Share

Belajar Menerima

Silaunya sinar mentari yang menembus tirai membuatku terjaga, dan hal yang pertama kali aku lakukan adalah meraba seluruh pakaianku dan memastikan semuanya baik-baik saja.

Detik kemudian, aku tersenyum mencemooh diriku sendiri.

Bisa-bisanya aku sampai berpikir bahwa pria seperti Arsen akan melakukan hal yang macam-macam padaku!

"Itu semua gak mungkin, Zea! Dia itu bukan pria yang normal!" Aku mendesis pelan.

Gegas aku turun dari tempat tidur dan berjalan menuju kamar mandi, mengetuk pintunya dan memanggil Arsen beberapa kali, hingga akhirnya aku kembali menepuk jidat seraya merutuki diriku sendiri.

"Sudah tau pria itu tak bisa mandi sendiri, mana mungkin juga dia berada di dalam?" gumamku.

Aku segera masuk dan membersihkan diriku, setelah itu bergegas turun untuk membuat sarapan.

Beberapa ikat sayur dan daging aku keluarkan dari dalam kulkas.

Rasanya, pagi ini aku ingin membuat tumis kangkung dan ayam goreng serta sambal, seperti yang sering almarhumah ibu buat untukku.

Tanpa sadar, otakku kembali memutar masa kecilku yang indah.

Meski keadaan ekonomi kami serba pas-pasan, tapi ibu dan bapak selalu memiliki waktu luang untukku.

Makan bersama adalah momen yang paling menyenangkan. Walau hanya dengan lauk seadanya, tapi kami sering bercanda dan berbagi kebersamaan.

Sayangnya, keadaan itu mulai berubah saat aku mulai memasuki sekolah dasar.

Entah bagaimana ceritanya, bapak menjalin sebuah kerja sama dengan seseorang, hingga keadaan ekonomi kami mulai membaik.

Namun, bapak jadi selalu sibuk dan dituntut untuk terus siap siaga kapanpun ia dipanggil.

Aku mulai merengek pada ibu dan sepertinya ia merasakan hal yang sama.

Keduanya jadi bertengkar terus-menerus, hingga bapak ditangkap polisi sebagai tersangka pengedar barang haram saat aku kelas 2 SD!

Parahnya, selang dua hari dari penangkapan tersebut, bapak dikabarkan meninggal dunia karena lapas yang kebakaran.

Sejak saat itulah penderitaan ku dimulai, ibu jadi sakit-sakitan, hingga beliau akhirnya meninggal.

Memikirkan itu membuatku tanpa sadar meneteskan air mata.

Puk!

"Ze, kamu nangis?"

Tepukan halus dan pertanyaan Bu Hanum membuatku segera tersadar dari lamunan.

"Aku hanya teringat pada kedua orang tuaku, Bu. Aku kangen mereka," sahutku.

Bu Hanum tersenyum seraya mengusap-usap bahuku. Ia lantas menarik kursi lalu duduk.

"Jangan ditangisi terus, jika ingat pada mereka, lebih baik doakan. Itu akan jauh lebih bermanfaat bagi mereka," ucap Bu Hanum seraya menyendok nasi ke atas piring yang telah aku siapkan.

"Arsen, ayo duduk! Kita sarapan dulu," sambungnya.

Aku ikut menggeser kursi dan duduk di depan Arsen lalu mengambilkan nasi dan lauk untuknya.

"Arsen udah mandi?"

Tiba-tiba pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulutku.

Membuat Bu Hanum menghentikan suapan yang hendak masuk ke dalam mulutnya dan memberikan tatapan serta senyum anehnya padaku juga Arsen secara bergantian.

Kini aku ingin sekali mencabut ucapanku barusan.

Aku tau, saat ini Bu Hanum pasti sedang berpikiran yang macam-macam, sedangkan Arsen sendiri masih tetap pada wajah polos dengan ekspresi mengesalkannya itu.

"Apa …"

"Aku cuma tanya, Bu. Soalnya tadi malam Arsen bilang gak bisa mandi sendiri, dan pagi ini ... tiba-tiba saja Arsen sudah rapih," ucapku memotong ucapan Bu Hanum.

"Astaga, ibu malah berpikir kalau kalian ...," ucapan Bu Hanum terhenti dengan tawa yang tertahan.

"Kalian ngomongin apa, sih?" tanya Arsen dengan polosnya. Bu Hanum hanya terkekeh kemudian melanjutkan aktivitas makannya.

Aku pun langsung mengalihkan fokus ku pada sarapan pagi ini hingga Bu Hanum pamit untuk pergi bersama Arsen ke kantornya.

Bu Hanum tetap membawa pria itu untuk ikut dengannya dengan alasan bahwa Arsen adalah satu-satunya penyemangat yang ia punya.

“Hati-hati ya!” ucapku sembari melambaikan tangan.

Diam-diam, aku merasa kagum dengan Bu Hanum.

Sebagai seorang janda yang memiliki anak dengan keterbelakangan seperti Arsen, ia malah memilih untuk melakukan semuanya sendiri.

Hal itu terbukti dari dia yang enggan untuk menikah lagi meski katanya sudah menjanda selama 20 tahun lamanya.

Bahkan, ia tak memiliki satu pun pekerja di rumahnya meski aku yakin beliau akan sangat mampu untuk membayar banyak.

Jika dilihat dari semua harta yang ia miliki saat ini, aku yakin bisnis yang Bu Hanum jalani adalah bisnis besar meski aku tak tahu itu apa.

Yang jelas, kasih sayang Bu Hanum pada Arsen mengingatkan aku pada almarhumah ibu!

Mungkin, semua ibu di dunia ini memiliki kasih sayang dan cinta yang tak terbatas untuk anaknya apapun kondisinya.

Deg!

Tiba-tiba saja ada debaran aneh di dada ini.

‘Dengan kondisi pernikahanku yang seperti ini, apakah memungkinkan bagiku menjadi seorang ibu?’batinku pedih.

Rasanya, aku masih perlu belajar banyak dari Bu Hanum untuk menjadi wanita yang kuat dan mampu menerima kenyataan hidup.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status