"Jadi ke kamar mandi, enggak? Apa perlu Mas Andi temani? Siapa tau perlu bantuan ... buka resleting bajumu." Dia menggodaku lagi.
Aku merasa, Mas Andi sangat senang menggodaku. “Nggak usah, Mas. Aku bisa sendiri,” jawabku yang gugup. Mas Andi hanya tersenyum, lalu membiarkan aku pergi untuk berganti pakaian dan membersihkan diri. Suara air di kamar mandi saat ini, membuatku sedikit tenang. Hingga keluar dengan perasaan canggung, melihat matanya lekat menatapku dalam. Bahkan Mas Andi melihat diriku dari atas sampai kaki. Pasti pikiran kotor melintas di benaknya. Apa dia pikir aku mau langsung melakukan malam pertama? Padahal sampai saat ini, aku masih gemetar dan takut padanya. Aku masih belum siap melakukan semuanya. “Ayo sini! Aku mau kenal kamu lebih dekat,” pintanya sambil menepuk tempat tidur, di sebelahnya bersandar saat ini. “Aku duduk di sini saja,” balasku yang duduk di kursi meja rias. “Kamu mau kakek Wicaksono tau, kalau kita masih asing? Bukankah pernikahan ini kamu yang menyetujuinya?” tanya Mas Andi. Kata-kata Mas Andi tidak salah. Memang aku yang langsung menerimanya. Karena aku tidak mau menikah dengan Duda yang memiliki kepribadian buruk. “Kenapa diam aja?” tanyanya Mas Andi lagi. “Baiklah, tapi aku lelah. Boleh tidak kita istirahat sekarang?” tanyaku. Mas Andi terlihat diam seakan sedang berpikir sesuatu. Bodohnya aku! Pastilah dia ingin malam pertama denganku saat ini. Aku belum siap, itu yang ingin aku katakan. Tapi bibirku kelu, bahkan perasaan aneh di dekatnya semakin membuat serba salah. “Kita bisa melakukan malam ini, kan?” tanyanya. Aku diam lagi. Senyumku langsung merekah, ini bisa jadi alasan untuk menghindari mas Andi. “Boleh, tapi aku ke kamar mandi dulu,” ijinku. Tanpa menunggu jawabannya, aku langsung berlari ke kamar mandi. “Bagaimana? Bisa?” tanyanya yang melihatku keluar dari kamar mandi. Dengan santai penuh percaya diri, aku berbisik ke telinganya. “Maaf, Mas. Malam ini nggak bisa. Aku sedang datang bulan, kalau tidak percaya cek sendiri aja,” bisikku nakal. Aku pikir, Mas Andi akan percaya begitu saja. Namun tiba-tiba, dia memeriksanya sendiri. Spontan, aku pun menjerit saat kepala Mas Andi sudah berada tepat di antara dua pahaku. *** Pagi ini perasaanku malas beranjak dari tempat tidur, sampai tersadar sesuatu kotak-kotak yang hangat sedang kupeluk. “Argh!” teriakku yang memicu reaksi, si pemilik tubuh. “Ada apa?” tanyanya terkejut. Aku menutup wajah, menggaruk kepala yang tidak gatal. Bahkan mungkin mukaku merah saat ini. Tingkah aneh yang kulakukan, apakah sama dengan para wanita diluar sana yang baru menikah. “Maaf, mungkin aku belum terbiasa,” jawabku dengan suara lirih, bercampur malu. Aku pikir dia akan marah, tetapi dia malah menarik kepalaku serta memeluk tubuh ini lekat. Bahkan saat ini kepalaku mendarat di dada bidang milik mas Andi, suara detak jantungnya terdengar tidak normal. “Kamu bisa merasakan detaknya?” tanyanya yang membuatku mengangguk, dengan ekspresi lugu. “Bukan hanya kamu yang tidak terbiasa, aku juga sama. Sebab itu ritme jantungku juga tidak stabil. Mulai hari ini kita sama-sama belajar membiasakan diri, oke.” Perkataan jujur itu, membuatku mengangguk. Menarik napas panjang, ingin menjauh dari pelukannya saat ini. Hanya mimpi semu yang belum bisa aku utarakan, tapi sebenarnya membuatku nyaman. “Aku atau kamu yang duluan mandi?” tanyanya lagi. Aku tak bersuara hanya menunjuk ke arah wajah mas Andi. Pria tampan yang menjadi suamiku itu, akhirnya melangkah ke kamar mandi. Aku pikir dia akan lama, mendengar gemericik air kamar mandi saja membuat pikiranku melayang ke mana-mana. Sampai wajahnya yang tampan, dengan postur tubuhnya