Pagi ini, Juna dan Namira menyisihkan waktu untuk sarapan bersama. Tumben, karena biasanya Namira ogah berdekatan dengan Juna atau berhadapan terlalu lama. Tapi entah kerasukan setan apa, pagi ini Namira lain cerita. Ia bangun lebih dulu, memasak sarapan berupa nasi goreng, lalu membangunkan Juna yang masih terlelap. Sewaktu Juna mandi, Namira juga mempersiapkan pakaian yang akan ia kenakan hari ini. Kemeja, jas, celana dan dasi. juna tentu heran dengan perubahan sikap Namira. Dia tidak seperti Namira yang Juna kenal. Ingin rasanya Juna meledek perempuan itu, tapi tak jadi karena sejak tadi, Namira tampak melamun. "Kamu tuh beneran kesurupan ya?" tanya Juna pada akhirnya. Makanan di piring sama sekali tak Namira makan, melainkan ia main-mainkan menggunakan sendok. Kalau begini, Juna jadi risau. Takut Namira betulan kesurupan.Tidak ada sahutan dari perempuan itu. Tatapannya tetap kosong. Lebih seramnya, mata Namira tak berkedip. Juna jadi takut."Namira,"Masih bergeming."WOI!"Nami
Juna tersenyum-senyum sendiri mengingat kelucuan Namira tadi pagi. Perempuan yang amat susah untuk ditaklukan itu akhirnya luluh dengan sendiri. Masih terdengar dengan jelas di telinga Juna panggilan 'Mas' keluar dari mulut Namira. Aku-kamu yang lembut. Ah, Juna jadi ingin cepat pulang. Bertemu dengan Namira dan membuat perempuan itu salah tingkah. Ia sudah menyiapkan beberapa gombalan untuk Namira. "Permisi, Pak."Hari ini Zahira kembali datang. Untuk chek up sekaligus cuci darah. Namun ketika memasuki ruangan Juna, ia malah mendapati pria itu tersenyum tanpa alasan yang jelas. Kasian, mana Juna dokter, masih muda lagi."Pak dokter!""Eh, iya. Ada yang bisa saya bantu?" Spontan Juna menatap Zahira yang duduk di hadapannya.Gadis itu tersenyum seraya geleng-geleng kepala. Melamun sambil tersenyum? Ada-ada saja."Lagi mikirin apa pak dokter? Kayaknya lagi seneng," ujar Zahira. Ia menarik kursi kosong di hadapan Juna dan duduk di sana.Juna tersenyum salah tingkah. "Hehe. Iya, saya lag
Suasana di meja mendadak canggung. Padahal mereka bisa bersikap seolah tidak saling mengenal. Tapi entah mengapa, adanya Juna di sana membuat Namira tidak bisa berekspresi dengan bebas. Terlebih lagi ada gadis lain yang bersama Juna. Ah, dia sebetulnya tidak terlalu memikirkan mengapa Juna bisa ada di cafe ini dan berduaan dengan gadis lain tanpa sepengetahuannya. Tapi tanpa alasan yang jelas, Namira merasa tidak tenang. Ia seperti memergoki suaminya selingkuh, padahal ia sendiri juga bersama laki-laki lain.Sebagaimana yang dirasakan Namira, Juna juga merasakan hal yang sama. Ia merasa tidak tenang kala ketahuan makan berduaan dengan perempuan lain. Ia juga merasa sedikit tidak terima kala tau Namira juga tidak sendirian. Mereka seperti saling memergoki. Juna seolah selingkuh dan Namira juga begitu. Namun kenyataannya, mereka dan rekannya tidak memiliki hubungan spesial. Ini hanya sebuah kebetulan.Ditengah-tengah rasa canggung, Juna melanjutkan aktivitas makannya. Kali ini ia tidak
Juna segera membawa pasiennya kembali ke rumah sakit setelah menghabiskan waktu untuk makan siang di cafe. Ia juga tidak punya banyak waktu untuk berkeliaran karena terdesak ingin pulang cepat ke rumah. Namira berjanji akan pulang cepat. Karena hal itu, Juna tidak bisa berlama-lama di rumah sakit. Pasien yang ia tangani untuk hari ini hanya satu, yaitu Zahira. Setelah meresepi obat, Zahira sudah diperbolehkan pulang."Pak Dokter," panggil Zahira sembari mencolek pinggang Juna. Kini mereka berdiri di pos satpam. Tujuannya tidak jelas. Zahira hanya mengekori Juna.Pria yang awalnya asik ngobrol dengan satpam menoleh, menatap Zahira dengan dua alis dinaikkan. "Ya?""Boleh pinjam ponselnya nggak? Mau nelvon mama. Ponsel aku mati," ujar Zahira menunjukkan ponselnya yang memang sudah mati kehabisan baterai."Biar saya yang nganter kamu pulang," ucap Juna. "Kebetulan saya juga mau pulang ke rumah.""Tapi kan kita beda arah.""Nggak masalah." Juna tersenyum. Ia mengakhiri pembicaraannya denga
Aroma masakan menyambut kepulangan Juna. Baru di depan pintu utama, tapi aroma rempah yang tampaknya sedang berbaur dengan ayam goreng itu sudah berhasil menggugah selera. Ia segera berlari menuju dapur setelah melepas sepatu dan kaos kaki. Ia penasaran, apa yang tengah di masak Bi Arum di belakang sana."Masak apa bi?" tanya Juna ketika menginjakkan kaki di dapur yang menyatu dengan ruang makan. Ia belum sepenuhnya melihat siapa yang sedang berkutat di depan kompor. Tapi agaknya memang Bi Arum. Mana mungkin Namira memakai daster. Dan tidak mungkin juga Namira memasak."Bi Arum sekarang kurusan ya?" tanya Juna diakhiri kekehan. Baru sadar dengan postur tubuh Bi Arum yang terlihat lebih kurus dari sebelumnya. Akhir-akhir ini ia memang jarang memperhatikan Bi Arum. Perempuan itu berbalik, menatap Juna galak. Sutil yang digunakan untuk membolak balik ayam goreng di wajan kini sudah berada tepat di depan mata Juna. Satu dorongan lagi, mata Juna sukses kecolok."Bi, bi, bi, babi! Ini gue!
