Walau Qizha adalah karyawan baru, namun langsung ditempatkan sebagai sekretaris. Sialnya, atasannya sentimen terhadapnya dan malah menjadikannya sebagai OB. Suatu hari, situasi sulit memaksanya menikah dengan preman, hingga dia dihina keluarganya karena menikah dengan lelaki miskin. Siapa sangka preman tersebut adalah Qasam, atasan Qizha. Apa sebenarnya yang melatarbelakangi Qasam menyamar menjadi preman?
Lihat lebih banyak“Nona Qizha!” Gafar yang berjalan dari arah ujung koridor, berseru seraya mendekati Qizha.“Ya, pak?” Qizha menghadap Gafar.“Selamat ya, Nona. Akhirnya posisi Anda kembali seperti yang seharusnya yaitu menjadi sekretaris,” ungkap Gafar bangga.“Terima kasih, Pak.” “Tidak sia- sia Nona Qizha selama ini menjadi OB. Pada akhirnya kesabaran Nona pun terjawab juga.”Qizha tersenyum. “Oh ya, tolong sampaikan kepada Bu Weni, suruh temui sekretaris sekarang. Saya ada perlu.”“Bu Weni?”“Iya. Staf administrasi itu.” “Apakah ada pekerjaan Non Qizha yang berkaitan dengan Bu weni? Ataukah ada hal pentingdi luar pekerjaan yang perlu dibahas dengan Bu Weni?” gafar bingung. Setahunya, tak ada kaitan antara pekerjaan Qizha dan Weni.Qizha hanya tersenyum, kemudian berkata, “Saya minta tolong panggil saja beliau. Sampaikan supaya dia menghadap saya ya, Pak!”Qizha kemudian masuk ke ruangannya. Ia tersenyum melihat ruangan itu. sudah sejak dulu ia mendambakan kursi tersebut, akhirnya Allah
“Aku sebenarnya juga nggak suka Mas Qasam menikah dengan wanita yang nggak Mas Qasam cintai. Itu pasti hanya akan membuat beban hidup Mas Qasam jadi makin berat. kasihan sekali Mas Qasam,” sambung Wafa lagi. Qasam diam saja. membiarkan Wafa mengungkapkan apa saja. Jika Qizha memiliki suami yang mencintainya, tentu sang suami akan membelanya., menjaga hatinya dari serangan kalimat- kalimat julid yang menyakiti. Tapi ini Qizha harus berjuang sendiri.“Cepat habiskan makanmu! Kita akan ke kantor!” Qasam melangkah pergi meninggalkan meja.Qizha buru- buru menghabiskan makan, lalu meneguk minum separuh. “Hei, jangan tinggalkan minummu begitu saja! ini maish ada separuh. Kau harus menghabiskannya. Sususmu ini mahal!” seru Amira.Qizha yang sudah dua langkah meninggalkan meja, kembali ke meja dan meneguk susu sampai habis. Sebenarnya perutnya mual menghabiskan susu itu karena sudah kenyang, tapi nenek itu pasti akan memakinya jika ia membantah.Beginilah nasib menantu yang sed
“Qizha, ayo duduk! Makanlah!” ucap Habiba. Situasi dan kebersamaan keluarga besar Qasam benar- benar sangat membuat Qizha merasa canggung sekali. Apa lagi ia merasa sendirian. Hanya Habiba yang berada di pihaknya.Qizha memutari meja, lalu duduk di sisi Amira. Di sini lebih baik dari pada berada di sisi Husein. Qizha bingung harus mengambil makan apa. Ia membalikkan piring di depannya, ada meja putar di tengah- tengah meja yang di sana tersaji berbagai menu untuk sarapan. Sebenarnya Qizha menginginkan pastel, tapi ia tak berani memutar meja. Untuk menjulurkan tangan saja rasanya canggung, apa lagi memutar meja. Habiba bangkit berdiri, ia mengambilkan pastel untuk Qizha. “Ayo, makanlah!” Qizha tersenyum. Mertua idaman. Tau banget selera menantu. “Bagaimana malammu, Qasam? Apakah berjalan dengan baik? Kau tidak tidur sendiri tadi malam bukan?” tanya Amira. “Aku tidak bisa tidur. Mungkin karena ini adalah awal dari segalanya,” jawab Qasam datar saja. “Aku berharap kau