yang indah sudah masuk dalam hayalanku. Air yang masih terlihat menetes di tubuhnya, yang dibalut handuk bagian pinggang ke bawah juga membuat wajahku melonggo. “Sudah puas melihatnya?” Suara itu membuat rusak pikiran yang sempat menghayal ke sana-kemari. Aku yang malu segera berlari ke kamar mandi, sampai terdengar suara teriakan mas Andi. “Aku akan menunggumu di meja makan, pasti kakek Wicaksono sudah menanti kita di sana!” Aku yang sedang mengosok gigi hanya menjawab iya dengan suara tidak jelas. Selesai membersihkan diri bersiap, dengan pakaian putih selutut, rambut terurai menurutku sudah cantik. Segera menyusul ke meja makan di mana kakek dan mas Andi menunggu. “Pagi, Inggit,” sapa kakek dengan senyumnya yang penuh kasih sayang. Aku memberikan kecupan di pipi kanan dan kirinya, melewati mas Andi hanya dengan melempar senyuman. Lalu menarik kursi untuk makan bersama, tiba-tiba kakek Wicaksono menegurku. “Kenapa hanya kakek yang mendapat sambutan sayang darimu, seharusnya Andi mendapatkan hal yang sama?” tanyanya dengan wajah mengejek, sepertinya dia menunjukkan ke Andi bahwa dia menang lebih selangkah dari Andi. “Kakek,” pekikku sedikit malu, pertanyaan itu bagaikan sindiran di pagi ini. “Emang Kakek enggak dengar suara aneh semalam?” Mas Andi yang melirikku dengan sedikit mengejek."Kalau kamu merasa dirugikan, Gunawan," Laras melanjutkan dengan senyum yang penuh arti, "lebih baik kita bicara seperti orang dewasa. Tidak perlu mengerahkan tangan untuk membuktikan siapa yang lebih kuat. Kalau mau berdebat, mari berdiskusi dengan tenang." Nadanya sepertinya sedikit mengejek, namun tetap penuh dengan kelas dan kecerdasan. Laras selalu punya cara untuk melontarkan sindiran tanpa kehilangan kewibawaannya.Gunawan menatap Laras dengan penuh kebencian, namun dia tidak melawan. Ada semacam kebingungan yang terpancar dari wajahnya dan aku tahu, dia sedang berjuang untuk mengendalikan dirinya.Tapi, apa yang bisa dilakukan seseorang yang tidak bisa menerima kenyataan bahwa dia bukanlah satu-satunya yang berkuasa? Aku bisa merasakan ketegangan semakin meningkat, tapi ada hal yang lebih besar yang sedang terjadi di balik semua ini.Mas Andi, dengan ketenangannya, malah menunjukkan pada kita bahwa kadang keheningan lebih berbicara banyak daripada kemarahan.Aku menyandarkan p
Suasana ruangan itu terasa begitu padat. Ketegangan yang semula meletup, kini mulai mereda, namun ada bekasnya. Aku bisa merasakan udara di sekelilingku yang terasa berat. Andi, meskipun baru saja dijatuhkan dan dihina dengan begitu kejam, tetap berdiri tegak.Ada ketenangan dalam dirinya yang benar-benar memukau. Aku selalu tahu dia tidak mudah terpengaruh oleh orang lain, tapi aku tak pernah menyangka dia bisa tetap sabar dan tenang dalam kondisi yang begitu memanas.Mas Andi menatap Gunawan sejenak, matanya tajam, tetapi tidak menunjukkan rasa marah sedikit pun. Dia mengangkat wajahnya yang sempat tertunduk karena luka kecil akibat terjatuh dan dengan senyum tipis, dia berkata, “Saya mungkin jatuh, tapi itu tidak membuat saya kalah. Kalau ada yang mau berdiskusi lebih jauh, saya di sini.”Aku terdiam sesaat, terkesima oleh cara Mas Andi menghadapinya. Dia begitu santai, bahkan bisa tersenyum dalam situasi yang hampir tidak bisa dipercaya ini. Setiap kata yang keluar dari mulutnya t
