Share

Kabar Mengejutkan

"Sekilas info! Baru saja terjadi kebakaran di sebuah kantor polisi yang mengakibatkan 30 orang meninggal dunia. Dua belas diantaranya adalah seorang tahanan dan sisanya adalah polisi. Menurut keterangan warga sekitar, sempat terdengar suara ledakan yang sangat keras sekitar pukul empat dini hari lalu tiba-tiba saja api langsung membesar dari dalam kantor polisi tersebut. Penyebab pastinya sampai kini masih dalam penyelidikan."

Aku menutup mulutku saat mendengar berita tersebut.

Baru saja tadi malam aku mendengar berita tentang tertangkapnya pengedar narkoba, namun pagi ini justru pemuda itu ikut tewas dalam peristiwa kebakaran tersebut.

Entah mengapa, aku jadi teringat pada almarhum bapak, kejadian ini sama persis dengan apa yang bapak alami dulu.

Tak terasa air mataku menetes, antara sedih dan kesal menjadi satu.

Padahal, status orang tersebut masih tersangka, sama seperti bapakku dulu.

Sidang belum dilakukan dan penyelidikan masih tetap berlanjut, belum tentu juga kan dia sepenuhnya bersalah?

Bisa jadi dia hanya menjadi kambing hitam dari kesalahan orang lain. Tapi sayangnya musibah seperti ini malah terjadi!

"Arsen, hari ini kamu di rumah saja sama Zea, ya! Ibu cuma keluar sebentar, kok!" ucap Bu Hanum yang baru saja keluar dari kamarnya bersama Arsen membuatku langsung menoleh pada mereka.

Aku hanya tersenyum saat melihat tingkah Arsen yang sepertinya sangat keberatan saat Bu Hanum melarang ikut dengannya.

"Tapi janji, ya Bu! Jangan lama!" ucap Arsen setelah sekian lama ia merengek.

"Iya. Nanti ibu belikan kamu dan Zea es krim!" sahut Bu Hanum seraya beralih menatapku. Aku hanya tersenyum seraya menghampiri mereka.

"Kalau untukku ...- oekh!"

Aku segera berlari menuju kamar mandi karena tiba-tiba saja perutku merasa mual. Entah mengapa tiba-tiba saja aroma parfum yang digunakan Arsen membuatku merasa mual hingga muntah sejadi-jadinya.

"Zea, kamu kenapa, nak?" terdengar suara Bu Hanum dari balik pintu.

"Ze?!"

"Iya, Bu," sahutku setelah merasa agak baikan. Aku segera keluar dari kamar mandi.

"Kamu kenapa? Kok muntah-muntah?" tanya Bu Hanum seraya memegang dahiku. Terlihat jelas raut kecemasan dari wajahnya.

"Gak tau, Bu. Tiba-tiba saja merasa mual," sahutku.

"Badan kamu juga gak panas, kok. Apa mungkin masuk angin kali, ya?" gumam Bu Hanum.

Mungkin benar apa yang dibilang Bu Hanum. Bagaimana tidak mau masuk angin, sedangkan sudah hampir enam bulan ini setiap malam aku harus tidur di lantai yang dingin?

Karpet saja tidak cukup untuk membuat tidurku lebih hangat dan nyaman.

Ah, sungguh sial memang, menikah dengan pria kaya tapi hidup tetap nelangsa seperti ini.

"Tapi, wajah kamu sampai pucat gitu, apa kita ke dokter saja, ya?" sambung Bu Hanum lagi.

"Ah, tidak usah, Bu! Palingan kalau cuma masuk angin minum obat masuk angin juga langsung sembuh," tolakku.

"Ya, sudah. Berhubung ibu buru-buru, kamu istirahat di rumah, ya! Ibu pergi dulu!" ucapnya seraya mengusap-usap bahuku.

"Arsen! Kamu jangan nakal, ya!" serunya pada Arsen yang kini nampak fokus menonton televisi.

Setelah Bu Hanum pergi, aku langsung menuju dapur, membuka kotak P3K lalu mengambil minyak kayu putih dan membalurnya pada perut juga kepala, karena selain mual kini aku juga mulai merasa pusing.

