"Pokoknya, aku nggak mau, Bu!”
Aku menolak permintaan Ibuku. Wajah Ibu menjadi merah padam. Dia kesal sekali saat mendengar penolakanku dengan nada tinggi. Ibuku bernama Ana Rahma dan ayahku bernama Delano Wicaksono. Aku sedang berada di ruang tamu bersama mereka membahas masalah perjodohan yang tidak aku inginkan. “Kamu mau buat keluarga Wicaksono malu? Status Arga Dwiguna memang duda, tapi dia kaya raya. Bahkan kalo kamu mau nikah sama dia, kamu bisa lepas dari cap perawan tua!” Suara Ibu semakin meninggi sehingga membuatku kesal, bahkan kali ini aku seperti ingin kabur saja. Namaku Inggit Garnasih Wicaksono, 23 tahun. Aku berasal dari keluarga bangsawan kasta tertinggi nomor empat di negara Dogestan. Aku adalah putri ke-3 dari empat bersaudara. Karena kebiasaan di kotaku yang mengutamakan kasta, hal itulah yang memicu keributan di pagi hari ini. “Dengar baik-baik, Inggit! Hari ini Arga melamar kamu. Jadi, jangan buat malu!" pinta Ibu lagi tanpa memedulikan perasaanku. “Terserah! Tapi, jangan salahin siapa-siapa kalo Inggit pergi dari rumah!” jawabku ketus, membuat tangannya melayang di pipi. Plak! Suara tamparan itu terngiang-ngiang di benakku. Pipiku terasa panas dan air mata ini langsung menetes. Terkadang aku bingung, kenapa Ibu sekeras ini padaku? Apa salahnya kalau aku belum menikah? Tapi meksipun begitu, bukan berarti aku harus menikah dengan duda yang memiliki kepribadian buruk seperti Arga. “Apa-apaan ini?! Suara kalian terdengar sampai luar. Buat malu keluarga aja!” Suara serak pria tua itu membuat suasana menjadi hening seketika. Dia kakekku, Wicaksono. Dia adalah pemimpin kasta Wicaksono. Melihatnya datang sontak membuatku tersenyum, seperti ada secercah harapan. “Ayah, Inggit nolak aku jodohin sama Arga Dwiguna. Padahal kalo dia setuju, kekayaan kita akan meningkat." Ibuku menjelaskan dengan menggebu-gebu. "Bahkan, keluarga kita bisa naik kasta satu tingkat lagi. Ayah setuju kan sama perjodohan ini?" Senyum penuh arti mulai tersirat dari wajah kakek Wicaksono. Senyuman itu membuat Ibu sedikit takut. “Hemm, Ana Rahma, menantuku ...." Kakek Wicaksono tersenyum. Dia memandangi Ibu dengan remeh. “Kamu yakin, mau pilihkan jodoh untuk Inggit? Kalo cuma ingin melepas predikat perawan tua, biar Inggit menikah sama pilihanku.” Tawaran kakek Wicaksono membuatku selamat kali ini, walaupun ujung-ujungnya tetap harus menikah dengan pria yang tidak kukenal. ‘Daripada menikah sama Arga yang terkenal kejam, dan suka menyakiti wanita, akan lebih baik aku nikah sama orang Asing pilihan Kakek,’ batinku. Ibu terlihat gusar. Dia menyeringai. Aku yakin, Ibu ingin menolak tawaran kakek. Kesempatan ini tidak boleh aku lewatkan begitu saja. “Bagaimana?” tanya kakek Wicaksono memastikan tawarannya, aku segera membuka suara. “Aku mau nikah sama jodoh pilihan Kakek." Aku menjawab dengan lantang. Saat itu juga, kedua mata Ibu menatapku tajam tanpa senyum. “Ibu mau aku melepas predikat perawan tua, kan? Jadi menurutku, nggak ada masalah kalo aku terima pilihan kakek ,” ujarku dengan suara pelan, tanpa berani menatap wajah mereka berdua. Desahan penuh kesal terdengar di telingaku. Tapi, tidak mungkin Ibu berani menentang Kakek. Aku tersenyum puas dan meninggalkan mereka saat itu juga. Alis mata dan bahuku naik saat menatap Ibu. Aku ingin Ibu tahu bahwa keputusan ini tidak dapat diubah olehnya. Samar-samar, aku menguping dari jauh kelanjutan percakapan mereka, sekedar memastikan Ibu tidak akan mengacaukan pilihanku kali ini. Suara kakek Wicaksono yang berat terdengar samar-samar. “Ana, siapkan semua berkas, dan kebutuhan Inggit. Kita nikahkan mereka besok jam 09.00 pagi di mansion Wicaksono. Aku, pengantin pria dan keluarga besar akan menunggu kalian di sana. Semua persiapan di mansion aku yang urus. Kamu cukup bawa Inggit aja.” Ibu dan ayah hanya menunduk. Ayah terlihat tenang tanpa beban menyetujuinya. Seperti biasa, aku melihat rasa tidak puas di wajah Ibu. Hari ini terasa panjang. Aku di tempat tidur seharian. Rasanya tidak sabar menantikan hari esok. Aku bahkan belum tahu nama pria pilihan kakek. Apakah dia tampan? Apakah dia lebih kaya dari Arga Dwiguna?"Kalau kamu merasa dirugikan, Gunawan," Laras melanjutkan dengan senyum yang penuh arti, "lebih baik kita bicara seperti orang dewasa. Tidak perlu mengerahkan tangan untuk membuktikan siapa yang lebih kuat. Kalau mau berdebat, mari berdiskusi dengan tenang." Nadanya sepertinya sedikit mengejek, namun tetap penuh dengan kelas dan kecerdasan. Laras selalu punya cara untuk melontarkan sindiran tanpa kehilangan kewibawaannya.Gunawan menatap Laras dengan penuh kebencian, namun dia tidak melawan. Ada semacam kebingungan yang terpancar dari wajahnya dan aku tahu, dia sedang berjuang untuk mengendalikan dirinya.Tapi, apa yang bisa dilakukan seseorang yang tidak bisa menerima kenyataan bahwa dia bukanlah satu-satunya yang berkuasa? Aku bisa merasakan ketegangan semakin meningkat, tapi ada hal yang lebih besar yang sedang terjadi di balik semua ini.Mas Andi, dengan ketenangannya, malah menunjukkan pada kita bahwa kadang keheningan lebih berbicara banyak daripada kemarahan.Aku menyandarkan p
Suasana ruangan itu terasa begitu padat. Ketegangan yang semula meletup, kini mulai mereda, namun ada bekasnya. Aku bisa merasakan udara di sekelilingku yang terasa berat. Andi, meskipun baru saja dijatuhkan dan dihina dengan begitu kejam, tetap berdiri tegak.Ada ketenangan dalam dirinya yang benar-benar memukau. Aku selalu tahu dia tidak mudah terpengaruh oleh orang lain, tapi aku tak pernah menyangka dia bisa tetap sabar dan tenang dalam kondisi yang begitu memanas.Mas Andi menatap Gunawan sejenak, matanya tajam, tetapi tidak menunjukkan rasa marah sedikit pun. Dia mengangkat wajahnya yang sempat tertunduk karena luka kecil akibat terjatuh dan dengan senyum tipis, dia berkata, “Saya mungkin jatuh, tapi itu tidak membuat saya kalah. Kalau ada yang mau berdiskusi lebih jauh, saya di sini.”Aku terdiam sesaat, terkesima oleh cara Mas Andi menghadapinya. Dia begitu santai, bahkan bisa tersenyum dalam situasi yang hampir tidak bisa dipercaya ini. Setiap kata yang keluar dari mulutnya t
“Tidak masuk akal,” gumam Naysila yang menatapku tajam.Aku merasakan ketegangan yang semakin membara di ruangan itu. Suara detak jantungku terdengar begitu keras, hampir bersaing dengan suara langkah kaki Gunawan yang kini berdiri dengan ekspresi yang tidak bisa kuartikan. Semua mata tertuju padanya, dan aku bisa merasakan hawa panas yang mulai menyelimuti ruangan. Aku tahu dia pasti marah, marah yang meledak-ledak dan tak terkendali.Gunawan berdiri dengan wajah yang memerah, seolah amarahnya memuncak. "Kek," katanya dengan suara yang hampir bergetar karena kekesalan. "Apa ini tidak terlalu berlebihan? Andi bahkan belum lama menjadi bagian dari keluarga besar ini. Saya yang sudah lama mengabdi dan bekerja keras, kok bisa begitu saja disingkirkan? Ini tidak adil!"Aku menatap Gunawan dengan cemas. Suaranya menggelegar, mengisi ruang makan yang sebelumnya tenang. Aku bisa merasakan gemuruh amarahnya yang hampir tidak bisa dibendung.“Ini bukan keputusanku, akupun tidak tau kalau Andi