“Tidak masuk akal,” gumam Naysila yang menatapku tajam.Aku merasakan ketegangan yang semakin membara di ruangan itu. Suara detak jantungku terdengar begitu keras, hampir bersaing dengan suara langkah kaki Gunawan yang kini berdiri dengan ekspresi yang tidak bisa kuartikan. Semua mata tertuju padanya, dan aku bisa merasakan hawa panas yang mulai menyelimuti ruangan. Aku tahu dia pasti marah, marah yang meledak-ledak dan tak terkendali.Gunawan berdiri dengan wajah yang memerah, seolah amarahnya memuncak. "Kek," katanya dengan suara yang hampir bergetar karena kekesalan. "Apa ini tidak terlalu berlebihan? Andi bahkan belum lama menjadi bagian dari keluarga besar ini. Saya yang sudah lama mengabdi dan bekerja keras, kok bisa begitu saja disingkirkan? Ini tidak adil!"Aku menatap Gunawan dengan cemas. Suaranya menggelegar, mengisi ruang makan yang sebelumnya tenang. Aku bisa merasakan gemuruh amarahnya yang hampir tidak bisa dibendung.“Ini bukan keputusanku, akupun tidak tau kalau Andi
Kata-kata itu menggantung di udara seperti petir yang menggelegar. Aku bisa merasakan dadaku berdetak lebih cepat, hatiku penuh dengan pertanyaan. “Komisaris Bramasta Group?” pikirku, masih mencoba mencerna apa yang baru saja Kakek katakan.Bramasta Group adalah nama besar yang tak bisa dipandang sebelah mata. Itu adalah sebuah kerajaan bisnis yang menguasai banyak sektor, dari properti hingga teknologi, dan memiliki jaringan yang sangat kuat. Jadi, bagaimana bisa Andi, yang selama ini dianggap hanya sebagai “kurir,” menjadi perwakilan resmi yang dipercayakan untuk membawa pesan dari mereka?Aku menatap mas Andi dengan rasa bangga yang semakin dalam, meskipun aku tahu bahwa ini adalah awal dari sebuah babak baru yang penuh tantangan dan ketidakpastian. Namun, aku juga bisa merasakan adanya sebuah kegelisahan dalam hatiku. Bagaimana jika Kakek mengharapkan terlalu banyak dari mas Andi? Apa yang sebenarnya akan terjadi selanjutnya?Ibu Ana yang duduk di sebelahku, terlihat semakin pucat
“Apa itu saya, Kek? Tentu saya siap untuk mewakili The Next King Bramasta,” kata Gunawan dengan nada yang lebih tinggi, seolah-olah sudah menganggap dirinya sebagai pilihan utama. Matanya sedikit menyipit, berharap agar Kakek menanggapi dengan cara yang sama seperti yang dia harapkan.Namun, Kakek hanya mengangguk pelan, memberikan jeda yang semakin menambah ketegangan di ruangan itu. Semua orang, termasuk aku, menunggu dengan cemas. Apa yang akan Kakek katakan selanjutnya?Aku setelah mendengar ucapan Gunawan juga sempat berpikir hal yang sama, kalian tau dia posisinya juga lumayan tinggi di mal Srikandi untuk keluarga Wicaksono di banding yang lainnya.Kakek kemudian mengalihkan pandangannya ke arah mas Andi dan sebuah senyum tipis muncul di bibirnya. “Tentu, saya rasa Andi yang akan menjadi perwakilan beliau. Dia yang akan menyampaiakan pesan dari The Next King Bramasta,” ujar Kakek dengan tegas.Suasana di ruangan itu seketika menjadi hening. Gunawan, yang tadinya merasa yakin bah
Suasana yang tadinya sedikit tegang dan penuh sindiran berubah seketika. Saat pintu ruang makan terbuka dengan suara berderit, semua mata langsung tertuju pada sosok yang masuk. Kakek Wicaksono, yang selalu memiliki daya tarik tak terelakkan, berdiri dengan tegap di ambang pintu. Semua tamu yang semula tenggelam dalam percakapan mereka langsung berdiri, memberikan penghormatan dengan sikap yang penuh respek, seolah-olah dunia di sekitar kami tiba-tiba berhenti sejenak.Kakek Wicaksono adalah pusat gravitasi di keluarga ini dan kehadirannya selalu membuat ruang penuh dengan wibawa, tanpa perlu berkata banyak. Senyum ramah namun penuh kekuatan itu, yang selalu aku lihat sejak kecil, masih sama, namun kali ini ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang menyiratkan bahwa dia membawa kabar penting.“Apa kabar, semuanya?” Kakek menyapa dengan suara tegas namun penuh kehangatan. Matanya yang tajam memindai satu per satu wajah yang hadir, memberi kesan bahwa dia mampu menilai apa pun hanya dengan