"Aku takut Regi bawa kamu kabur atau melakukan hal yang nggak pernah kita pikirkan sebelumnya," sambung Juna. "Aku takut, Mir."Namira tercengang mendengar ucapan Juna yang sebelumnya tak pernah Namira sangka akan keluar dari mulut suaminya. Ia juga sedikit terharu karena Juna mengakui takut kehilangan dirinya."Eh, jangan mikir gitu dong. Regi nggak mungkin ngelakuin hal jahat. Lagian di sana juga ada tim dari perusahaan yang lain. Tenang aja, Regi nggak bakal berbuat sejauh itu. Kalaupun dia suka aku, yaudah. Aku nggak bakal nanggepin biar dia nggak berharap lebih. Dan kalau beneran dia ngelakuin hal jahat, aku bakal langsung telvon kamu. Aku bakal lapor ke kamu tentang kegiatan aku nantinya. Setiap hari. Kayaknya nggak bakal lama. Paling cuma seminggu," jelas Namira panjang lebar.Meski sudah diberi penjelasan, rasa ragu Juna belum juga hilang. Melihat Juna yang demikian, Namira menghela nafas. Sebetulnya ia juga tidak akan memaksa untuk tetap ikut jika Juna tidak memberi izin. Unt
Pagi-pagi sekali rumah Arjuna sudah berisik. Suara keran menyala, langkah kaki yang berlari-lari dan suara benda jatuh yang berasal dari dapur. Namira memang sedikit sibuk. Hari ini ia akan melakukan perjalanan ke luar kota untuk melaksanakan tugas pertama bersama beberapa rekannya seperti yang telah disampaikan Regi kemarin. Dan untuk beberapa hari ke depan atau mungkin beberapa Minggu ke depan, Namira tidak akan berada di rumah. Bisa dikatakan, hari ini adalah hari terakhir ia menyiapkan sarapan untuk Juna. Hari terakhir bersama suami tercintanya.Subuh-subuh Namira usai membersihkan tubuhnya. Baju kantor juga sudah terpasang rapi, membalut badan. Barang-barang serta baju-baju yang akan dibawa juga sudah tersusun dengan baik di dalam koper. Tidak ada yang perlu Namira khawatirkan perihal perjalanannya. Yang ia khawatirkan adalah Juna yang hingga saat ini masih belum juga bangun. Semalam pria itu bermain game hingga jam tiga pagi. Makanya pagi ini sulit dibangunkan. Untuk ke sekian
"Tugas kamu tidak sulit. Buat Juna melakukan hal yang mengharuskan dia untuk bertanggung jawab. Entah apa itu, pikirkan saja olehmu." Gamandi menurunkan kakinya yang semula bertengger di atas meja. Tatapannya tertuju pada perempuan paruh baya yang berdiri di hadapannya. "Saya tidak ingin mendengar kabar baik. Bagaimanapun caranya, rumah tangga Juna harus hancur.""Ba--baik, Tuan.""Kalau bisa, Juna harus menjadikan anak berpenyakitan itu istri keduanya," sambung Gamandi.Perempuan itu mengepalkan tangannya di sisi tubuh. Ucapan itu menyakitkan, tapi dia tidak punya kekuatan untuk membalas ucapan itu selain menganggukkan kepala. "Baik, Tuan.""Oke, kamu boleh pergi."Kenapa dengan Gamandi? Jelas aneh bukan? Pria yang telah menjodohkan Juna dengan Namira malah menginginkan rumah tangga putranya hancur. Ayah yang jahat, mertua yang aneh. Alasan Gamandi menikahkan Juna dengan Namira memang tidak jelas. Bukan karena ingin menolong Basri yang kala itu sedang berada pada titik terendahnya, j