting an sama siapa? Coba sini aku lihat hpnya," desakku. Sedangkan Arsen hanya geleng-geleng kepala saja.

"Jangan diambil! Ini punyaku!" rengek Arsen seperti anak kecil.

"Arsen, aku hanya mau lihat. Sebentar saja, nanti aku kembaliin," ucapku mencoba untuk menenangkannya. Namun Arsen tetap saja merengek seraya tak mau melepaskan ponselnya.

"Ada apa ini? Kok ribut?"

Tiba-tiba saja Bu Hanum muncul dari balik pintu.

Jujur hal itu membuatku sedikit malu, apalagi saat ini Arsen masih merengek dan sudah hampir menangis.

"Maaf, Bu. Aku cuma mau lihat ponselnya Arsen. Aku bahkan gak tau kalau Arsen punya hp. Dan barusan kulihat ia sedang begitu serius dengan hpnya. Aku cuma mau tau dia lagi chatting-an sama siapa," jelasku apa adanya.

Bu Hanum tertawa seraya menggelengkan kepalanya. Ia meraih ponsel yang aku dan Arsen masih pegang.

"Kamu cemburu?" tanyanya yang membuatku garuk kepala.

"Bahkan Arsen itu belum bisa membaca. Ibu sengaja beri dia hp untuk bermain game. Supaya kalau dia ikut ibu dia bisa anteng," sambungnya, membuat wajahku menghangat.

"Nih, kalau kamu mau lihat isinya!" ucap Bu Hanum lagi seraya menyodorkan ponsel tersebut.

"Arsen jangan pelit, ya! Biar Zea pinjam sebentar hpnya, nanti dibalikin lagi, kok!" bujuk Bu Hanum membuat Arsen akhirnya diam.

Entah mengapa, aku jadi tak enak untuk melihat ponsel itu….

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status