Tak ubahnya seperti hewan yang menunggu datangnya majikan dan berharap diberi makanan. Entah berapa lama aku duduk seraya bersandar pada jeruji besi ini. Sesekali aku juga menoleh ke arah ruang tamu, berharap Arsen ataupun Bu Hanum segera datang dan sadar bahwa aku dari tadi belum makan.Namun, sampai kakiku terasa kesemutan, tak ada satupun dari mereka yang muncul.Tubuhku rasanya makin lemas saja, hingga kuputuskan untuk kembali meringkuk di tempat tidur.Namun, saat mata ini hampir terpejam, kudengar suara gembok yang dibuka.Dengan perasaan senang, akupun segera menoleh dan terlihat Arsen masuk lalu segera mengulurkan tangannya.Untuk beberapa saat aku hanya terdiam memandang tangan yang terulur tersebut, hingga setelah kutatap wajahnya yang kini terlihat lebih bersahabat, akupun langsung menerima uluran tangannya.Tanpa bicara, Arsen menuntunku ke dapur."Kamu, masak?" tanyaku seraya menutup mulut.Mengingat perutku yang sangat lapar, makanya aku begitu senang saat melihat banyak
"Enggak! Ngapain juga aku nguping?" kilahnya seraya meraih kunci mobil dari tanganku."Arsen, tunggu!" ucapku seraya menahan langkahnya."Apalagi? Aku lagi buru-buru," sahutnya."Em, aku boleh minta tolong ambilkan ponselku yang dibawa polisi, gak?" tanyaku penuh harap."Kamu mau hubungin siapa lagi? Mau minta tolong buat kabur lagi, hah?" Arsen malah balik bertanya.Aku menggeleng dengan cepat."Enggak, kok! Aku bukan mau kabur," sahutku."Sebenarnya, aku mau ponsel itu karena di dalamnya ada foto kedua orangtuaku. Aku gak mau sampai kehilangan foto itu. Karena cuma itu satu-satunya kenangan yang kupunya. Soalnya-"Ucapanku terjeda kala air mataku menetes tak tertahan. Entah kenapa, akhir-akhir ini aku mudah sekali menangis. Apalagi kalau teringat pada ibu dan bapakku."Soalnya, apa?" tanya Arsen seraya mengangkat daguku."Soalnya, album foto kebersamaan kami hilang bersama tas yang dijambret kemarin," jelasku.Untuk sejenak Arsen hanya diam, ia tampak sedang memikirkan sesuatu."Ple
"Kamu gak papa?" tanyaku seraya menepuk-nepuk punggungnya.Arsen mengangkat sebelah tangannya seraya menggeleng pelan."Aku ke toilet dulu!" ucapnya kemudian berlalu.Akupun turut beranjak dari kursi untuk menaruh foto kedua orangtuaku ke dalam kamar. Setelah itu menyusul Arsen ke dapur dan mengajaknya makan malam bersama.Entah hanya perasaanku saja atau memang benar adanya, kurasa sikap Arsen saat tak ada Bu Hanum sedikit berbeda. Ia sedikit lembut dan juga tidak irit bicara.****Satu Minggu berlalu.Aku tak pernah mendengar kabar tentang Bu Hanum. Saat kutanya Arsen, ia hanya menjawab ibu sedang ada urusan. Ia tak pernah mau menceritakan urusan apa dan dimana. Padahal, aku benar-benar mengkhawatirkannya.Meski aku merasa hubunganku dengan Arsen sudah semakin dekat, namun tetap saja Arsen seolah memberi batasan diantara kami. Ia tak mau terbuka soal masalah pekerjaannya ataupun masa lalunya yang sampai sekarang belum ku ketahui dengan pasti.Sama halnya seperti hari ini, kulihat seh
Setelah kejadian tadi, semuanya terasa berubah. Suasana kembali dingin dan terasa canggung. Ternyata firasatku tidak salah, kehadiran Bu Hanum memang mempengaruhi sikap Arsen padaku.Seperti malam ini, meski beberapa kali aku mencoba untuk mengajak Arsen bicara, ia tetap saja diam hingga kami habiskan malam ini tanpa adanya pembicaraan sama sekali.Padahal, banyak sekali hal yang ingin kutanyakan padanya.****Siang ini Arsen dan Bu Hanum benar-benar kedatangan tamu.Seorang pria berambut putih nampak sedang duduk di ruang tamu bersama Arsen dan juga Bu Hanum.Dari raut wajahnya, kutaksir usianya sekitar 60 tahunan.Tubuhnya berisi, tidak terlalu gemuk dan tidak juga kurus, Postur tubuhnya tinggi namun agak sedikit bungkuk.Aku yakin, dia adalah pria yang Bu Hanum maksud kemarin.Mengingat mungkin dia orang yang akan membeliku, akupun bergidik ngeri!"Semoga saja, dia urungkan niat buruknya itu!" gumamku seraya mengangkat kedua telapak tangan di depan wajah.Duk!Aku begitu terkejut s
