"Balik ke perusahaan? Jadi Office girl?" tanya Qizha tercekat."Tapi itu kan hanya sementara. Anggap sebagai batu loncatan, setelah itu kamu bisa menduduki jabatan lain, kan?" sahut Vina.Qizha berpikir. Mungkinkah ini merupakan tawaran bagus?"Setelah kamu membantuku mendapatkan kontrakan ini, aku merasa ingin membantumu juga. Anggap ini adalah balas budiku," imbuh Vina."Bukankah aku udah mangkir cukup lama di sana? Memangnya aku bisa balik ke sana lagi?" tanya Qizha ragu."Itu mah gampang. Kamu mangkir belum genap dua bulan, kok. Aku yang atur absensi mu. Itu gampang. Semua pekerjaan di bawahku, akulah yang kendalikan. Jadi itu mudah banget bagiku.”“Tapi bukankah di perusahaan itu menggunakan absensi sidik jari? Aku nggak pakai itu.”“Qizha, itu adalah persoalan gampang. Kalau urusan ke atasan aja bisa aku handle, kenapa untuk urusan itu nggak bisa? Atasanku bisa diajak runding kok. Semua bisa diatur. Pokoknya yang penting kamu masuk kerja, urusan administrasi absensimu biar
“Yang sebelah sana itu. agak kuat dong ngelapnya! Ya ampun, ini malah membekas nih. Sebelah sana lagi!” Wanita berjilbab biru yang dipanggil dengan nama Weni itu terus saja memerintah.Qizha menurut saja. Jika begini kondisinya, Qizha berniat minta pindah tempat saja pada Vina. Setidaknya jangan membersihkan ruangan itu lagi. Penghuninya galak semua, tidak ada yang bernurani.“Nih, bersihin ya!” salah seorang membuang kulit apel ke lantai. Padahal lantai sudah dipel. “Aku malas jalan ke tong sampah. Mumpung ada kamu, bersihkan sekalian!” Qizha membersihkan kulit apel.“Qziha, nanti sore jam lima kamu temui aku di lobi ya!” titah Weni.“Maaf, Bu. Itu udah jam pulang kerja. Dan saya nggak di kantor lagi,” sahut Qizha.“Hei, kamu itu OB. Harus nurut. Aku mau suruh kamu rapikan file milikku. Kamu kerjanya mesti di luar jam kerjaku, sebab aku fokus kerja saat di jam kerja begini. paham?”“Baik,” jawab Qizha tak bisa mengelak lagi. Apa lagi ia menjadi pusat perhatian semu
Qasam menekan bel pintu rumah besar dengan corak warna putih. Tak lain rumah milik Ameena.Tangan di belakangnya menyembunyikan sebuket bunga.Pintu dibuka. Pembantu dengan seragam biru putih tersenyum menyapa. “Selamat malam, Tuan Qasam!” pembantu menganggukkan kepala.“Ameena ada?”“Ada di kamar. Perlu saya panggil?”“Biar aku temui saja.” Qasam melangkah masuk dan langsung naik ke lantai dua. Ia sudah tahu letak kamar gadisnya. Beberapa kali mengetuk, pintu tak kunjung dibuka. Qasam akhirnya masuk.Kamar sepi. Rapi sekali. Harum.“Ameena!” Mata Qasam menatap ke segala penjuru. Pintu balkon terbuka. Qasam melangkah menuju ke balkon, ternyata Ameena berdiri di balkon. Wanita itu tengah menatap pemandangan indah di luar, menikmati sepoi- speoi angin malam.Piyama tidur lengan pendek membalut tubuhnya. Rambutnya beterbangan dimainkan angin. Sekilas saja Ameena menatap Qasam, kemudian pandangannya kembali ke depan dengan kedua tangan berpegangan pagar balkon.“Ngapain
“Apa yang kau lakukan?” Suara itu memuat Qizha mendongak, menatap Qasam yang sudah berdiri di ambang pintu. “Saya membersihkan ruangan ini, Pak!” jawab Qizha dengan enggan.“OB yang lama kemana?”“Rolling tugas, Pak.”Tatapan Qasam tertuju pada bingkai foto yang terjatuh di lantai. Segera ia memungut benda itu dan membiarkannya dalam posisi menelungkup. Kemudian dengan suara tegas ditambah tatapan lekat, ia berkata, “Apa yang kau lakukan dengan foto ini?”“Maaf, tadi sepertinya tersenggol. Biar saya betulkan posisinya.”“Kau sudah melihat foto ini?” tanya Qasam tegas. Jika wanita ini sudah melihat foto itu, tentunya dia tahu kalau Qansha satu keluarga dengan Qasam.Qizha menggeleng. “Belum, Pak. Mari saya susun kembalike meja.” “Tidak usah!” Qasam meletakkan bingkai foto ke laci.“Saya sudah selesai bekerja. Permisi.” Qizha melangkah menuju pintu. Tatapan Qasam tajm sekali menatap punggung Qizha yang berlalu ke pintu. Wanita itu berhenti, punggungnya berputar dan me
“Qizha, kamu dipanggil Bu Weni, tuh.”Suara itu membuat Qizha mengangkat wajah dan menatap sosok yang memanggilnya. Staf itu berdiri di ujung koridor.“Maaf, aku nggak kerja di bagian ruangan Bu Weni lagi. Jadi Bu Weni nggak bisa menyuruh- nyuruh aku,” balas Qizha berushaa untuk tegas. Dia menang telak saat ini. jangan harap mau disuruh-suruh oleh mereka yang tak punya perasaan.“Bu Weni Cuma mau ketemu saja kok. Bukan mau menyuruhmu. Temui saja dia dulu.”“Maaf. saya nggak punya urusan lagi sama Bu Weni.” Qizha berjalan mendekati wanita itu. “Sampaikan saja ke beliau kalau saya nggak bisa menemuinya. Dia bisa memanggil OB yang berkepentingan dengan beliau. Bukan saya. Permisi.” Qizha berlalu pergi.Masih ingat di pikiran Qizha bagaimana perlakuan Bu weni terhadapnya, yang dengan semena- mena memerintah Qizha, bahkan mengatur- ngatur dengan suara keras, tatapan bengis, bahkan sok berkuasa. Terakhir kali, Weni memintanya menyusun file di gudang di luar jam kerja, namun j
"Apa yang terjadi?" tanya Qasam, pria dengan wajah bersih, rambut klimis oleh minyak rambut, plus penampilan khas stelan jas yang menunjukkan kewibawaannya. Dia benar- benar jauh berbeda dengan sosok Qasam yang menjadi suaminya. Wajahnya bersih sekali. Sedangkan Qasam yang selama ini berpenampilan seperti preman itu memiliki kulit wajah yang kusam, rambut gondrong acak- acakan, tentu saja Qizha tak bisa mengenali wajah itu. Penyamaran Qasam sungguh sempurna.Brak brak brak...Terdengar suara pintu gudang digedor dari arah dalam, berisik sekali."Qizha, keluarkan aku!" Suara keras itu bersumber dari dalam gudang."Siapa itu?" tanya Qasam masih merangkul tubuh Qizha yang lemas."Bu Weni.""Kau mengurungnya?" tanya Qasam."Dia menyerang saya sampai saya jadi begini," sahut Qizha, takut disalahkan. Jika pandangan Qasam terhadapnya berubah gara- gara kejadian ini, bisa mampus dia. Tak ada lagi orang yang melindunginya.Qasam menatap darah yang mengalir di sudut bibir Qizha. Penampilan Qiz
“Ada masalah apa kau dengan Weni?” tanya Qasam dengan suara tenang.Qizha mendadak merasa canggung dan tegang. Apakah ia akan dihakimi?“Nggak ada masalah apa- apa. Saya bahkan nggak tahu apa yang sebenarnya ada di pikiran Bu Weni, kenapa dia nggak suka sama saya. Dia terus- terusan saja memusuhi saya. Dia menghina, memojokkan, bahkan menyerang saya. Sampai akhirnya mau mencelakai saya. Saya nggak punya kesalahan apa- apa sama dia, tapi dia terus membenci saya seolah saya ini musuh besarnya.”Capek- capek Qizha menjelaskan sesuatu yang jelas sudah diketahui alasannya oleh Qasam. Andai saja Qizha tahu kalau penjelasannya itu percuma, tentu dia tak akan bicara panjang lebar hanya untuk hal yang sia- sia.“Setahuku Weni adalah staf yang baik,” ucap Qasam.“Apakah ini maksudnya bapak nggak percaya sama saya?” lirih Qizha.“Tidak ada asap jika tidak ada api. Awalnya kau mendapatkan jabatan sekretaris, lalu kini menjadi OB. Apakah itu alasannya sehingga kau bersikap semena- mena pa
Pemandangan yang menyembul di balik kemeja menjadi pusat perhatian Qasam. Pria itu menundukkan kepala dan berkata pelan, "Kau akan menyerahkan milikmu kepadaku sekarang."Seluruh tenaga Qizha benar- benar hilang, bahkan untuk mengangkat kepala pun tak bisa lagi, Jika ia memiliki kekuatan, tentu ia sudah melakukan perlawanan kuat.Sedikit demi sedikit, kesadarannya pun mulai memudar. Namun ia masih bisa merasakan apa yang terjadi dengan jelas ketika sang CEO menikmati sisi sensitif di dadanya, pria itu nyaris seperti bayi. Kemeja Qizha dilepas sempurna, kemudian celananya dipelorotkan ke bawah. Kini Qizha tanpa busana. Tak sehelai pun menutupinya. Ah, kemana tenaganya? Kenapa tubuhnya jadi lemas sekali tanpa kekuatan apa pun? Sama sekali tak bisa melakukan pemberontakan.Tangannya terangkat hendak melawan, namun kembali terjatuh dengan lemas.Ia merasakan sentuhan demi sentuhan, bahkan ia merasakan sensasi saat area inti menjadi pusat sasaran lelaki itu. Air mata Qizha berderai dari