Malam itu, hujan turun deras. Jendela kamar mereka dipenuhi titik-titik air yang berkejaran, sementara suara gemuruh petir sesekali mengguncang suasana. Rani berdiri di depan cermin, menatap wajahnya sendiri yang tampak lebih pucat daripada biasanya. Ia menghela napas panjang. Sudah beberapa hari terakhir ini ia merasakan perubahan yang semakin jelas dari Adrian.
Pria itu masih ada di sisinya, tetapi seolah hadir hanya dengan raganya, bukan dengan hatinya. Senyum yang dulu hangat kini jarang muncul. Sapaan singkat lebih sering menggantikan percakapan panjang penuh tawa yang dulu mereka miliki. Rani merasakan sesuatu yang dingin, seperti jarak yang perlahan merayap di antara mereka.
Adrian sendiri duduk di tepi ranjang, matanya menatap kosong ke arah jendela. “Kau masih terjaga?” tanyanya, tanpa menoleh.
Ran
Hujan yang turun malam itu tidak kunjung reda. Derai air seolah menjadi saksi bagi hancurnya ketenangan rumah tangga keluarga Wijaya. Di ruang tengah, Rani masih berdiri mematung, ponselnya menggenggam erat, wajahnya memucat, dan matanya sembab. Foto itu foto Adrian dan Aurora yang kini tersebar luas—menghancurkan dunianya seketika.“Tidak… tidak mungkin,” bisiknya, hampir tak terdengar. Napasnya tersengal, dan tubuhnya gemetar hebat. Ia menekan ponsel ke dadanya seolah dengan itu bisa menahan kepedihan yang mengalir deras di hatinya.Adrian keluar dari kamar, langkahnya gontai. Wajahnya pucat pasi, mata yang dulu hangat kini penuh kecemasan. “Rani… tolong dengarkan aku. Itu bukan apa yang kau pikirkan. Aku bisa jelaskan semuanya,” suaranya lirih, hampir hilang di antara suara hujan dan guntur.
Rani menatap layar ponselnya, matanya membesar tak percaya. Foto itu menampilkan Adrian duduk bersama Aurora di sebuah restoran. Sudut pengambilan gambar sengaja dibuat intim: Adrian sedikit condong ke arah Aurora, wajah mereka terlalu dekat, seperti sepasang kekasih yang sedang berbagi rahasia.Jantung Rani berdegup keras, seolah ingin pecah. Tangannya gemetar saat menggenggam ponsel. Seluruh tubuhnya terasa dingin, tapi kepalanya terbakar.“Tidak mungkin…” bisiknya lirih. “Adrian tidak mungkin…”Tapi matanya kembali menatap foto itu, mencoba mencari celah, alasan, pembelaan apa pun yang bisa membuatnya percaya Adrian tidak bersalah. Namun setiap detail justru menghantamnya: senyum samar di bibir Aurora, ekspresi tegang tapi pasrah di wajah Adrian.
Pagi itu, rumah keluarga Wijaya tampak tenang dari luar, namun di dalamnya ada badai yang siap meledak. Rani duduk di meja makan dengan wajah pucat. Matanya sembab, tapi tatapannya keras. Di hadapannya, secangkir teh sudah dingin tanpa tersentuh.Adrian turun dari lantai atas dengan dasi setengah terikat, wajahnya masih lelah. Ia mencoba tersenyum melihat Rani, tapi senyum itu hanya bertahan sekejap. Ada hawa dingin yang membuatnya ragu untuk mendekat.“Selamat pagi,” katanya pelan.Rani menoleh, tatapannya menusuk. “Kita perlu bicara.”Nada suaranya membuat Adrian berhenti melangkah. Ia tahu, ini bukan percakapan biasa. Jantungnya berdetak cepat.“Semalam aku menemukan sesuatu,” Rani memulai, suaranya tenang tapi penuh tekanan. “Di ruang kerjamu. Laci meja itu… yang selama ini kau kunci.”Adrian tercekat. Ia tahu apa maksudnya.Rani mencondongkan tubuh, matanya berkilat. “Kau pikir aku tidak bisa membaca dokumen-dokumen itu? Kau pikir aku tidak akan tahu bahwa Aurora terlibat dalam b
Rani duduk di tepi ranjang, matanya sembab, tangannya masih memegang foto-foto yang ia dapat dari kafe sore tadi. Bayangan Aurora yang selalu tersenyum dingin terus menghantui pikirannya. Setiap kali ia memejamkan mata, wajah Adrian pun muncul wajah yang dulu memberinya rasa aman, kini justru terasa asing.Di ruang tamu, Adrian masih terjaga. Bunyi gesekan kursi terdengar samar, menandakan ia gelisah. Rani tahu Adrian menunggu, berharap ia keluar dan memaafkannya. Tapi malam ini, hatinya menolak. Ia sudah terlalu sering menjadi perempuan yang sabar.“Kalau terus begini,” gumamnya, suaranya serak, “aku hanya akan jadi pion dalam permainan mereka.”Ia menatap cermin di depannya. Wajah pucat itu bukan lagi wajah Rani yang dulu. Ada luka, ada air mata, tapi ada juga sesuatu yang baru: api kecil, tekad untuk tidak lagi diam.Pagi menjelang, Rani bangun lebih cepat dari biasanya. Adrian masih tertidur di sofa, tubuhnya meringkuk dengan wajah lelah. Sesaat, rasa iba menyelinap ke dalam hati
Aurora Prameswari berdiri di depan jendela besar apartemennya, lantai tiga puluh dua, menghadap gemerlap lampu kota Jakarta yang sibuk. Angin malam mengibaskan sedikit ujung rambut hitamnya. Di tangan kirinya, segelas wine merah berputar perlahan, meninggalkan garis tipis di dinding kaca gelas.Dia baru saja memutuskan telepon dengan Adrian beberapa jam lalu, dan sejak itu pikirannya tak henti bekerja. Biasanya, setiap kali Aurora menyentuh satu titik lemah seseorang, orang itu langsung gentar. Adrian berbeda masih berani menantang. Lebih parah, Rani ternyata lebih berbahaya dari yang dia duga.Aurora menghela napas, kali ini panjang dan dalam. Di wajahnya tak ada lagi senyum licik, yang ada hanyalah kalkulasi dingin.“Perempuan itu ternyata tidak mudah dipecahkan.&rdquo
Udara malam terasa lembap ketika Rani melangkah keluar dari rumah sakit tempat ia mengantar temannya tadi. Bukan hanya tubuhnya yang letih, pikirannya pun penuh pusaran tanya. Percakapan telepon Aurora yang ia dengar secara tidak sengaja kemarin terus memutar di kepalanya. Nama itu. Nada suara dingin yang samar-samar ia kenali. Dan ancaman samar yang jelas bukan basa-basi.Rani menyalakan motor pelan, lalu berhenti sejenak di pinggir jalan. Tangannya gemetar di atas setang. Aurora. Siapa sebenarnya dia bagi Adrian? Pertanyaan itu menyengat seperti duri yang tiba-tiba menusuk kulit. Ia mencoba menepis kecurigaan, tapi potongan-potongan puzzle justru semakin tajam.Ia ingat ekspresi Adrian setiap kali menerima telepon mendadak. Nada suaranya berubah, wajahnya seolah penuh rahasia. Selama ini Rani memilih percaya, mencoba mem