"Astaga, Arsen?!" pekikku begitu aku masuk kamar.Kepalaku seketika terasa panas saat melihat kondisi kamar yang berantakan.Handuk basah tergeletak di atas kasur, baju dan celana kotor berceceran di lantai, sedangkan Arsen sendiri nampak sedang membongkar koper tanpa langsung memasukkan pakaiannya ke dalam lemari. Sepertinya ia memang sedang mencari sesuatu."Iya sayang ... kenapa?" tanyanya seraya tersenyum manja."Kamu ngapain sih, berantakin kamar? Kayak anak kecil aja tau gak sih?!" omelku seraya memungut satu persatu baju kotor yang ia biarkan begitu saja."Maaf, Ze! Aku lagi cari celana dalam. Kemarin kamu taro dimana sih?" ucapnya tanpa menoleh padaku. Kali ini Arsen nampak fokus mengacak-acak isi kopernya.Entah kenapa, melihat hal itu emosiku begitu memuncak. Sebagai seorang istri aku merasa tak dihargai. Aku membereskan pakaiannya ke dalam koper dengan sangat rapih, tapi dia malah mengacak-acak nya begitu saja. Apalagi saat ini aku juga sedang mencoba untuk membereskan kama
"Sejak kapan Zea berubah?"Samar kudengar suara Bu Hanum bertanya. Suaranya sangat pelan bahkan terkesan seperti berbisik."Kalau gak salah, antara dua atau tiga hari kebelakang, deh Bu," sahut Arsen singkat.Aku yang merasa tak cukup hanya dengan menguping pembicaraan merekapun langsung mengintip. Kebetulan, posisi Arsen dan Bu Hanum yang sedang duduk di sofa itu membelakangiku. Jadi, aku bisa lebih leluasa melihat mereka berdua."Tadi, Zea juga mengomentari pekerjaan ibu. Ia protes soal piring yang dia anggap masih berdebu, katanya ... harusnya ibu lap itu piring meskipun gak dipakai," tutur Bu Hanum.Aku merengut mendengar hal itu. Kupikir, seharusnya Bu Hanum tak usah mengadukannya pada Arsen. Atau, apa mungkin Bu Hanum tersinggung dengan ucapanku?Padahal, selama ini aku juga gak pernah mengkritik apapun padanya. Semuanya selalu kulakukan sendiri jika ada sesuatu yang menurutku kurang. Hanya saja, untuk saat ini aku memang sedang lelah, apa salah jika aku berkomentar?"Apa? Zea
Klek!Kuputar anak kunci dan membuka pintu secara perlahan. Senyum Arsen menjadi hal pertama yang kulihat begitu pintu terbuka."Udah ya, jangan ngambek lagi! Yuk, kita bobo!" ucap Arsen seraya meraih tanganku. Sepertinya kali ini ia sudah tidak marah lagi.Tok! Tok! Tok!"Pakeet!"Aku kembali menarik tangan dari genggamannya dan segera berhambur ke pintu utama saat mendengar suara diluar sana."Dengan Mbak Alifa Zea Amanda?" tanya kurir tersebut begitu aku membuka pintu."Iya, benar mas!" sahutku cepat. Aku segera mengambil paketnya dan langsung membayarnya secara cash. Rasanya aku begitu tak sabar untuk segera mencoba alat tersebut."Ze, kamu pesen apa malam-malam gini?" tanya Arsen yang baru saja menyusulku keluar."Ada, lah pokoknya!" sahutku singkat kemudian bergegas kembali kedalam.Aku menoleh saat ternyata Arsen membuntuti aku dari belakang. Saat hendak masuk ke kamar mandi, Arsen bahkan juga terlihat ingin ikut."Kamu mau ikut ke kamar mandi juga?" ketusku seraya memberinya
"Hai! Akhirnya kalian pulang juga!" seru Bang Gavin begitu kami membuka pintu.Pagi-pagi buta, aku, Arsen dan juga Bu Hanum sudah terbangun gara-gara bel yang terus berbunyi. Nyatanya, Bang Gavin sudah bertamu sepagi ini."Arggh ... loe ngapain sih, bertamu pagi-pagi buta gini? Ganggu orang aja! Masih ngantuk, tau!" celetuk Arsen membuatnya langsung mendapat cubitan dari Bu Hanum."Eh, berisik, loe! Gue mau ketemu Zea! Ada yang mau gue omongin!" ketus Bang Gavin seraya nyelonong masuk."Apa? Gak boleh! Ini masih terlalu pagi! Jangan bahas hal-hal berat dulu!" ucap Arsen."Apaan sih? Gak usah aneh-aneh deh, orang Bang Gavin mau ngomong, kok gak boleh?!" kesalku seraya menatap sinis padanya."Tuh, denger! Zea aja mau!" ledek Bang Gavin.Sedangkan, di samping itu, Bu Hanum malah pergi meninggalkan kami. Mungkin dia enggan melihat kami yang terus adu mulut setiap kali bertemu."Enggak boleh! Masalahnya, Zea lagi hamil muda. Dia gak boleh terlalu capek atau stres dulu!" ucap Arsen membuat
