Bagi dunia luar, aku adalah istri sah Adrian Mahendra—CEO muda yang tampan, sukses, dan menjadi dambaan banyak wanita. Pernikahan kami terlihat sempurna. Tapi semua itu hanya topeng. Siang hari, aku tersenyum di sisinya. Malam hari, aku tidur sendirian. Hubungan kami dingin, seolah hanya kewajiban, bukan cinta. Hingga suatu malam, aku mencium aroma parfum wanita asing di jasnya. Aroma yang bukan milikku. Sejak saat itu, tanda-tanda pengkhianatan mulai muncul: pesan singkat yang ia sembunyikan, panggilan telepon yang dijawab di luar rumah, dan tatapan kosong setiap kali melihatku. Aku mencoba bertahan, tapi kebenaran yang kutemukan menghancurkan segalanya. Ternyata… aku bukan satu-satunya wanita dalam hidupnya. Kini aku dihadapkan pada pilihan: mempertahankan gelar istri sah demi nama baik keluarga, atau melepaskannya pada cinta terlarang yang telah lama ia simpan di balik senyumnya.
View MoreLampu-lampu kristal di ballroom hotel itu memantulkan cahaya ke segala arah, membuat ruangan terasa seperti panggung pertunjukan mewah. Gaun-gaun berkilau, jas hitam rapi, dan gelas-gelas anggur beradu pelan di udara. Di tengah keramaian itu, aku—Rani Pramudita—berdiri di sisi seorang pria yang bagi banyak wanita adalah mimpi: Adrian Mahendra.
Tanganku melingkar di lengannya, senyumku tertata rapi di bibir.
“Selamat malam, Pak Adrian, Bu Rani,” sapa seorang pengusaha paruh baya sambil menjabat tangan suamiku.
Begitulah kami, Adrian dan aku. Dua orang yang menghafal peran masing-masing. Dia akan menggenggam tanganku di hadapan publik, menatapku dengan tatapan yang nyaris meyakinkan, lalu melepasnya begitu tak ada lagi mata yang mengawasi.
Aku masih ingat betul, di awal pernikahan, aku percaya segalanya akan membaik. Aku pikir cinta akan datang seiring waktu. Tapi tahun demi tahun berlalu, dan jarak di antara kami semakin lebar. Kami hanya bertemu di acara keluarga, rapat bisnis, atau pesta seperti malam ini. Di rumah, dia lebih sering mengurung diri di ruang kerja atau keluar entah ke mana.
Acara itu berlangsung lebih lama dari yang kukira. Aku bisa merasakan rasa lelah mengendap di ujung mataku, tapi Adrian masih sibuk berbicara dengan rekan-rekan bisnisnya. Aku berdiri di sisinya, memegang gelas minuman yang sudah tak lagi dingin, sambil menghitung menit demi menit.
Akhirnya, hampir tengah malam, pesta berakhir. Kami meninggalkan hotel, masuk ke mobil sedan hitam milik Adrian. Sopir pribadi menyambut kami dengan sopan sebelum menutup pintu. Aku menghela napas lega dan melepaskan high heels-ku, membiarkan punggungku menempel di jok mobil.
Lalu, aroma itu menyerangku.
Wangi bunga melati yang lembut tapi menusuk. Bukan aroma ruangan hotel, bukan aroma parfumku. Aku mengenali parfum itu—aku pernah mencium aromanya sebelumnya, tapi aku tidak bisa mengingat di mana.
Mataku beralih pada jas hitam yang terlipat di pangkuannya. “Adrian,” aku memecah keheningan, “kamu ganti parfum?”
Dia menoleh sekilas, ekspresinya tetap datar. “Bukan. Mungkin cuma terbawa dari ruangan tadi.”
Aku tersenyum tipis, menunduk, berpura-pura percaya. Tapi hatiku mulai memanas.
Sepanjang perjalanan pulang, kami nyaris tidak berbicara. Adrian sibuk dengan ponselnya, jempolnya bergerak cepat di layar. Sesekali ia tersenyum kecil, senyum yang sudah lama tidak pernah ia berikan padaku.
Sampai rumah, Adrian langsung menuju ruang kerja tanpa menoleh. “Aku ada beberapa hal yang harus kuselesaikan,” ucapnya singkat sebelum menutup pintu.
Aku masuk ke kamar, berganti pakaian, lalu duduk di tepi ranjang. Sepi. Begini setiap malam. Aku sudah terbiasa, tapi malam ini berbeda. Ada sesuatu yang menggangguku—parfum itu, senyum itu, dan tatapan matanya yang entah kenapa terasa bersalah.
Sekitar satu jam kemudian, aku keluar untuk mengambil air di dapur. Lampu ruang kerja Adrian masih menyala. Saat kembali ke kamar, mataku tertuju pada ponselnya yang tergeletak di meja rias. Aku tahu ini salah, tapi jemariku bergerak sendiri.
