Home / Urban / Suami Miskinku Ternyata Konglomerat / Bab 5. Terpojok , karena mas Andi

Share

Bab 5. Terpojok , karena mas Andi

Author: Nocil Bawel
last update Last Updated: 2024-09-10 18:29:52

Aku mendelik. Pria itu sengaja membuatku malu di depan kakek. Sebenarnya apa yang dia inginkan dari berkata seperti itu, semalam tidak terjadi apa-apa. Hanya kejadian memalukan yang membuatku berteriak.

“Kamu mau, Kakek mencari daun muda lagi? Kegiatan olahraga malam itu hanya para pengantin baru yang bisa melakukannya. Kakek saat ini fokus dengan keberlangsungan kasta Wicaksono. Jadi, cepatlah kasih Kakek cicit,” pintanya.

“Kakek!” ucapku sedikit meninggi dengan wajah merah muda, saat ini perasaanku malu sekali.

Kejadian semalam itu di luar dugaan. Aku kira, dia akan memaksa malam pertama denganku. Ternyata, dia memastikan bahwa aku benar-benar datang bulan. Hanya saja, hal itu membuatku sangat malu.

“Tenang saja kakek, ini pasti tokcer. Apalagi semalam aku sudah melihatnya,” ucapnya sambil melirikku penuh ejekan. Suamiku ini ternyata suka menggoda dan membuatku sedikit malu di depan umum.

“Tapi, apa cucu kakek siap hidup dengan pria tanpa pekerjaan jelas seperti aku? Pekerjaan aku hanya kuli serabutan di mal Srikandi.”

Aku baru sadar, hal itu belum sempat kutanyakan. Tubuhku lemas seketika, tidak sanggup menghadapi keluargaku.

‘Sudah pasti Ibuku akan murka. Kemarin saja saat di pernikahan hampir gagal dan berantakan.’ Dengan lesu aku menikmati makanan, bahkan rasanya tidak bisa tertelan setelah mendengar ucapan mas Andi.

Aku harus mempersiapkan berbagai cara, untuk menjaga pernikahan kami. Aku takut kalau ibu akan memintaku bercerai darinya.

“Huff!” Tanpa sadar aku mendengkus.

Mata mereka berdua serempak menatapku penuh tanda tanya, apakah aku menyesal menikah dengannya? Itu pasti pertanyaan yang ada di benak Kakek dan Mas Andi.

Mendapat tatapan dua pria yang bersekutu, aku merasa seperti berada di kandang lawan. Aku hanya bisa tersenyum.

“Kalian jangan menatap seperti itu! Aku merasa seperti berada di ruang penyidik,” jawabku ketus, menutupi rasa bersalah.

“Kenapa Inggit mendengkus? Inggit menyesal, dengan pilihan kakek?” tanya kakek Wicaksono.

‘Sumpah demi apapun, saat ini aku bingung. Mau jujur, tapi takut mereka akan tersinggung. Kalau nggak jujur, aku pasti akan mengalami masalah dari mereka berdua,’ batinku.

Aku mengatur napas, lalu mulai menjawab. “Saat Kakek dan Mas Andi lagi ngobrol tadi, aku hanya fokus sama pikiranku sendiri. Kakek tau, kan? Ibu nggak menyukai Andi sejak dulu. Terlebih lagi, pekerjaan dia yang serabutan." Aku berkata jujur sambil menatap Andi dengan bibir sedikit manyun.

“Kakek tau. Ana pasti menolak dan nggak mengakui Andi sebagai menantu. Tapi, Kakek mau tanya ....” Perasaan lega ini tiba-tiba membuatku lebih rileks. Kakek jauh lebih pengertian.

“Apa kamu bisa menerima Andi apa adanya?” tanya kakek, spontan aku mengangguk yang setelahnya diikuti suara Andi.

“Aku akan berusaha sampai kedua orang tua Inggit bisa menerimaku. Karena tanpa pertolongan Kakek, mungkin malam itu aku udah mati." Andi mejelaskan tentang masa lalunya.

Aku pikir, dia akan marah. Ternyata dia masih tetap tenang menyikapi semua yang aku resahkan. Mungkin aku saja yang terlalu banyak berpikir. Aku harap, Mas Andi bisa meluluhkan hati kedua orang tuaku.

"Jadi, apa rencana kalian selanjutnya? Apa kalian mau tinggal di mansion ini atau mungkin menyewa rumah?” tanya Kakek.

Kakek Wicaksono tidak seperti pria pada umumnya yang ingin cucu atau keturunannya tetap hidup sesuai keinginan dia.

Kakek memberikan kami pilihan untuk menentukan hidup kami sendiri. Selain itu, Kakek juga memberikan kebebasan dan kesempatan kami untuk mengembangkan usaha masing-masing.

