Argi Rinega membopong tubuh wanita itu menuju ke salah satu ruang rawat. Seorang suster mengikuti langkahnya dari belakang.
Dia sengaja memilih satu ruangan VIP sebagai tempat istirahat Akira, selama dilakukannya tindakan pertolongan pertama. Dengan sangat hati-hati, tubuh rapuh itu ia letakkan di atas ranjang. “Tolong periksa wanita ini!” Ucapnya dengan wajah dingin tanpa ekspresi. Suster terlihat mengangguk, lalu mengeluarkan semua peralatan untuk memeriksa kondisi pasien. Sementara Argi hanya memandang setiap tindakan yang dilakukan suster itu pada Akira. Matanya terlihat fokus menatap wajah wanita yang terbaring tak sadarkan diri. Wajah yang begitu cantik meskipun dalam keadaan tertidur, tanpa riasan yang mencolok namun terlihat cantik natural. Tubuhnya terlihat kurus untuk ukuran seorang wanita yang tengah mengandung. Hingga tatapan Argi beralih pada perut Akira yang terlihat buncit. “Berapa usia kandungannya?” Suara bariton itu menggema di ruangan yang sepi. “Saya prediksi kehamilan nyonya sekitar 7 bulan, tuan.” Jawab sang suster yang kini tengah memasang jarum infus di pergelangan tangan Akira. Meskipun jarum menusuk tangannya, namun tubuh wanita itu masih terdiam. Seakan kesakitan fisik tak sebanding dengan kesakitan batinnya. “Bagaimana kondisinya?” Tanya Argi lagi, dengan tatapan yang tak beralih dari Akira. “Kita harus memantau dulu untuk kondisi nyonya Akira. Saya akan memberikan obat penguat kandungan. Sepertinya kandungannya agak sedikit bermasalah, tuan.” Ucap suster, memasang alat pendeteksi detak jantung di perut Akira yang sengaja dibuka. Suster itu sempat mengira jika yang berdiri di sisi ranjang, tak lain adalah suami dari pasien. “Detak jantung bayi di bawah normal, tuan. Ada kemungkinan jika bayi ini harus dikeluarkan sebelum waktunya.” Lanjut suster, dia melihat pada monitor kecil yang menghubungkan pada detak jantung bayi dalam kandungan Akira. “Lakukanlah apapun yang terbaik. Aku akan membayar rumah sakit ini dua kali lipat, jika kalian bisa menyelamatkan bayi itu juga ibunya.” Ucap Argi dengan penuh keyakinan. Suster memandang pada pria dingin itu, dia pun merasa sedikit penasaran karena pria itu tidak melakukan kontak fisik pada istrinya. Yang dia tahu seorang suami tentu akan memeluk dan selalu membelai istrinya dalam keadaan seperti ini. Namun beda halnya dengan pria dingin itu, yang hanya memandang dan sengaja menjaga jarak. “Baiklah tuan, nanti akan saya persiapkan operasi caesar untuk nyonya.” Suster segera merapikan peralatannya dan pamit undur diri dari ruangan. Argi masih terdiam di tempat, dengan satu tangan yang dimasukkan dalam saku celananya. Sementara tangan yang lain meraba sisi ranjang. Tanpa kesadaran penuh, tangan itu bergerak mengusap perut Akira dari balik kain selimut yang menutupi setengah dari tubuh Akira. Perasaan hangat mengaliri hati Argi, yang telah lama beku. Rasa cinta yang dari dulu tidak pernah menghilang pada sosok wanita di hadapannya. Bahkan setelah sekian lama tidak bertemu, kini semakin bersemi. Akira adalah cinta pertamanya dulu dari masa SMA. Dia telah memberikan seluruh hatinya hanya untuk mencintai Akira Magdalena. Namun mengingat kenyataan bahwa gadis itu lebih memilih mencintai sahabatnya sendiri, membuat Argi kembali menarik tangannya. Ada gurat kekecewaan yang tergambar pada pemilik wajah tegas itu. Selama ini dia sudah melewati hari-harinya yang berat, hanya untuk mengikhlaskan Akira. Mencoba mengubur rasa cintanya, namun perasaan itu terlalu kuat untuk dienyahkan. Argi memutar tubuhnya, dan melangkah meninggalkan Akira yang masih tak sadarkan diri. *** Operasi itu dilakukan pada siang hari, dan sampai saat ini Akira belum sadarkan diri. Hingga kondisi bayi dalam kandungannya semakin lemah. Denyut jantungnya menurun dengan cepat, bahkan kondisi Akira sama halnya dengan kondisi bayi dalam perutnya. Seakan keduanya tidak ingin berada di dunia, kalau harus menghadapi kenyataan hidup jika mereka nantinya akan hidup tanpa sosok suami dan ayah. Namun dokter yang menangani Akira terus berusaha untuk menyelamatkan nyawa keduanya. Argi sudah membayar dua kali lipat pada pihak rumah sakit, dan berjanji akan menambahkan bonus jika mereka berhasil menyelamatkan Akira dan bayinya. Operasi dilakukan selama lebih dari satu jam, hingga akhirnya seorang suster keluar untuk memberitahu pada keluarga pasien tentang kondisi di dalam. “Keluarga atas nama pasien nyonya Akira?” Ucap suster yang masih mengenakan seragam operasi berwarna hijau, juga penutup kepala dengan warna senada. “Ya, saya keluarganya.” Argi beranjak dari tempat duduknya menghampiri suster. “Bayi nyonya Akira sudah berhasil keluar dan kini masih dalam observasi. Mungkin membutuhkan waktu cukup lama, karena beratnya masih di bawah dua kilogram. Kini bayi anda sudah berada di inkubator, di ruangan khusus yang sudah anda pesan.” Jelas suster itu dengan ramah. “Lalu bagaimana keadaan ibunya?” Tanya Argi dengan wajah tanpa ekspresi. “Maaf, tuan. Kondisi nyonya Akira belum stabil. Selama masa operasi, nyonya begitu banyak kehilangan darah. Namun kami sudah melakukan penanganan, semoga keadaan istri tuan cepat membaik.” “Lakukanlah apapun untuk kebaikannya. Ingat, aku tidak ingin mendengar kabar apapun, kecuali kabar baik!” ucapan Argi terdengar seperti sebuah perintah yang tidak ingin dibantah. “Baik tuan. Akan kami usahakan.” Ucap suster sembari menunduk, entah mengapa dia merasa ngeri mendengar suara tajam dari pria dingin itu. “Kapan aku boleh melihatnya?” “Mohon ditunggu hingga pasien dipindahkan ke ruang rawat.” Jelas suster lalu pamit untuk kembali memasuki ruangan operasi. Argi kembali duduk di kursi yang tersedia di depan ruangan. Menunggu dengan rasa cemas, seperti seorang suami yang tengah menunggu istrinya pulih dari melahirkan. *** Kini Akira sudah dipindahkan di ruang rawat, masih dalam keadaan tak sadar. Sebuah monitor terpasang di sisi ranjang, dengan selang yang terhubung di tubuhnya yang lemah. Kedua matanya terpejam rapat, dan belum ada tanda-tanda untuk terbuka. Dadanya naik turun dengan nafas yang teratur. Sementara di samping tempat tidur, Argi masih duduk mengawasi Akira dengan tatapannya yang tajam. Meskipun tanpa ekspresi, dalam hatinya merasa sedikit cemas. Dan berharap wanita itu segera bangun. Hingga pada tengah malam, jari jemari Akira bergerak perlahan. Argi menangkap gerakan itu, hingga dia beranjak dari tempat duduknya. Berdiri sembari mengusap lembut puncak kepala Akira. “Akira? Kamu sudah sadar?” Tatapan tajamnya berubah menjadi tatapan lembut penuh perhatian. Di setengah kesadarannya, Akira mendengar suara itu. Suara yang tampak asing dalam pendengarannya. Dia berusaha untuk membuka matanya yang terasa begitu berat. Sebuah bayangan yang terlihat kabur dalam pandangan, namun Akira masih berusaha menyesuaikan pandangannya dengan cahaya ruangan. Hingga sosok seorang pria itu terlihat nyata di penglihatannya. “Argi?” ***Dokter wanita menghembuskan nafas pelan, lalu kembali memandang Akira. “Jangan khawatir nyonya Akira, bayi-bayi anda tumbuh dengan baik. Kabar yang akan kalian dengar justru adalah kabar baik.” Dokter menjeda ucapannya. Anggara yang sedari tadi memperhatikan ucapan dokter dengan serius, kini bisa bernafas lega. Dokter mengalihkan pandangan ke Anggara lalu berkata, “pak Anggara, istri anda tengah mengandung bayi kembar.” Ucapan dokter sontak membuat Anggara terkejut hingga matanya membulat sempurna. Namun hanya sesaat, raut wajahnya berganti dengan kebahagiaan. “Benarkah?” tanyanya seakan ingin memastikan perkataan dokter. Dokter wanita itu segera menunjuk ke arah monitor, memperlihatkan rahim Akira yang memiliki dua kantong janin yang terpisah. Masing-masing kantong terlihat calon buah hati mereka yang terlihat sangat kecil. Rasa kebahagian Akira kini semakin lengkap. Kehilangan putra tercinta setahun yang lalu, namun kini Tuhan menggantinya dengan dua anak sekaligus. Tak henti
“Seperti dugaan saya, nyonya Akira hamil. Dan usia kandungannya masih lima Minggu,” ucap dokter Arya. “Nanti jika ingin mengetahui detailnya, anda bisa mengunjungi rumah sakit. Kami bisa melakukan USG untuk memastikan.” Orang-orang yang berdiri mengelilingi Akira sangat terkejut, terlebih Anggara yang sudah berbulan-bulan menantikan kabar baik ini. “Secepatnya kami akan mengunjungi rumah sakit. Lalu apa ada obat untuk mengurangi mual? Hari ini istri saya sering merasakan mual,” tanya Anggara sembari menggenggam erat tangan Akira. “Saya akan resepkan obat mual dan vitamin. Nanti tolong pak Anggara menebusnya di apotik terdekat.” Dokter pun segera menulis resep dan memberikannya pada Anggara. “Terima kasih, dok.” Anggara hendak mengantarkan dokter itu, namun Baskoro menahannya. “Temanilah istrimu! Biar papa yang mengantar dokter Arya,” ucap Baskoro terdengar seperti sebuah perintah. Anggara pun mengangguk, kembali menghampiri istrinya dan duduk di sisi ranjang. “Kau dengar? Anak k
Karena tamu undangan sudah hadir, maka acara segera dimulai. Anggara dan Akira berdiri di samping putri kesayangannya.Ashley tampak cantik dengan balutan dress putih. Rambut hitam lebatnya terurai berhiaskan sebuah mahkota di atas kepala.Lagu selamat ulang tahun berkumandang, mengiringi orang-orang yang bernyanyi. Setelah lagu selesai, Ashley meniup lilin angka tiga itu dengan antusias.Kini giliran Ashley menyuapkan kue pertama pada kedua orang tuanya. Ashley mengambil sesendok kue, hendak memberikan suapan pertama pada ibunya.Akira menerima suapan itu, lalu mencium kening Ashley dengan penuh kasih. Namun saat hendak menelan kue, mendadak perutnya bergejolak. Diapun segera menutup mulutnya dengan telapak tangan.“Ada apa sayang?” tanya Anggara dengan raut wajah panik. Namun Akira hanya menepuk bahu Anggara dan segera menuruni panggung dengan langkah terburu-buru.Anggara kehilangan konsentrasi, namun tak mungkin jika dirinya pergi dari sana meninggalkan putrinya sendiri. Maka dari
Dalam sepekan, Anggara dan keluarganya menghabiskan waktu liburnya di Pulau Dewata, tentu waktu yang membahagiakan dan banyak kenangan yang terukir.Janji Anggara dua tahun lalu sudah digenapi. Sebelum dia berangkat ke Jepang, Anggara telah berjanji akan mengajak istrinya untuk berlibur ke Bali. Namun karena kasus kematian palsunya, membuat janji itu tertunda.Namun takdir kembali mempertemukan dirinya dengan Akira dan keluarga kecilnya.Waktu berjalan sangat cepat, kehidupan rumah tangga Akira dan Anggara hanya dipenuhi oleh kebahagian.Pagi itu keluarga Anggara tengah menyiapkan sebuah pesta untuk ulang tahun Ashley yang ketiga.Pekarangan rumah telah ditata oleh tim pendekor yang sengaja disewa Anggara. Dekorasi layaknya pesta kebun. Dengan sebuah panggung kecil di tengah taman. Serta beberapa pernak pernik anak perempuan, dari bunga dan balon warna-warni.Anggara sengaja meliburkan seluruh karyawannya agar bisa datang memeriahkan acara. Juga tetangganya yang memiliki anak kecil ju
Malam semakin larut, ketika mereka tiba di tempat penginapan. Jarak yang tak terlalu jauh, namun karena kondisi macet membuat perjalanan terasa lambat.Kini Anggara dan Akira berada di kamar mereka yang berada di bangunan terpisah dengan bangunan utama, dimana kedua orangtuanya beristirahat.“Mas Aang, mau mandi duluan?” tanya Akira yang merasa tubuhnya terasa lengket karena perjalanan panjang.“Mandilah terlebih dulu, nanti aku menyusul,” jawab Anggara, lalu membimbing istrinya untuk memasuki kamar mandi terlebih dulu.Akira memutuskan untuk merendam tubuhnya dalam bathup yang telah terisi dengan air hangat. Mungkin dengan ini, bisa membuat tubuhnya rileks dan rasa lelahnya hilang.Akira segera mengikat rambut panjangnya dan menanggalkan seluruh kain yang melekat di tubuhnya, lalu melangkah memasuki bathup.Dan benar, tubuhnya terasa rileks ketika terendam dalam air hangat yang dipenuhi busa itu.Hingga beberapa menit berlalu, Akira menyadari jika suaminya tak kunjung datang. Bukanka
Anggara sudah merencanakan liburan keluarga. Selama satu pekan menghabiskan liburan di Pulau Dewata. Menyerahkan segala tugas kantornya pada Taufan dan Bayu.Meskipun awalnya Anggara hendak melakukan bulan madu berdua, namun hatinya tidak tenang jika tidak mengajak Ashley.Baskoro dan Ruth turut serta dalam perjalanan kali ini.“Ang, papa dan mama tinggal di rumah saja. Bukankah ini liburan untuk kalian berdua? Maksud mama, kamu dan istrimu?” “Justru itu ma, aku akan tenang jika putriku juga ikut. Maka dari itu, Aang meminta mama dan papa juga ikut. Kita bisa menghabiskan akhir tahun di sana,” jelas Anggara.Hingga akhirnya Ruth dan Baskoro pun menuruti permintaan putranya, karena Anggara sudah terlanjur memesan tiket untuk semua keluarganya.“Baiklah, anggap saja mama jadi pengasuh Ash nanti dan kalian cepatlah memiliki momongan lagi. Mama tidak sabar ingin menggendong cucu lagi,” balas Ruth mengerlingkan mata ke arah menantunya. Membuat Akira tersipu dengan pipi merona merah."Ini
“Lakukan, mas! Aku menginginkannya!” ujar Akira dengan nafas terengah-engah, menahan gejolak gairah yang mulai muncul.Anggara kembali memagut bibir Akira, sembari memasukkan miliknya dalam tubuh sang istri. Gerakan perlahan, hingga miliknya terbenam seluruhnya dalam rahim Akira.Menikmati sensasi yang membuat keduanya sama-sama tenggelam dalam lautan kenikmatan.“Mphhhhhh…” Akira mendesah tertahan, karena mulutnya yang terbungkam. Membiarkan lidah Anggara menjelajahi rongga mulutnya.Hingga tak lama, Anggara mengurai tautan bibirnya sebelum Akira kehabisan nafas. Lidahnya kembali menjelajahi daun telinga Akira hingga leher putihnya. Sensasi yang membuat milik Akira semakin basah. Namun Anggara masih dalam posisi diam, membiarkan miliknya terbenam dan terasa diurut.Akira sudah tidak tahan lagi, dia menginginkan lebih.“Mas Aang, bergeraklah! Aku tak tahan lagi!” rintih Akira dengan tatapan memohon. Keinginannya sudah tak bisa ditahan lagi, karena nafsunya yang sudah membumbung tinggi
Seharian ini, Akira menghabiskan waktu untuk bermain bersama putrinya di dalam kamar. Niatnya hanya untuk membayar waktu yang telah terbuang selama beberapa hari ini mengabaikan Ashley.“Mami mungkin bukan ibu yang terbaik, tapi mami akan selalu menyayangi Ash. Maafkan mami jika beberapa hari ini membuat Ash kesepian,” ucap Akira lirih sembari mencium pipi gembul putrinya yang sudah tertidur.“Tidak, kamu adalah ibu yang terbaik untuk anak-anak kita!” suara Anggara terdengar dari belakangnya. Membuat Akira seketika menoleh.“Mas?”Anggara tersenyum hangat, lalu melangkah menuju sisi ranjang.“Akira, aku selalu berjanji akan menjadikanmu wanita yang paling bahagia. Berhentilah menyalahkan dirimu, dan yakinlah kita mampu melewati ini.”Anggara meraih tangan Akira lalu membawanya ke bibir. Sebuah ungkapan cinta yang selalu terdengar romantis di pendengaran Akira.Akira beranjak dari posisinya, duduk di samping Anggara.“Mas tidak perlu melakukan apapun, karena dicintai dengan cara sepert
Hari-hari berlalu terasa begitu menyesakkan bagi hati seorang ibu yang mengalami kehilangan buah hatinya.Semenjak putranya tiada, Akira selalu mengunjungi makam putranya. Bahkan bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk berada di pusara sang putra.Meskipun kehadiran suami dan putri kecilnya menjadi pelipur lara, namun rasa sakit belum sepenuhnya hilang dari hati Akira.“Ikhlaskan kepergian putra kita, sayang. Apa kamu tahu, putra kita kini sudah bahagia di surga. Bisa bertemu dengan nenek dan kakeknya,” hibur Anggara yang kini duduk bersimpuh di samping istrinya.Tak henti-hentinya Anggara mencari cara untuk menghibur hati Akira. Kepergian putra Akira juga menjadi pukulan terberat untuknya.Akira memaksakan senyumnya. Dia tahu Anggara begitu cemas melihat kondisinya.“Mas, aku sudah ikhlas jika memang ini jalan yang terbaik untuk Odelio.”Akira menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Kepergian putranya bukan berarti membuat hidupnya terpuruk. Ada Ashley yang masih ha