***"Enggak usah ditekuk gitu mukanya."Rafly yang baru saja mengambil air minum dingin dari dapur, lantas duduk di sofa yang berhadapan langsung dengan Felicya.Pulang kantor, dia disuguhi wajah masam yang dipampang Felicya karena ternyata setelah melakukan konsultasi dengan dokter Kiran, dia tak diizinkan pergi ke Paris.Dokter Kiran bilang, dengan kondisi kehamilannya yang sedikit rentan, terlalu beresiko bagi Felicya untuk melakukan perjalanan belasan jam.Padahal, pagi tadi sebelum ke kantor, Rafly sudah memesan dua tiket pesawat menuju Paris."Bete," celetuk Felicya. "Aku tuh udah bayangin nikmatin sunrise atau sunset di depan eiffel, Raf. Ini malah enggak jadi. Kan sebal.""Ya mau gimana lagi," ucap Rafly. "Daripada bayi kita kenapa-kenapa, kan?""Anak kamu nyusahin.""Bilang apa kamu?"Felicya menatap Rafly. "Enggak, maaf," ucapnya. "Aku keceplosan.""Dijaga ucapannya kalau lagi hamil," kata Rafly. "Jangan ngomong yang buruk-buruk.""Iya maaf, Rafly. Maaf."Rafly meneguk air d
***"Enak buburnya? Iya? Makan lagi ya, Sayang."Adara membuka matanya perlahan ketika suara tersebut berhasil ditangkap kedua indra pendengarannya. Menyipitkan mata, dia meraba kasur di depannya yang kosong tanpa Elara.Putrinya sudah bangun entah sejak kapan. Itulah yang ada di pikiran Adara sekarang.Sebelum bangun, Adara menguap lalu meregangkan tubuhnya yang terasa sangat pegal setelah tidur siangnya. Entah berapa jam dia terlelap, Adara tak tahu."Makan lagi, iya?"Lagi, suara Danendra kembali terdengar—membuat Adara akhirnya mengubah posisi menjadi duduk.Masih setengah sadar, dia melihat Danendra duduk bersilah di atas lantai sambil menyuapi Elara yang kini berada di dalam stroller."Ya ampun makannya lahap banget sih kamu, Nak? Papa suka deh lihatnya," puji Danendra ketika dia menyuapi lagi Elara tanpa harus menikmati banyak drama.Untuk golongan balita seusianya, Elara memang tipe yang tak sulit makan. Sekali pun sedang tumbuh gigi, balita gembul tersebut tetap lahap ketika
***"Sensasinya beda ya?"Danendra mengukir senyum sambil memandang lalu mengusap wajah Adara dengan tangan basahnya sesaat setelah semua yang terjadi diantara mereka."Beda gimana?" tanya Adara."Beda aja," kata Danendra."Enggak nyaman?""Sebaliknya," kata Danendra sambil terkekeh. "Entah karena faktor tempat atau kamu yang emang buat aku candu, rasanya mau lagi dan lagi.""Ck. Kamu itu bisa aja."Mandi bersama. Begitulah Adara dan Danendra menamai kegiatan mereka sore ini di dalam bathub. Namun, tentu saja nama hanyalah nama karena pada kenyataannya bukan sekadar mandi yang mereka lakukan.Ada kegiatan lain yang mereka lakukan di sana. Lebih menantang, lebih menggairahkan dan tentu saja lebih menyenangkan dari sekadar berendam bersama di dalam air berbusa dengan wangi yang menyeruak."Sayang banget aku sama kamu, Ra," kata Danendra. "Mau gila rasanya.""Jangan.""Jangan apa?""Jangan gilalah!" seru Adara. "Aku enggak mau punya suami gila.""Gila yang aku maksud beda konteks kali, R
***"Jangan dulu tidur, Dan. Ganti dulu bajunya."Danendra yang saat ini berbaring di kasur seketika menoleh lalu memandang Adara yang saat ini tengah mengeluarkan beberapa pakaian kotor dari dalam koper."Mager, Ra.""Kotor tau baju kamu tuh.""Iya sebentar lagi ya.""Dasar."Tak lagi berkomentar, Adara memilih untuk terus mengeluarkan baju kotor milikinya, Danendra, juga Elara yang akan langsung dia cuci malam ini sebelum besok pulang ke rumah.Menghabiskan waktu seminggu di Paris, malam ini—sekitar pukul tujuh malam, keluarga besar Adam sampai kembali di Jakarta dengan selamat.Tak langsung pulang ke rumah masing-masing, baik itu Danendra, Aksa, maupun Danish memutuskan untuk pulang ke rumah sang Papa lalu besok—setelah tak mengalami jetlag lagi, mereka akan pulang untuk kembali beraktivitas lagi besok harinya.Seminggu buang-buang uang, mereka harus kembali mencari pundi-pundi rupiah di perusahaan."Mandi dulu gih," kata Adara setelah semua cucian kotor terkumpul di keranjang cuci
***"Hati-hati di jalan, hati-hati juga nyetirnya. Jangan ngebut.""Iya, Danendra ganteng."Sambil membereskan kotak makan susun di atas meja, Adara mengukir senyum tipis ketika untuk kesekian kalinya pertanyaan tersebut diucapkan Danendra lewat telepon.Siang ini—sesuai rencananya pagi tadi, Adara akan pergi ke kantor Ginanjar untuk memberikan oleh-oleh Paris pada Papanya itu.Selain makanan, di dalam paper bag yang akan dia bawa terdapat baju juga aksesoris lain seperti gelas bahkan gantungan kunci.Baru pulang ke rumah kemarin pagi, Adara memang belum sempat menemui Ginanjar karena memutuskan untuk beristirahat seharian di rumah."Ke kantor aku buat ajak makan siang jadi, kan?""Jadi, ini makan siangnya lagi aku masukkin ke kotak makan," ucap Adara. "Masih sibuk enggak kamu?""Lumayan sih, tapi kalau nanti kamu datang ya aku berhenti kerja.""Bagus," ucap Adara. "Ya udah kalau gitu aku matiin duli teleponnya ya. Mau siap-siap dulu.""Hati-hati.""Udah berapa kali ya kamu ngomong ka
***"Kamu tuh ya, dibawa perjalanan setengah jam aja langsung teler."Adara mencondongkan badannya untuk menggendong Elara yang tahu-tahu sudah terlelap di carseat yang sejak tadi dia duduki.Mampir ke kantor Ginanjar untuk mengantar oleh-oleh, Adara melanjutkan perjalanannya bersama Elara menuju kantor Danendra dan tepat pukul dua belas siang, dia sampai.Elara tidur, Adara harus menggunakan kain jarik untuk menggendong putrinya. Beruntung, karena siap sedia, kain tersebut ada ketika dibutuhkan karena memang benda tersebut wajib dibawa ketika berpergian."Sayangnya Mama lelap banget," kata Adara sambil mengencangkan gendongan.Setelah dipastikan aman, dia membuka pintu bagian belakang untuk mengambil kotak makan lalu setelahnya Adara bergegas menuju ruangan Danendra di lantai atas."Siang, Bu Adara.""Siang."Berpapasan dengan beberapa karyawan kantor yang menyapanya, Adara memasang wajah sangat ramah sambil mengukir senyum.Meskipun berjalan sambil menggendong Elara, kesan anggun ta
***"Kamu kenapa, mukanya kok kelihatan sedih?"Adara yang sejak tadi duduk sambil menunduk seketima mendongak ketika Danendra baru saja masuk ke dalam kamar setelah sebelumnya memanaskan mobil yang akan dia pakai menuju kantor."Enggak apa-apa.""Enggak apa-apa, tapi mukanya ditekuk kaya gitu," ucap Danendra. Mendekat, dia duduk di samping Adara. "Kenapa?"Adara menoleh lalu menatap suaminya itu. Mengangkat tangan, dia menunjukkan benda yang sejak tadi ada dalam genggaman tangannya."Nih.""Testpack?" tanya Danendra. "Kamu habis pake testpack?""Iya," ucap Adara. "Tapi hasilnya negatif.""Terus kamu sedih?" tanya Danendra."Iyalah," ucap Adara. "Ini kan udah sebulan setengah pasca aku lepas kontrasepsi, Dan.""Hm.""Aku takut.""Takut apa?" tanya Danendra."Takut enggak bisa hamil lagi, Dan.""Hush! Kok ngomongnya gitu?" tanya Danendra."Ya sekarang buktinya aku belum hamil juga, kan?" tanya Adara. "Udah sebulan setengah lho ini. Aku cuman takut kecewain kamu aja. Mana Papa sama Mama
***"Minum dulu."Membawa secangkir teh manis di atas nampan, Adara duduk di kursi yang berada di depan rumah lalu menyimpan teh manis di atas meja."Thank you. Padahal enggak usah repot-repot."Adara tersenyum tipis mendengar pernyataan laki-laki yang saat ini duduk di sampingnya. Beberapa menit lalu dia memang kedatangan tamu. Bukan orang asing, tamunya pagi ini adalah pria dari masa lalu Adara yang sudah cukup lama tak dia temui.Rafly. Tentu saja tamu Adara pagi ini adalah Rafly si mantan kekasih. Tak mau terjadi kesalahpahaman atau sebagainya, Adara tak mengajak pria itu masuk ke dalam rumah.Rafly pun tak masalah ketika Adara berkata jika dia hanya bisa mengobrol dengannya di teras karena memang maksud kedatangan Rafly pagi ini bukan untuk macam-macam."Enggak repot, cuman teh manis," kata Adara."Tetap aja, teh manis kan juga dibikin. Enggak simsalabim jadi.""Ah iya."Untuk beberapa detik, suasana tiba-tiba saja canggung karena baik Rafly mau pun Adara sama-sama bingung bagai