"Ze, aku haus!" teriak Arsen yang masih setia duduk di sofa depan tv.

"Arsen, kamu bisa ambil sendiri. Kepalaku lagi pusing," sahutku yang kini sudah duduk di depan meja makan seraya mengurut-urut keningku.

"Oekhh!"

Tiba-tiba rasa mual itu kembali saat Arsen mulai mendekat dan aroma parfum yang digunakannya tercium oleh hidungku.

"Zea gak sopan. Masa aku lewat langsung muntah?!" protes Arsen kemudian gegas ke kamar mandi.

Sebenarnya aku merasa sangat bersalah karena sudah membuat baju Arsen jadi kotor karena muntahanku.

Tapi untuk pergi menghampiri Arsen dan minta maaf padanya, rasanya aku tidak sanggup.

Entahlah, perutku rasanya tidak bisa diajak kompromi saat mencium bau Arsen….

***

Tok! Tok! Tok!

Entah sudah berapa kali Arsen mengetuk pintu kamar, yang pasti aku masih tetap setia berbaring di atas ranjang sambil menghirup aroma minyak kayu putih yang sedari tadi kupegang.

"Aku kesel sama kamu!" teriak Arsen.

"Arsen maaf, aku benar-benar mual saat mencium aroma parfum yang kamu pakai. Malam ini kamu tidur di kamar lain saja, ya!" seruku tanpa mau membuka pintu.

Tak kudengar lagi suara dari luar sana, akhirnya aku memutuskan untuk memejamkan mata hingga akhirnya terlelap.

Namun, entah berapa lama kemudian aku kembali terjaga saat kurasa tenggorokanku kering.

Dengan malas, aku keluar dari kamar.

Namun, langkahku tiba-tiba terhenti saat melihat Bu Hanum dan Arsen sedang berbicara di meja makan.

Sepertinya mereka terlihat begitu serius, dan lagi aku melihat kejanggalan diwajah Arsen?

"Kenapa kamu ceroboh sekali? Bagaimana kalau dugaan ibu benar?!" ucap Bu Hanum penuh penekanan.

"CK! Walau bagaimanapun aku ini pria normal, bu. Harusnya ibu mengerti," sahut Arsen, membuatku langsung membekap mulut tak percaya dengan apa yang barusan kudengar.

"Lebih baik, kamu cari pela-cur dari pada kamu malah menyentuh dia!"

Lagi, ucapan Bu Hanum sukses membuatku terkejut.

Bu Hanum yang selama ini kukenal baik dan alim baru saja menyuruh Arsen untuk mencari pela-cur?

Apa aku sedang mimpi?

Dan, apa benar suamiku normal?

Kuberanikan diri untuk kembali mengintip mereka, aku sangat penasaran dengan semua ini.

"Ibu sudah memungutnya. Sayang juga kalau aku sia-siakan begitu saja," ucap Arsen disusul tawanya.

"Pokoknya, sebelum dugaan ibu terbukti benar, kamu harus segera dapatkan pembeli yang cocok untuk membeli Zea. Terlalu lama memeliharanya disini juga mengancam posisi kita. Ingat, jangan lakukan kecerobohan lagi!" ucap Bu Hanum dengan penuh penekanan.

Jujur, aku tidak mengerti dengan semua ini. Hanya saja, ada perasaan sakit kala mendengarnya.

Dan aku … merasa takut dengan sosok Bu Hanum yang kulihat malam ini.

Dengan perlahan, aku memutar tubuhku dan berjalan pelan menuju kamarku.

Kuraba perutku yang rata, terngiang ucapan Arsen yang mengaku dirinya pria normal.

Apa mungkin yang dimaksud dugaan Bu Hanum adalah kehamilan?

Tapi, kapan Arsen melakukannya? Kenapa aku tidak ingat?

Kuraih kalender kecil yang kusimpan di laci nakas, aku bahkan tidak sadar kalau aku ternyata sudah telat datang bulan.

Kubuka laci kedua, jatah pembalut yang sering dibelikan oleh Bu Hanum juga masih utuh. Itu artinya aku memang tidak datang bulan beberapa bulan ini.

“Apa yang harus kulakukan?” batinku panik.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status