Marsha bangun cukup pagi setelah sekian kama tidak beraktivitas dan hanya rebahan sepanjang hari di rumah sakit.
Kini ia bebas. Jadi Marsha akan memulai paginya dengan sesuatu yang baik—seperti membuat masakan untuk suami dan kedua adik iparnya yang cantik.Baru saja keluar dari kamarnya, Marsha sudah melihat kedua ajudan kepercayaannya tertidur pulas di sofa dengan posisi memangku laptop mereka yang masih menyala.“Astaga. Apa yang aku lihat di pagi hari?” gumam Marsha, berjalan mendekati kedua orang itu.“Hey, coba bangun dan pindah ke kamar. Jika ingin tidur, aku punya banyak kamar kosong.” Marsha membangunkan kedua orang itu.Walau akhirnya keduanya sangat sulit untuk di bangunkan.Marsha membutuhkan waktu 10 menit agar melihat kedua orang itu bangun dan meninggalkan ruang tamu.Menghela napas panjang, Daniel dan Salma meninggalkan laptop mereka di atas meja dalam kondisi menyala dan bekerja.“KalianBerjalan melewati lorong-lorong rumah sakit yang di padati perawat dan pasien. Setelah sekian lama akhirnya Marsha bisa kembali bekerja. Pemandangan yang sama membuatnya jenuh. Tapi liburan dua hari kemarin telah membantunya melepas stres. “Selamat pagi, Prof.” Beberapa orang menyapa Marsha dengan ramah. Marsha hanya menunduk singkat menjawab salam itu sambil mengumbar senyum cantiknya. Saat hendak masuk ke dalam ruangan, ia bertemu Lea yang keluar dari dua ruangan yang ada di sebelah kantornya. Lea menatap Marsha dengan sinis. Tampaknya, mood wanita itu sedang tidak baik mengingat reaksinya yang berlebihan. “Padahal aku belum menyapa, tapi kamu sudah melempar tatapan seperti itu? Keterlaluan,” pekik Marsha, mendekati Lea. “Jangan bersikap baik di rumah sakit. Orang-orang Ayahku masih terus mengawasi ... bahkan ia menambah personelnya,” ucap Lea, mengeluh. Marsha menatap sekeliling. “Kalau di s
Marsha menatap Lea dan Anna yang saling berseteru di depan ruangannya. Sementara dirinya dan Syam, hanya menatap sebagai penonton dari dalam ruangan. “Aku tidak tahu jika hubungan mereka akan seburuk itu,” gumam Syam. Marsha yang mendengar itu hanya tersenyum simpul. “Itu memang karakternya. Kalau sudah membenci seseorang, dia akan terus membencinya sampai akhir. Senior tidak ingat bagaimana Lea memperlakukan aku saat masih bersaing hati untuk Derren?” Syam hanya mengangguk-angguk. Lalu kembali melihat pemandangan menyenangkan di depannya. “Ah, tapi seru melihatnya bertengkar. Aku selalu suka itu. Baik denganmu atau dengan Ibu Tiri mudanya itu.” Syam senyum-senyum tidak jelas. Sementara Marsha yang sibuk memindai data yang masuk lewat emailnya. Baik dari RS Zahara atau Perusahaan Mi. Yang jelas, itu tidak berhenti sejak 2 jam yang lalu. “Perkerjaanmu pasti sangat banyak, kan?” celetuk Syam, seperti mengejek.
“Jangan menentang, Marsha!” desis sang ayah tiri, “ini demi keluarga kita!” Wanita itu sontak menunduk. Marsha bukannya ingin melawan, tapi sungguh tak nyaman dengan keputusan Bima yang memaksanya untuk menikah dengan anak rekan bisnis pria itu. “Ayah yakin untuk keluarga kita?” Marsha menghela napas panjang, “Ayah juga bilang begitu ketika hendak menjodohkan Kak Nada dan Kak Zahra, tapi apa mereka bahagia? Apa perusahaan ayah semakin maju?” Ia tersenyum getir mengingat pria berusia 60 tahun itu selalu saja menggunakan alasan yang sama untuk menikahkan kedua kakak tirinya dan sekarang ia juga melakukan hal yang sama pada Marsha. Apa mereka komoditas yang bisa dijual untuk ‘keperluan bisnis’ keluarga? “Marsha! Kamu jangan kurang ajar pada–” Wajah Dena–ibu kandung Marsha–itu memerah karena melihat kelakuan anaknya yang kurang ajar pada suaminya. Untungnya, Bima dapat menahan sang istri. Pria itu lalu bangkit dari tempatnya duduk dan mendekat pada Marsha. “Kamu sudah berusia 25 t
Marsha kini menatap bercak merah di lehernya dengan nanar–bukti bahwa tubuh sucinya telah ternoda. Memang tak ada orang yang tahu atau akan mengejeknya. Hanya saja, Marsha benar-benar sedih karena jatah yang telah ia simpan baik-baik untuk suaminya nanti, harus diberikan pada pria yang tak dikenalnya. “Bahkan, ia lebih muda dariku ….” Marsha menahan tangis mengingat kenyataan yang ia temukan beberapa saat lalu saat mencari ID Card pria itu untuk “berjaga-jaga”. Berhasil kabur dari perjodohan, tapi kesuciannya malah direnggut oleh lelaki muda berusia 21 tahun?! Tak lama, perempuan itu merasa lelah meratapi nasib buruknya. Oleh sebab itu, Marsha memilih segera menyiapkan diri ke rumah di perumahan elite yang baru saja berhasil dikontraknya. Tanpa memedulikan kardus dan barang yang belum ia rapikan, Marsha masuk ke dalam kamar untuk beristirahat. Mungkin, karena terlalu lelah dengan harinya, perempuan itu tertidur dan bangun kesiangan keesokan harinya. Padahal, ia ada shift pagi