Kata-kata itu menggantung di udara seperti petir yang menggelegar. Aku bisa merasakan dadaku berdetak lebih cepat, hatiku penuh dengan pertanyaan. “Komisaris Bramasta Group?” pikirku, masih mencoba mencerna apa yang baru saja Kakek katakan.Bramasta Group adalah nama besar yang tak bisa dipandang sebelah mata. Itu adalah sebuah kerajaan bisnis yang menguasai banyak sektor, dari properti hingga teknologi, dan memiliki jaringan yang sangat kuat. Jadi, bagaimana bisa Andi, yang selama ini dianggap hanya sebagai “kurir,” menjadi perwakilan resmi yang dipercayakan untuk membawa pesan dari mereka?Aku menatap mas Andi dengan rasa bangga yang semakin dalam, meskipun aku tahu bahwa ini adalah awal dari sebuah babak baru yang penuh tantangan dan ketidakpastian. Namun, aku juga bisa merasakan adanya sebuah kegelisahan dalam hatiku. Bagaimana jika Kakek mengharapkan terlalu banyak dari mas Andi? Apa yang sebenarnya akan terjadi selanjutnya?Ibu Ana yang duduk di sebelahku, terlihat semakin pucat
“Apa itu saya, Kek? Tentu saya siap untuk mewakili The Next King Bramasta,” kata Gunawan dengan nada yang lebih tinggi, seolah-olah sudah menganggap dirinya sebagai pilihan utama. Matanya sedikit menyipit, berharap agar Kakek menanggapi dengan cara yang sama seperti yang dia harapkan.Namun, Kakek hanya mengangguk pelan, memberikan jeda yang semakin menambah ketegangan di ruangan itu. Semua orang, termasuk aku, menunggu dengan cemas. Apa yang akan Kakek katakan selanjutnya?Aku setelah mendengar ucapan Gunawan juga sempat berpikir hal yang sama, kalian tau dia posisinya juga lumayan tinggi di mal Srikandi untuk keluarga Wicaksono di banding yang lainnya.Kakek kemudian mengalihkan pandangannya ke arah mas Andi dan sebuah senyum tipis muncul di bibirnya. “Tentu, saya rasa Andi yang akan menjadi perwakilan beliau. Dia yang akan menyampaiakan pesan dari The Next King Bramasta,” ujar Kakek dengan tegas.Suasana di ruangan itu seketika menjadi hening. Gunawan, yang tadinya merasa yakin bah
Suasana yang tadinya sedikit tegang dan penuh sindiran berubah seketika. Saat pintu ruang makan terbuka dengan suara berderit, semua mata langsung tertuju pada sosok yang masuk. Kakek Wicaksono, yang selalu memiliki daya tarik tak terelakkan, berdiri dengan tegap di ambang pintu. Semua tamu yang semula tenggelam dalam percakapan mereka langsung berdiri, memberikan penghormatan dengan sikap yang penuh respek, seolah-olah dunia di sekitar kami tiba-tiba berhenti sejenak.Kakek Wicaksono adalah pusat gravitasi di keluarga ini dan kehadirannya selalu membuat ruang penuh dengan wibawa, tanpa perlu berkata banyak. Senyum ramah namun penuh kekuatan itu, yang selalu aku lihat sejak kecil, masih sama, namun kali ini ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang menyiratkan bahwa dia membawa kabar penting.“Apa kabar, semuanya?” Kakek menyapa dengan suara tegas namun penuh kehangatan. Matanya yang tajam memindai satu per satu wajah yang hadir, memberi kesan bahwa dia mampu menilai apa pun hanya dengan