Qasam sudah selesai memasang pakaiannya. Ia tengah asik menyisir rambut yang baru saja diuyel- uyel menggunakan minyak rambut.Tatapannya tertuju ke cermin, tepat pada pantulan wajah di belakangnya. Yaitu wajah Qizha.“Kau jangan beranggapan kalau hidupmu di sini adalah bagian dari keluargaku. Rumah tangga kita akan seperti neraka sampai kau menua!” tegas Qasam.“Aku malah kasihan kepadamu, karena hidupmu nggak akan bermanfaat saat memupuk dendam, justru akan memupuk dosa,” lembut Qizha sambil merapikan kasur.“Akhir jaman memang banyak manusia berilmu tinggi, sama sepertimu. Kulihat kau ini memiliki ilmu tinggi dalam beragama, tapi percuma jika hanya berilmu tinggi saja, iblis pun ilmunya jauh lebih tinggi.”Qizha menarik napas panjang. Sampai kapan Qasam terus menyudutkannya begini?“Pun tidak ada gunanya ibadah tanpa ilmu, menjadi manusia bodoh juga sama celakanya jika tidak mau mencari ilmu. Tapi akan lebih baik manusia bodoh berakhlak baik yang sedang mencari ilmu, dari pad
Tapi ngomong- ngomong ia harus tidur dimana?Mungkinkah ia harus tidur seranjang dengan Qasam di kasur itu? Kepala Qizha mulai terayun- ayun. Ngantuk sekali. Gludak!Sial. Kepalanya kejeduk meja saking kuatnya rasa kantuk, kepala terayun keras dan menghantam meja. "Aduh!" Qizha mengusap keningnya. Lalu berjalan mendekati ranjang, berbaring di kasur, posisinya berada di paling pinggir. Bukan ia takut tersentuh Qasam, sebab hubungan mereka sudah sangat jauh, imposible jika masih membahas takut tersentuh.“Kenapa kau tidur di sini?” Suara dari arah belakang mengejutkan Qizha. Padahal ia sudah hampir tertidur, tapi malah jadi melek lagi gara- gara suara itu.Qizha menoleh.“Jangan tidur di sini!” titah Qasam.Qizha mengernyit. Ia lalu bangkit duduk. “Lalu aku harus tidur dimana? Udah bener aku tidur di sofa tadi, kenapa malah disuruh amsuk kamar? Sekarang setelah di kamar, kamu mengusirku? Bagiaman ini sebenarnya?”Qasam mendorong bantal yang baru saja digunakan Qizha hingga b
Qizha melihat nomer asing meneleponnya. Mungkin telepon dari butik seperti yang dikatakan Habiba. "Halo selamat malam!"Suara di seberang sangat ramah sekali. "Saya dari butik Mirasana. Benar saya bicara dengan Nyonya Qizha?""Ya, benar.""Bisakah disebutkan ukuran baju, sendal dan ukuran pinggang?"Qizha seperti terhipnotis hingga menyebutkan saja ukuran yang diminta.Pembicaraan disudahi. "Kak Qizha!"Qizha menoleh mendengar panggilan itu. Wafa berdiri menyandar di pintu. Gadis itu mengunyah apel. "Ada apa, Wafa?" tanya Qizha. Wafa berjalan masuk kamar. Tatapannya membuat Qizha tak nyaman. "Kakak bukan menantu dan ipar yang diinginkan di sini. Kasian Mas Qasam mesti menghabiskan sisa waktunya dengan kakak," ucap Wafa datar saja. "Sembilan puluh persen penghuni rumah ini nggak mengharapkan kehadiran kaka di sini. Kakak tahu kan apa yang harus kakak lakukan?"Sakit sekali mendengar perkataan Wafa. Memang benar semua penghuni rumah, tidak menyukai Qizha, kecuali Habiba. "Aku jug