Marsha belum tidur meski sudah tiba di rumah sejak tadi. Ia menunggu Derren kembali. Begitu melihat pantulan cahaya motor yang tampaknya milik pria itu memantul di kaca jendela, Marsha segera keluar dan memandang Derren yang spontan buang muka. Melihat itu, Marsha pun berucap dengan dingin. “Bisa bicara sebentar?” Langkah kaki Derren yang hendak masuk ke dalam rumah pun terhenti. Derren terdiam beberapa saat dan memandang Marsha yang berdiri di teras rumahnya sendiri dengan tatapan bingung. “A-apa yang ingin Anda bicarakan dengan saya?” Marsha mengangkat map coklat yang ia bawa dan menunjukkannya pada Derren. “Luangkan waktumu. Aku ingin berbicara.” Tubuh Derren jelas langsung tegang begitu melihat berkas tersebut. Seketika ia teringat pemerkosaan yang ia lakukan. Ia kira itu adalah surat panggilan pengadilan. Tapi, nyatanya bukan. [Perjanjian Pernikahan] Lama, Derren melihat kontrak pernikahan yang Marsha ajukan padanya, hingga suara perempuan itu kembali terdengar. “Ayo
Sesuai perjanjian, hari ini keduanya melangsungkan pernikahan. Tak terlalu mewah dan hanya didatangi orang terdekat. Bahkan, orang tua Marsha tidak hadir sekarang. Di sisi lain, Derren kini menempelkan permukaan bibirnya di atas kening Marsha–wanita yang telah menjadi istri sahnya satu menit yang lalu– dengan canggung. Sebaliknya, Marsha hanya diam. Tak ada perasaan gugup di wajah wanita itu karena ia hanya senang karena semuanya berjalan sesuai rencana. Hanya saja, Derren terlihat gugup, sampai membuat kedua tangan yang menggenggam tangan Marsha, gemetar, dan berkeringat. “Senyum," ucap Marsha mengingatkan. Perlahan, senyuman canggung mulai terbit di wajah suaminya itu. Jepret! Suara lensa kamera yang mengambil foto mereka terdengar beberapa kali. Marsha pun mengambil beberapa gaya dengan luwes. Sementara Derren, ia masih kaku seperti semula. “Ini yang terakhir. Mas, tolong jangan canggung!” Pak fotografer tiba-tiba berseru–menegur Derren yang terus menunjukkan wajah kaku t
“Aku ingin bertanya," ucap Marsha setelah berhasil membuat sarapan sebagai istri untuk pertama kalinya. Derren sontak mendongak dan memperlihatkan wajah masam yang sedari tadi ia sembunyikan. Segera ia mengambil minum sebelum berkata, “Apa?” Melihat ekspresi pria itu, Marsha mendadak penasaran. Diambilnya sendok dan melahap sarapannya. Namun belum sampai tenggorokan, Marsha sudah menyemburkan isi mulutnya dan segera menegak air. “Asin!” “Kenapa masih dimakan? Berikan padaku!” Marsha segera menatap Derren yang sudah menelan beberapa sendok nasi goreng buatannya itu sampai berkeringat dingin. Ia hendak membuang isinya. Tapi, Derren justru menepik tangan Marsha dengan memukul punggung tangannya pelan. “Masih bisa dimakan!” ucapnya kembali menyuapkan makanan ke dalam mulut. “Lanjutkan perkataan Anda. Anda mau bicara apa tadi?” Marsha menghela napas dan menarik tangan kanannya yang masih menggantung di udara. “Adikmu … di mana keduanya?” Derren diam. Ia memandang Marsha dengan tat
Saat ini, Dena termenung setelah melihat sebuah dokumen yang baru saja diberikan oleh sekretarisnya pagi ini. Ia tak berbicara sedikit pun dan hanya memandangi dokumen-dokumen itu dengan perasaan gundah dan sedih. Baru dua hari putrinya pergi dari rumah dengan air mata yang menggenang di pelupuk matanya, kini Dena dapat melihat senyuman cantik itu ketika Marsha menggandeng seorang lelaki. Perkataan Marsha terakhir kali mengingatkan Dena tentang almarhum suaminya, Hans. Dena ingat jelas tentang kelakuannya yang menjadi kasar pada Marsha. Tapi, Marsha tak pernah membenci atau menghindarinya. Membayangkan Marsha berada dalam kondisi seperti dirinya saat itu, membuat Dena berpikir ribuan kali tentang perjodohan putrinya. Seharusnya, ia menghentikan suaminya sekarang. “Sayang ... sayang ...!” Bima berteriak dari dalam kamarnya. Mendengar itu, Dena segera bangun dan membereskan berkas pernikahan Marsha. Ia menyimpannya agar tak terlihat Bima, lalu pergi menuju sang suami. “Apa?” tan