Aku menatap Mas Andi, berharap dia menjawab dengan benar. Karena sampai sekarang, kami belum berbicara sejauh itu.

“Kami akan sewa rumah, Kek,” jawab Mas Andi membuatku kesal.

“Sebentar Kek! Aku mau ngomong sama Mas Andi,” pintaku memohon izin.

Ingin protes, tapi aku tidak bisa membantah Mas Andi di depan Kakek. Aku menarik Mas Andi ke sudut ruangan saat itu juga.

Mata kakek memberi isyarat. Dia tetap duduk dengan tenang. Sekarang, hanya ada aku dan Mas Andi di sudut ruangan.

“Kamu serius? Kita baru kenal dan pekerjaanmu aja enggak jelas. Kamu belum menghitung biaya sewa di Serayan, semuanya mahal-mahal, kan?” tanyaku dengan alis sedikit naik dari normal.

Dia hanya tersenyum mendengar semua ucapanku. Dia memegang pundakku dengan santai.

“Tenang aja! Masih ada rumah murah. Tapi lokasinya di pinggiran dekat mal Srikandi. Di sana tetangganya dari kaum rendah, seperti pemulung, dan tukang parkir."

Kedua mataku membelalak. Tapi, aku terus mendengarkan penjelasannya.

"Kira-kira, kamu mau nggak tinggal di tempat kumuh seperti itu?” tanya Mas Andi.

Sedetik pun, aku tidak pernah membayangkan akan tinggal di tempat seperti itu. Tempat kumuh yang rawan kejahatan dan sebagainya. Aku pasti harus beradaptasi cukup lama. Aku tidak sanggup.

“Nggak. Aku nggak mau,” tolak ku, membuat Mas Andi sedikit kecewa.

Aku meninggalkan dia kembali duduk dengan diam. Suasana menjadi sunyi sampai akhirnya, aku membuat kepustakaan.

“Oke, aku ikut Mas Andi,” jawabku yang dibalas senyuman Kakek. Tiba-tiba, Mas Andi memelukku dari belakang.

Dari kejauhan, aku melihat mata kakek tersenyum ke arah kami. Aku merasa sudah membuat keputusan baik.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Tanzanite Haflmoon
jujur kok di ajak tinggal di rumah kumuh . kenapa gak sama kakek Wicaksono aja
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Suami Miskinku Ternyata Konglomerat   Bab 66. Identitas Hampir Terungkap

    "Kalau kamu merasa dirugikan, Gunawan," Laras melanjutkan dengan senyum yang penuh arti, "lebih baik kita bicara seperti orang dewasa. Tidak perlu mengerahkan tangan untuk membuktikan siapa yang lebih kuat. Kalau mau berdebat, mari berdiskusi dengan tenang." Nadanya sepertinya sedikit mengejek, namun tetap penuh dengan kelas dan kecerdasan. Laras selalu punya cara untuk melontarkan sindiran tanpa kehilangan kewibawaannya.Gunawan menatap Laras dengan penuh kebencian, namun dia tidak melawan. Ada semacam kebingungan yang terpancar dari wajahnya dan aku tahu, dia sedang berjuang untuk mengendalikan dirinya.Tapi, apa yang bisa dilakukan seseorang yang tidak bisa menerima kenyataan bahwa dia bukanlah satu-satunya yang berkuasa? Aku bisa merasakan ketegangan semakin meningkat, tapi ada hal yang lebih besar yang sedang terjadi di balik semua ini.Mas Andi, dengan ketenangannya, malah menunjukkan pada kita bahwa kadang keheningan lebih berbicara banyak daripada kemarahan.Aku menyandarkan p

  • Suami Miskinku Ternyata Konglomerat   Bab 65.Kesabaran yang Membayar  

    Suasana ruangan itu terasa begitu padat. Ketegangan yang semula meletup, kini mulai mereda, namun ada bekasnya. Aku bisa merasakan udara di sekelilingku yang terasa berat. Andi, meskipun baru saja dijatuhkan dan dihina dengan begitu kejam, tetap berdiri tegak.Ada ketenangan dalam dirinya yang benar-benar memukau. Aku selalu tahu dia tidak mudah terpengaruh oleh orang lain, tapi aku tak pernah menyangka dia bisa tetap sabar dan tenang dalam kondisi yang begitu memanas.Mas Andi menatap Gunawan sejenak, matanya tajam, tetapi tidak menunjukkan rasa marah sedikit pun. Dia mengangkat wajahnya yang sempat tertunduk karena luka kecil akibat terjatuh dan dengan senyum tipis, dia berkata, “Saya mungkin jatuh, tapi itu tidak membuat saya kalah. Kalau ada yang mau berdiskusi lebih jauh, saya di sini.”Aku terdiam sesaat, terkesima oleh cara Mas Andi menghadapinya. Dia begitu santai, bahkan bisa tersenyum dalam situasi yang hampir tidak bisa dipercaya ini. Setiap kata yang keluar dari mulutnya t