Layar menyala, menampilkan notifikasi pesan baru. Dari nama yang tidak tersimpan: “Sampai ketemu di tempat biasa. Aku sudah rindu.”
Darahku berdesir.
Aku menatap layar itu beberapa detik lebih lama. Ada dua pilihan: membiarkan rasa curiga ini membusuk atau mencari tahu lebih jauh.
Langkahku mundur pelan, meletakkan ponsel itu kembali, pura-pura tidak melihat apa-apa. Tapi di dalam kepalaku, ribuan pertanyaan berputar liar.
Siapa dia?
Aku menarik selimut, tapi mata ini enggan terpejam.
Hening malam semakin menelanku, tapi pikiranku justru riuh. Kata-kata di pesan itu terus berulang di kepalaku, seperti rekaman yang tak mau berhenti diputar.
"Sampai ketemu di tempat biasa. Aku sudah rindu."
Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Mungkin saja itu hanya rekan bisnis. Mungkin “tempat biasa” adalah restoran langganan untuk meeting. Dan “rindu” hanyalah gurauan.
Tapi… aku tahu Adrian. Dia bukan tipe pria yang membiarkan wanita lain berbicara padanya seperti itu, kecuali ada sesuatu di antara mereka.
Jam dinding menunjuk pukul 01.17. Adrian belum juga masuk kamar.
Aku mendekat. Terdengar suara pelan dari dalam—suara Adrian.
“Ya… aku juga,” suaranya terdengar jelas. “Besok malam aku sempat. Kita di tempat biasa, ya.”
Dadaku terasa sesak. Aku mundur perlahan sebelum ia sempat membuka pintu. Kembali ke kamar, aku menutup pintu rapat-rapat, bersandar di baliknya.
Air mataku jatuh tanpa izin.
Aku menatap cermin di meja rias. Perempuan di sana masih terlihat rapi dengan sisa make-up malam ini. Tapi matanya… kosong.
Ponselku bergetar. Sebuah pesan masuk dari sahabatku, Lila:
"Besok kita lunch, ya? Aku kangen banget sama kamu. Mau cerita banyak."
Aku menatap layar ponsel itu lama. Entah kenapa, aku ingin sekali bercerita. Tapi bagian dari diriku masih ingin menyimpan semua ini rapat-rapat. Mungkin… aku belum siap mengaku bahwa pernikahan yang selama ini kulindungi dengan segala cara mulai retak dari dalam.
Lampu ruang kerja akhirnya mati. Beberapa menit kemudian, pintu kamar terbuka. Adrian masuk, melepaskan jasnya dan menggantungnya di kursi.
Dia hanya mengangguk. Tidak ada pelukan, tidak ada kecupan di kening, bahkan tidak ada tatapan.
Aku menatap punggungnya yang lebar tapi terasa jauh. Dalam hati, aku berjanji: jika memang ada wanita lain, aku akan menemukannya. Dan saat hari itu tiba… aku akan memutuskan apakah masih pantas aku berada di sini.
Di luar, hujan mulai turun. Dan entah kenapa, rasanya seperti pertanda bahwa badai sesungguhnya baru akan dimulai.
Rani menunduk di depan pintu kaca sebuah kafe kecil di pinggiran kota. Hujan semalam masih meninggalkan jejak di aspal dan atap. Tangannya gemetar saat ia menatap pesan Aurora yang terakhir. Setiap kata terasa seperti tombak: “Kebenaran yang akan kau temukan nanti… akan membunuhmu pelan-pelan.”Ia menelan ludah, mencoba menenangkan diri, tapi hatinya berdebar tak karuan. Malam demi malam, minggu demi minggu, semua teka-teki dan kebohongan akhirnya menuntunnya ke titik ini. Titik di mana ia harus memilih: tetap diam dan menerima luka, atau menghadapi kebenaran sekalipun itu menghancurkan rumah tangganya.Rani menatap sekeliling. Tak ada yang memperhatikan, hanya hujan dan lampu jalan yang redup. Ia membuka tasnya, mengeluarkan foto-foto lama yang ia temukan dari dokumen keluarga Adrian surat, foto, dan beberapa catatan yang menunjukkan kedekatan Adrian dengan Aurora, jauh sebelum Rani mengetahuinya.“Habis sudah… aku harus tahu,” gumam Rani sambil menggenggam foto itu. Matanya berkaca-