"Mama!" Habiba memperingatkan dengan ekspresi menghakimi. "Hargai keputusanku. Biarkan aku mengurus anakku dengan jalan pikiranku sendiri. Tolong untuk tidak mengacaukannya!""Qasam itu juga cucuku. Ada darahku yang mengalir di tubuhnya. Aku berhak mencampuri semua ini! Aku yakin Qasam tidak menyukai wanita ini." Amira bersikukuh."Jangan paksakan Qasam untuk mempertahankan sesuatu yang dia tidak sukai, akibatnya akan fatal. Nanti Qizha sendiri juga yang merasakan kehancuran saat hidup dengan lelaki yang tidak menyukainya," sahut Alka, kakeknya Qasam dengan nada tenang."Semuanya sudah terjadi dan sepasang suami istri ini harus menjalaninya, akad yang mereka ikrarkan di hadapan Tuhan bukanlah hal main- main, maka jangan dibuat main-main," sahut Habiba tegas. "Tuhan tidak memerlukan apa pun untuk mengubah perasaan mereka menjadi saling menyayangi. Ini bukan masalah suka atau tidak suka, tapi tanggung jawab besar. Dan Qasam harus punya tanggung jawab untuk rumah tangganya."Amira tak bi
“Ayo, temui keluargaku. Kau harus memperkenalkan dirimu sebagai menantu di rumah ini!” ajak Habiba penuh semangat.Qizha menggeleng sambil menahan tangan Habiba yang menariknya hingga tubuh Habiba pun tertahan di posisinya.Habiba mengangkat alis,isyarat menanyakan kenapa Qizha menahannya.“Aku nggak bisa, Tante,” jawab Qizha merasa rendah diri. Dia bukan siapa- siapa di sana, benar- benar merasa tak percaya diri. Apa lagi di sini suaminya sama sekali tak mendukungnya. Lalu bagaimana mungkin ia akan merasa nyaman diperkenalkan sebagai istrinya Qasam, ditambah dia berasal dari kalangan sederhana.“Kok panggil Tante lagi?”“Maaf, maksudnya aku nggak bisa, mama.” Lidah Qizha terdengar agak kaku memanggil ‘mama’.“Kenapa?” tanya Habiba.“Aku… Aku bukanlah istri yang diharapkan seperti wanita lainnya, yang dinikahi karena sebuah tujuan membina rumah tangga. Aku dinikahi karena sebuah ketdak sengajaan. Aku dipertahankan dan dibawa ke sini dengan status istri juga bukan karena keingina
“Kau tunggu di sini!” titah Qasam saat sudah berada di ruang keluarga.Qizha diam mematung, mematuhi perintah sang suami.Qasam berlalu memasuki ruangan lain. Ia menuju ke kamar Habiba.Tok tok… Kepalan tangannya mengetuk pintu. Tak ada sahutan.“Ma, aku masuk ya?” seru Qasam.Tetap tak ada sahutan.Qasam membuka pintu, ia mendapati Habiba tengah menikmati secangkir teh panas di sofa kamarnya. Ia yakin mamanya mendengar suaranya, namun wanita yang kelihatan lebih muda dari usianya itu sengaja tak mau menyahuti. “Ma, tolong jangan begini. Apakah menurut mama hidupku akan tenang saat mama mendiamkanku?” Qasam duduk disisi mamanya, menatap lekat. Hatinya kacau saat diperlakukan begini oleh mamanya. Habiba diam saja, masih meneguk teh seolah tak ada Qasam di sisinya.“Cabut kata- kata mama yang bilang kalau aku tidak diakui sebagai anak, please!” pinta Qasam.“Apa sudah selesai bicara? Kalau sudah selesai, silakan keluar. Aku mau ke ruang tengah, nenekmu sedang berkunjung kemar
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.