  • Suami Miskinku Ternyata Konglomerat   Bab 64. Reaksi Gunawan  

    “Tidak masuk akal,” gumam Naysila yang menatapku tajam.Aku merasakan ketegangan yang semakin membara di ruangan itu. Suara detak jantungku terdengar begitu keras, hampir bersaing dengan suara langkah kaki Gunawan yang kini berdiri dengan ekspresi yang tidak bisa kuartikan. Semua mata tertuju padanya, dan aku bisa merasakan hawa panas yang mulai menyelimuti ruangan. Aku tahu dia pasti marah, marah yang meledak-ledak dan tak terkendali.Gunawan berdiri dengan wajah yang memerah, seolah amarahnya memuncak. "Kek," katanya dengan suara yang hampir bergetar karena kekesalan. "Apa ini tidak terlalu berlebihan? Andi bahkan belum lama menjadi bagian dari keluarga besar ini. Saya yang sudah lama mengabdi dan bekerja keras, kok bisa begitu saja disingkirkan? Ini tidak adil!"Aku menatap Gunawan dengan cemas. Suaranya menggelegar, mengisi ruang makan yang sebelumnya tenang. Aku bisa merasakan gemuruh amarahnya yang hampir tidak bisa dibendung.“Ini bukan keputusanku, akupun tidak tau kalau Andi

  • Suami Miskinku Ternyata Konglomerat   Bab 63. Perwakilan Resmi yang di Percaya.  

    Kata-kata itu menggantung di udara seperti petir yang menggelegar. Aku bisa merasakan dadaku berdetak lebih cepat, hatiku penuh dengan pertanyaan. “Komisaris Bramasta Group?” pikirku, masih mencoba mencerna apa yang baru saja Kakek katakan.Bramasta Group adalah nama besar yang tak bisa dipandang sebelah mata. Itu adalah sebuah kerajaan bisnis yang menguasai banyak sektor, dari properti hingga teknologi, dan memiliki jaringan yang sangat kuat. Jadi, bagaimana bisa Andi, yang selama ini dianggap hanya sebagai “kurir,” menjadi perwakilan resmi yang dipercayakan untuk membawa pesan dari mereka?Aku menatap mas Andi dengan rasa bangga yang semakin dalam, meskipun aku tahu bahwa ini adalah awal dari sebuah babak baru yang penuh tantangan dan ketidakpastian. Namun, aku juga bisa merasakan adanya sebuah kegelisahan dalam hatiku. Bagaimana jika Kakek mengharapkan terlalu banyak dari mas Andi? Apa yang sebenarnya akan terjadi selanjutnya?Ibu Ana yang duduk di sebelahku, terlihat semakin pucat

  • Suami Miskinku Ternyata Konglomerat   Bab 62. Pengumuman Mengejutkan

    “Apa itu saya, Kek? Tentu saya siap untuk mewakili The Next King Bramasta,” kata Gunawan dengan nada yang lebih tinggi, seolah-olah sudah menganggap dirinya sebagai pilihan utama. Matanya sedikit menyipit, berharap agar Kakek menanggapi dengan cara yang sama seperti yang dia harapkan.Namun, Kakek hanya mengangguk pelan, memberikan jeda yang semakin menambah ketegangan di ruangan itu. Semua orang, termasuk aku, menunggu dengan cemas. Apa yang akan Kakek katakan selanjutnya?Aku setelah mendengar ucapan Gunawan juga sempat berpikir hal yang sama, kalian tau dia posisinya juga lumayan tinggi di mal Srikandi untuk keluarga Wicaksono di banding yang lainnya.Kakek kemudian mengalihkan pandangannya ke arah mas Andi dan sebuah senyum tipis muncul di bibirnya. “Tentu, saya rasa Andi yang akan menjadi perwakilan beliau. Dia yang akan menyampaiakan pesan dari The Next King Bramasta,” ujar Kakek dengan tegas.Suasana di ruangan itu seketika menjadi hening. Gunawan, yang tadinya merasa yakin bah

  • Suami Miskinku Ternyata Konglomerat    Bab 61. Kedatangan Kakek Wicaksono  

    Suasana yang tadinya sedikit tegang dan penuh sindiran berubah seketika. Saat pintu ruang makan terbuka dengan suara berderit, semua mata langsung tertuju pada sosok yang masuk. Kakek Wicaksono, yang selalu memiliki daya tarik tak terelakkan, berdiri dengan tegap di ambang pintu. Semua tamu yang semula tenggelam dalam percakapan mereka langsung berdiri, memberikan penghormatan dengan sikap yang penuh respek, seolah-olah dunia di sekitar kami tiba-tiba berhenti sejenak.Kakek Wicaksono adalah pusat gravitasi di keluarga ini dan kehadirannya selalu membuat ruang penuh dengan wibawa, tanpa perlu berkata banyak. Senyum ramah namun penuh kekuatan itu, yang selalu aku lihat sejak kecil, masih sama, namun kali ini ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang menyiratkan bahwa dia membawa kabar penting.“Apa kabar, semuanya?” Kakek menyapa dengan suara tegas namun penuh kehangatan. Matanya yang tajam memindai satu per satu wajah yang hadir, memberi kesan bahwa dia mampu menilai apa pun hanya dengan

  • Suami Miskinku Ternyata Konglomerat   Bab 60. Gunawan Membeku

    “Apa aku terlalu keras tadi?” bisik Laras, sembari menyesap air mineral dari gelasnya.Aku menggeleng kecil. “Tidak, kamu melakukan hal yang benar. Mereka butuh mendengar itu, terutama Gunawan.”Walau sebenarnya aku tahu, pasti mereka akan melakukan segala cara untuk membuat mas Andi dan aku malu nantinya. Hanya sampai saat ini kakek Wicaksono masih belum terlihat.Laras tersenyum tipis, seolah lega. “Kadang, aku hanya ingin memastikan bahwa aku tidak melewati batas.”“Kalau pun iya,” balasku sambil menatapnya, “itu batas yang memang sudah seharusnya dilanggar.”Laras tertawa kecil, melonggarkan suasana yang sempat tegang beberapa saat sebelumnya. Namun, sebelum percakapan kami berlanjut, aku menangkap tatapan samar seseorang yang duduk tidak jauh dari kami.Dia terlihat sibuk berbicara dengan orang di sebelahnya, tapi aku tahu dia mendengar. Cara dia melirik sesekali, dengan sudut senyumnya yang tipis, sudah cukup memberi tanda bahwa dia tahu ada sesuatu yang terjadi di meja ini.“Si

  • Suami Miskinku Ternyata Konglomerat    Bab 59. Arena Sindiran  

    Makan malam itu seperti dirancang untuk menjadi panggung drama penuh jebakan. Setiap kata yang keluar dari mulut Gunawan terasa seperti pisau, tepat mengincar titik paling rentanku. Sejujurnya, aku merasa seperti sedang ditonton dalam acara yang sengaja dibuat untuk membuatku tak nyaman.Gunawan, dengan senyum sinisnya yang seperti trademark, memulai. "Andi, sekarang kerja apa? Masih buruh serabutan?"Aku menahan napas. Rasanya semua orang di meja ini sedang menatap kami, menunggu reaksiku. Tapi Andi, seperti biasa, tetap tenang. Bahkan dia tersenyum, senyum tipis yang jelas-jelas adalah bentuk kontrol diri."Sekarang jadi kurir, Mas," jawabnya santai. "Lumayan, kerja sambil olahraga."Aku bisa merasakan suasana di meja berubah. Udara jadi lebih kaku. Aku tahu Gunawan belum selesai.Gunawan tertawa keras, seperti sengaja menarik perhatian semua orang. "Kurir? Wah, cocok banget sama kamu! Pantesan si Inggit kelihatan makin kurus, ya. Pengaruh dari suami kayaknya."Kalimat itu menghanta

  • Suami Miskinku Ternyata Konglomerat    Bab 58. Munculnya Laras  

    Di tengah acara yang semakin terasa menegangkan, aku merasa seolah-olah terjebak dalam sebuah drama yang tak berujung. Setiap kata yang terucap di antara kami seakan berisi lapisan-lapisan ketegangan, semua berkutat pada bisnis keluarga dan tradisi yang berat. Pandanganku menyapu ruangan, dan aku merasa semakin terperangkap dalam atmosfer yang penuh dengan ketidaknyamanan.”Aku ngak nyaman, sesak di sini,”gumamku lirih mengeluh.Andi duduk di sampingku, senyumannya lelah, mencoba untuk mengerti situasi, meskipun jelas raut cemas mulai terlihat di wajahnya. Aku bisa merasakannya, betapa beratnya bagi dia untuk berada di sini, di tengah keluarga yang penuh dengan tatapan sinis dan kata-kata tajam yang seolah tak pernah berhenti mengarah padaku.”Sabar, ada kejutan nantinya,” ujarnya tetap berusaha terlihat nyaman.”Kamu sok nyaman mas, padahal kamu juga bosan,” protesku yang di balas senyuman dan tatapan tajamnya.Namun, tiba-tiba, di tengah obrolan yang semakin panas, seseorang muncul d

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status