Rani melangkah cepat di trotoar yang basah oleh sisa hujan. Lampu jalan berpendar redup, memantulkan bayangan panjang di bawah kakinya. Pikirannya berputar, mencoba memahami pesan misterius yang baru saja ia terima."Jangan pulang malam ini. Bahaya menunggumu di rumah."Kata-kata itu terus menggema di benaknya, membuat jantungnya berdebar kencang. Apakah seseorang tengah memperingatkannya? Atau itu hanya permainan baru Aurora untuk mengguncang kestabilannya?Ia berhenti di depan halte kosong, menatap ponselnya lagi. Tidak ada pesan lanjutan. Tidak ada petunjuk siapa pengirimnya. Tapi entah kenapa, firasatnya berkata bahwa pesan itu bukan sekadar ancaman. Ada sesuatu yang benar-benar salah malam ini.Rani menarik napas panjang. Udara malam menusuk kulitnya, dingin dan lembap. Ia menatap ke arah jalan, mobil-mobil melintas cepat, lampu-lampunya membelah kegelapan.“Kalau aku tidak pulang… ke mana aku harus pergi?” gumamnya lirih.Matanya terarah pada satu tempat: kantor Adrian. Tempat d
Hujan akhirnya reda, menyisakan bau tanah basah yang menusuk hidung. Jalanan sepi, hanya sesekali terdengar suara tetesan air dari atap rumah atau pohon yang bergoyang tertiup angin. Rani masih berjalan tanpa arah, langkahnya berat, tapi matanya menyalakan api yang berbeda.Air mata sudah berhenti jatuh, bukan karena luka telah hilang, melainkan karena kesedihan itu telah berubah menjadi sesuatu yang lebih keras tekad.Ia menatap ke depan, wajahnya basah, rambutnya menempel di pipi. Dalam hatinya, satu kalimat terngiang: Kalau aku terus diam, aku akan habis. Kalau aku ingin bertahan, aku harus melawan.Adrian berlari menyusul, tubuhnya basah kuyup. Nafasnya memburu, tapi setiap kali ia memanggil nama Rani, perempuan itu justru mempercepat langkah. Ia tahu, kata-katanya tidak lagi
Hujan belum benar-benar berhenti ketika malam itu menjadi saksi runtuhnya fondasi rumah tangga Rani dan Adrian.Rani masih berdiri di depan jendela, matanya kosong menatap derasnya air yang mengalir di kaca. Foto Adrian dan Aurora yang kini tersebar luas di media sosial seolah terbakar di kepalanya, berulang kali menohok jantungnya tanpa ampun.“Kenapa harus begini…” suaranya nyaris tak terdengar, namun tubuhnya gemetar hebat.Adrian berdiri di belakangnya, wajahnya kusut, rambutnya berantakan, dan sorot matanya penuh keputusasaan. “Rani, dengarkan aku. Aku tidak pernah mencintai Aurora. Aku tidak pernah menyentuhnya seperti yang terlihat di foto itu.”Rani berbalik, matanya sembab tapi menyala penuh api. “Lalu apa ini, Adrian?!” ia mengangkat ponsel, menyorotkan layar ke arah suaminya. “Kau tersenyum padanya. Kau berdiri begitu dekat… cukup dekat untuk membuat semua orang percaya. Kau pikir aku bisa menutup mata dan berpura-pura tidak melihat?!”Adrian menelan ludah. Kata-kata yang i
Hujan yang turun malam itu tidak kunjung reda. Derai air seolah menjadi saksi bagi hancurnya ketenangan rumah tangga keluarga Wijaya. Di ruang tengah, Rani masih berdiri mematung, ponselnya menggenggam erat, wajahnya memucat, dan matanya sembab. Foto itu foto Adrian dan Aurora yang kini tersebar luas—menghancurkan dunianya seketika.“Tidak… tidak mungkin,” bisiknya, hampir tak terdengar. Napasnya tersengal, dan tubuhnya gemetar hebat. Ia menekan ponsel ke dadanya seolah dengan itu bisa menahan kepedihan yang mengalir deras di hatinya.Adrian keluar dari kamar, langkahnya gontai. Wajahnya pucat pasi, mata yang dulu hangat kini penuh kecemasan. “Rani… tolong dengarkan aku. Itu bukan apa yang kau pikirkan. Aku bisa jelaskan semuanya,” suaranya lirih, hampir hilang di antara suara hujan dan guntur.
Rani menatap layar ponselnya, matanya membesar tak percaya. Foto itu menampilkan Adrian duduk bersama Aurora di sebuah restoran. Sudut pengambilan gambar sengaja dibuat intim: Adrian sedikit condong ke arah Aurora, wajah mereka terlalu dekat, seperti sepasang kekasih yang sedang berbagi rahasia.Jantung Rani berdegup keras, seolah ingin pecah. Tangannya gemetar saat menggenggam ponsel. Seluruh tubuhnya terasa dingin, tapi kepalanya terbakar.“Tidak mungkin…” bisiknya lirih. “Adrian tidak mungkin…”Tapi matanya kembali menatap foto itu, mencoba mencari celah, alasan, pembelaan apa pun yang bisa membuatnya percaya Adrian tidak bersalah. Namun setiap detail justru menghantamnya: senyum samar di bibir Aurora, ekspresi tegang tapi pasrah di wajah Adrian.
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments