Share

SLTC 007

“Apa ini?” tanya Hani yang nampak enggan mengambil kertas tersebut.

“Tolong Mbak! Kalau tidak ada persetujuan tentang hal ini, maka Saya tidak bersedia menikah,” tekan Sova dengan mata tajam.

Ditatap seperti itu oleh sang calon istri bos nya, membuat nyali Hani menciut. Ia pun segera mengangguk dan mengambil kertas tersebut, memotretnya, lantas mengirimkannya langsung kepada Roy.

“Sudah. Bisakah kita mulai berhias?” tanya Hani lagi. Ia tak ingin membuang-buang waktu berdua dengan Sova. Ia khawatir akan ada banyak pertanyaan lain yang tak akan sanggup Ia jawab.

“Tunggu jawabannya!” titah Sova tanpa melirik sedikit pun ke arah Hani.

Tak menunggu lama, ponsel Hani pun segera berdering. Wanita itu pun segera menggeser gambar telepon berwarna hijau untuk menjawab panggilan dari Roy.

“Hallo. Iya.” Hanya dua kata itu yang diucapkan oleh Hani, sebelum akhirnya Ia menyerahkan ponsel itu kepada Sova.

Sova yang sudah mengira siapa yang menghubungi Hani, segera meraih ponsel itu sambil menganggukkan kepalanya sebagai pengganti kata Terima kasih kepada Hani.

“Hallo!” kata itu yang diucapkan Sova, namun bertalu dengan bunyi genderang perang di dalam batinnya. Bagaimana pun, bisa saja Ia berbicara dengan seorang lelaki tua yang akan menjadi suaminya.

“Ya. Sova!” terdengar suara bariton menyapanya dari seberang telepon. Suara itu terdengar begitu berwibawa, membuat Sova merasa terlindungi. Tidak terdengar seperti suara kakek-kakek yang pesakitan.

“Ya, Pak Roy!” sahut Sova dengan menekan gemetarnya.

“Kamu memberikan Saya dua persyaratan tadi? Tapi, saat ini kita tidak sedang dalam keadaan tawar menawar. Ayahmu ada padaku!” ucapnya terdengar lebih tegas daripada saat lelaki itu hanya menyebut namanya, di awal obrolan mereka.

Sova menarik nafasnya dalam-dalam. Ia berusaha menetralkan rasa takut dan terintimidasi, agar menjadi kuat dan tak diremehkan. Dia merasa belum tahu siapa sosok calon suaminya yang sebenarnya, jadi dia harus tegas juga.

“Saya tak tahu bagaimana nasib Ayah saat ini. Bisa saja ini hanya akal-akalan kalian agar bisa menjebakku!” ucap Sova membuat Roy sedikit terhenyak. Ia tak mengira bahwa gadis desa yang Ia pilih karena kagum dengan pandangan pertama tersebut, bisa bersikap tegas dan memulai negosiasi dengan menarik. Sudut bibirnya pun melengkung, menggambarkan bahwa Ia cukup senang dengan sikap Sova.

“Ayahmu aman, selama semua ini berjalan lancar!” jawab Roy tetap tenang.

“Tidak, jika tak ada bukti apapun. Saya bisa melaporkan anda dengan pasal berlapis. Penculikan, pem... pembunuhan,” ucap Sova seraya menarik nafas panjangnya saat Ia harus mengatakan kata ‘pembunuhan'. Di otaknya terbersit kekhawatiran jika apa yang diucapkannya memang nyata. “Eksploitasi anak di bawah umur, perbuatan tak menyenangkan dan masih banyak lagi... “ ucap Sova yang pernah membaca sedikit buku tentang hukum. Padahal, Ia tak begitu faham dengan isinya, namun lumayan juga untuk menggertak lelaki tua yang sedang mempermainkan hidupnya ini.

“Silakan! Tapi, saat kamu masih di perjalanan untuk ke kantor polisi, itu artinya kamu tidak bertemu lagi dengan Ayahmu!” sahut Roy dengan tetap tenang.

“Jangan macam-macam!” bentak Sova dengan tangan terkepal.

“Segeralah bersiap. Setelah akad, kita akan melihat ayahmu! Saya, pak RT, pak Amil dan saksi-saksi semua sudah ada di depan rumahmu. Jangan terlambat, supaya kita tak terlambat menemui Ayahmu, Ayah kita!” ucap Roy. “Oya, jangan panggil saya Pak. Panggil saja Sayang, atau Bang, Mas, Kang, Aa, Uda. Apapun yang kamu senang, asal jangan Bapak!” ucapnya lagi seraya menutup panggilan telepon secara sepihak.

“Sudahlah, secepatnya pakai baju ini!” Hani segera meminta ponselnya kembali, kemudian menggantinya dengan satu set kebaya berwarna broken white.

Tanpa berpikir panjang, Sova pun segera mengenakan kebaya tersebut, dan akhirnya pasrah didandani dengan make up flawless.

“Selesai. Ayo, sudah ditunggu di luar!” pinta Lina yang tiba-tiba berada di balik pintu.

Sova langsung menoleh ke arah sumber suara. “Tunggu Mbak, saya mau ketemu Ibu saya dulu. Boleh minta tolong panggilkan? Maaf, merepotkan!” ucap Sova merasa tak enak hati. Selama ini, dia terbiasa disuruh, dan hampir tak pernah balik menyuruh orang lain, meskipun itu teman-temannya sendiri. Keadaannya di rumah lah, yang membuat Ia terbiasa melakukan segala hal sendiri dan tak mengandalkan orang lain.

Tanpa menjawab ucapan Sova, Lina pun segera berbalik arah lagi. Tak lama, muncul bu Devi dari balik pintu.

“Ada apa?” tanya bu Devi yang nampak sumringah. Hatinya begitu senang karena akan segera mendapatkan sisa uangnya. Setelah itu, dia akan meminta Sova bercerai. Selesai. Hal itulah yang membuat wanita paruh baya itu sangat senang.

“Mama, tolong tanda tangani di sini!” pinta Sova seraya menyerahkan sebuah pulpen dan secarik kertas yang sudah Ia bubuhkan tulisan dan materai.

“Di mana?” tanya bu Devi seraya mengambil pulpen dan kertas itu.

“Di sini!” tunjuk Sova ke bagian tanda tangan pihak ke dua. “Sebagian tanda tangannya kena ke materai sini ya, Ma!” tunjuk Sova lagi.

“Maksudnya?” tanya bu Devi tak mengerti. Jangankan untuk mengerti permintaan Sova, baca tulis pun dia tak bisa. Tapi kalau tanda tangan, dia terpaksa bisa karena harus membubuhkan tanda tangan di KTP.

“Ini. Begini!” Sova memberikan contoh dengan membubuhkan tanda tangannya sendiri di pihak ke satu.

“Oh, iya. Mama ngerti. Begini doang sih... gampang!” ucap bu Devi sambil mencebik dan menarikan pulpen yang Ia genggam. Ia membubuhkan tanda tangan tepat di tempatnya. “Selesai. Nih!” Bu Devi setengah melemparkan kertas dan pulpen tersebut ke hadapan Sova.

“Ma, makasih ya!” ucap Sova tulus, yang langsung menubrukkan dirinya di pelukan bu Devi. Bagaimana pun tahun-tahun yang Ia lalui bersama sang Ibu tiri, tetaplah bagi Sova bahwa bu Devi merupakan ibu baginya. Andai saja bu Devi bersikap sedikit lebih baik, dia akan dengan senang hati mengabdikan diri untuk wanita yang bukan merupakan ibu kandungnya tersebut.

“Ih, apaan sih.” Bu Devi meronta, berusaha melepaskan diri dari Sova. Wanita paruh baya itu tidak mengingat perjanjiannya dengan Sova tadi. Dia pun tak mengira apapun tentang apa yang ia tanda tangani. Bahkan, wanita itu tak menyadari jika Sova sedang mengucapkan salam perpisahan kepadanya.

Bu Devi segera pergi ke luar kamar Sova. Sedangkan Hani yang membaca surat perjanjian itu lewat ekor matanya, mengerti dengan perasaan Sova yang berkecamuk.

“Jangan nangis, Mbak! Ada keluarga baru yang pasti lebih baik, yang mau menerima Mbak apa adanya!” ucap Hani seraya menyodorkan tissue kepada Sova. “Hapus air matanya, khawatir kena make up, nanti mukanya kaya ondel-ondel,” kekeh Hani yang membuat Sova ikut terkekeh. Untung saja make up yang dipakaikan bukan make up murahan, yang sekali kena air mata langsung memudar.

“Yuk!” ajak Hani lagi sambil meminta tangan Sova untuk Ia tuntun. Mereka pun berjalan beriringa menuju ruang tamu.

“Nah, ini dia pengantin yang kita tunggu-tunggu!” Nyaring suara pak RT yang disambut riuh oleh para tetangga yang ikut berkumpul sampai ke luar rumah. Mereka tak menganggap pernikahan ini sebagai pernikahan wanita muda, karena di kampung mereka, wanita seusia Sova sudah banyak yang menimbang bayi, bahkan sudah banyak juga yang menimbang bayi dalam keadaan janda. Jadi, usia Sova bukanlah usia pernikahan di bawah umur bagi mereka.

“Sini Neng Sova, duduk di samping suamimu! Akarnya tadi sudah di depan pak Harun, sekarang tinggal tanda tangan dokumen sama foto-foto saja,” ucap pak Amil yang membuat Sova membelalakkan matanya. Ia kaget dengan pernyataan bahwa dirinya sudah sah dinikahi tanpa sepengetahuannya.

Sova pun mengalihkan pandangannya kepada sosok lelaki yang mengenakan tuxedo hitam, yang saat ini sedang mengangkat wajahnya untuk melihat Sova.

Pandangan mata mereka pun bertemu, membuat Sova kaget bukan kepalang. “Hah. Anda!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status