"Sebenarnya masalah anak dalam kandungannya itu udah aku cantumkan dalam surat perjanjian tersebut. Mungkin bapak kurang jeli dalam membacanya," sambung Arsen tanpa merespon ucapanku."Hmm, jadi?"Pak Seno mengusap jambang tipisnya seraya menatap wajah Arsen.Ia terlihat kesal lalu meraih kertas yang tergeletak di atas meja dan terlihat mulai fokus membacanya."Bapak sudah tandatangan. Pilihannya tinggal dua, mau manfaatin dulu sebagai pembantu atau mau nunggu sampai nanti lahiran aja?" tanya Arsen seraya tersenyum tipis.Pak Seno nampak berpikir, sedangkan Bu Hanum terlihat mulai cemas. Mungkin dia khawatir transaksinya gagal.Sedangkan aku sendiri berharap Pak Seno membatalkan niatnya."Oke! Aku akan bawa dia sebagai pembantu. Hanya saja, jika memungkinkan untuk ditiduri, kenapa tidak? Bukan begitu?" ucap Pak Seno kemudian terkekeh."Tentu saja! Hanya saja bapak harus ingat poin pentingnya. Jika sampai terjadi sesuatu pada kandungannya, bapak harus membayarnya tiga kali lipat," jela
"Fahri Raditya Algi. Iyakan?" tanyaku sekali lagi saat pria itu malah mengerutkan dahinya dan terlihat bingung."Kok, mbak tau nama lengkap saya?" Kali ini ia malah balik bertanya."Aku Zea! Alifa Zea Amanda. Inget kan?" ucapku antusias.Sejenak pria itu terdiam seolah sedang mengingat.Beberapa saat kemudian ia tertawa lebar seraya menuntunku untuk keluar dari mobil."Ya ampun, Zea! Ternyata kamu Zea sahabatku. Aku gak nyangka kita bisa bertemu lagi!" ucapnya girang."Panggil aku Radit! Karena disini mereka memanggilku dengan nama itu," sambungnya.Aku mengangguk seraya tersenyum senang.Fahri Raditya Algi.Ia adalah sahabat kecilku sewaktu di kampung. Kami tumbuh dan bermain bersama karena kebetulan kami memang bertetangga.Hanya saja, setelah ibu dan bapakku meninggal aku dan dia jadi jarang bertemu. Kami biasa bertemu hanya pada saat di sekolah saja. Itupun hanya sampai SMP, karena kebetula
Brakk!Aku dan perempuan tadi terlonjak kaget saat pintu tiba-tiba saja dibuka dengan kasar."Fara, bagaimana keadaannya, hah?" ucap Pak Seno."Di-dia pendarahan, pak!" sahutnya terbata.Kulihat perempuan yang ternyata bernama Fara itu menundukkan wajahnya seraya meremas jari jemarinya.Entah apa alasannya sampai ia terlihat ketakutan seperti itu."Dasar gak becus! Kenapa dibiarkan saja!" sentak Pak Seno."Aku gak tau harus ngapain, pak!" cicitnya."Halah ...! Dasar gak berguna!" umpat Pak Seno seraya melayangkan tangannya pada wajah Fara."Pokoknya, kamu harus buat kandungannya baik-baik saja! Jika tidak, kamu akan tau akibatnya!" ancamnya seraya mengguncang tubuh Fara."Ba-bagaimana kalau kita ba-bawa ke rumah sakit saja, pak!" Dengan terbata Fara memberi usul."Lalu, apa gunanya kamu disini?!" sentak Pak Seno.Suaranya menggelegar dengan mata yang seolah akan kelu
"Kamu kenal dia?" tanya Fara seraya memicingkan matanya."Tentu! Dia itu sahabatku saat di kampung. Kamu juga kenal Radit? Dia orang yang baik, gak mungkin 'kan dia ikut memperlakukanmu dengan tidak layak?" jelasku."Ya, Radit memang orang yang baik. Sayang, kebaikannya malah membuatnya ikut terjebak di sini," ucap Fara.Pandangannya kini kembali lurus ke depan, seolah sedang memikirkan sesuatu yang telah berlalu.Hal itu tentu saja membuatku semakin tertarik untuk terus bertanya banyak hal padanya."Memangnya, apa yang membuat Radit bisa berurusan dengan Pak Seno?""Sebenarnya, Radit itu ...-""Fara!""Fara!"Ucapan Fara terjeda kala terdengar Pak Seno berteriak memanggil namanya."Aku pergi dulu!" ucapnya tergesa.Aku hanya bisa menghembuskan nafas gusar!Padahal aku masih ingin berbicara banyak hal dengannya.Kuraih koper dan kembali membukanya untuk memindahkan pa