"Saya terima nikahnya Alifa Zea Amanda bin Syaron Wardana dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!"Deg!"Kenapa pria ini mampu mengucapkan kalimat tersebut dengan lancar?" batinku tak percaya kala mendengar ikrar suci tersebut. Dadaku tiba-tiba saja terasa sesak dan penuh dengan rasa kekesalan dan kekecewaan.Biar bagaimanapun, aku telah lama menantikan momen sakral ini. Namun sayangnya, bukan dengan pria yang kini duduk di sampingku."Horee ...! Arsen akhirnya punya istri!"Tiba-tiba saja, ia bersorak seraya bangkit dari duduknya. Melompat-lompat bak anak kecil yang senang karena dapat permen. Kontan saja hal itu menambah rasa ilfill-ku padanya. Untungnya, Bu Hanum yang kini telah menjadi mertuaku itu, langsung menghampiri anak semata wayangnya dan membujuk Arsen untuk kembali duduk dan mengaminkan doa yang belum selesai dibacakan."Arsen duduk dulu, ya! Aminkan doanya, supaya pernikahan kalian diberkahi oleh Allah," bisiknya.Pria yang memiliki nama lengkap Arsenio Cleosa Raymo
Aku mengerjapkan mata, lalu berjalan menghampiri Arsen."Apa kamu bilang? Pakein?" tanyaku memastikan."Iya, biasanya ibu yang melakukannya. Tapi, ibu bilang sekarang tugasnya digantiin sama kamu," sahutnya."Em, ta-tapi–""Oh, iya. Aku juga belum mandi, biasanya ibu yang mandiin," ucapnya menghentikan kalimatku, “jadi, kamu bisa bantu aku, kan?”"A-apa?" Lagi-lagi aku dibuat kaget dengan ucapannya. "Seberat inikah tugas seorang istri di malam pertama?" batinku lirih."Aku belum mandi dan udah gerah sekali. Biasanya, ibu yang mandiin." "Iya, aku udah denger," sahutku mulai frustasi."Loh, kan tadi kan kamu nanya, makanya aku jawab," tuturnya seraya mengadu-adukan kedua jari telunjuknya.Aku menghela nafas, lalu mencoba untuk tersenyum padanya."Arsen, emang kamu gak bisa mandi sendiri?" tanyaku seraya menatapnya dari atas hingga bawah. Namun, pria itu hanya menggeleng dengan tampang polosnya. Sontak, aku mengusap wajahku perlahan. Ucapan dan tingkah Arsen memang seperti anak keci
Silaunya sinar mentari yang menembus tirai membuatku terjaga, dan hal yang pertama kali aku lakukan adalah meraba seluruh pakaianku dan memastikan semuanya baik-baik saja.Detik kemudian, aku tersenyum mencemooh diriku sendiri. Bisa-bisanya aku sampai berpikir bahwa pria seperti Arsen akan melakukan hal yang macam-macam padaku!"Itu semua gak mungkin, Zea! Dia itu bukan pria yang normal!" Aku mendesis pelan.Gegas aku turun dari tempat tidur dan berjalan menuju kamar mandi, mengetuk pintunya dan memanggil Arsen beberapa kali, hingga akhirnya aku kembali menepuk jidat seraya merutuki diriku sendiri."Sudah tau pria itu tak bisa mandi sendiri, mana mungkin juga dia berada di dalam?" gumamku.Aku segera masuk dan membersihkan diriku, setelah itu bergegas turun untuk membuat sarapan.Beberapa ikat sayur dan daging aku keluarkan dari dalam kulkas. Rasanya, pagi ini aku ingin membuat tumis kangkung dan ayam goreng serta sambal, seperti yang sering almarhumah ibu buat untukku.Tanpa sadar
Tak terasa, waktu pun bergulir.Kini, aku menahan senyum saat melihat Arsen yang sedang duduk di depan televisi. Terkadang, aku merasa heran dengan hobi pria itu, aku pikir pria yang memiliki sikap dan kebiasaan seperti anak kecil itu akan lebih suka menonton film kartun atau film anak-anak. Tapi, dia malah lebih suka dengan acara berita! Aku bahkan sering bertanya-tanya apakah mungkin Arsen mengerti dengan apa yang disampaikan dalam setiap berita yang ia tonton?"Seorang pemuda berinisial A.N tersangka pengedar narkoba baru saja ditangkap oleh pihak yang berwajib. Pemuda yang buron selama satu minggu itu akhirnya tertangkap di sebuah rumah kosong yang kuat dugaan kerap menjadi tempat untuk bertransaksi barang haram tersebut."Aku mengernyitkan dahi ku saat tiba-tiba saja aku menangkap raut kekesalan dari wajah Arsen. Apakah mungkin ekspresi kesalnya itu karena mendengar berita tersebut?"Arsen?" sapaku, seraya duduk disampingnya.Arsen hanya bergumam tanpa mengalihkan matanya dar