Suami Sah di Siang Hari, Kekasih Gelap di Malam Hari

Suami Sah di Siang Hari, Kekasih Gelap di Malam Hari

last updateLast Updated : 2025-08-22
By:  ulfazUpdated just now
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
Not enough ratings
7Chapters
11views
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

Bagi dunia luar, aku adalah istri sah Adrian Mahendra—CEO muda yang tampan, sukses, dan menjadi dambaan banyak wanita. Pernikahan kami terlihat sempurna. Tapi semua itu hanya topeng. Siang hari, aku tersenyum di sisinya. Malam hari, aku tidur sendirian. Hubungan kami dingin, seolah hanya kewajiban, bukan cinta. Hingga suatu malam, aku mencium aroma parfum wanita asing di jasnya. Aroma yang bukan milikku. Sejak saat itu, tanda-tanda pengkhianatan mulai muncul: pesan singkat yang ia sembunyikan, panggilan telepon yang dijawab di luar rumah, dan tatapan kosong setiap kali melihatku. Aku mencoba bertahan, tapi kebenaran yang kutemukan menghancurkan segalanya. Ternyata… aku bukan satu-satunya wanita dalam hidupnya. Kini aku dihadapkan pada pilihan: mempertahankan gelar istri sah demi nama baik keluarga, atau melepaskannya pada cinta terlarang yang telah lama ia simpan di balik senyumnya.

View More

Chapter 1

Bab 1 : Aroma yang Bukan Milikku

Lampu-lampu kristal di ballroom hotel itu memantulkan cahaya ke segala arah, membuat ruangan terasa seperti panggung pertunjukan mewah. Gaun-gaun berkilau, jas hitam rapi, dan gelas-gelas anggur beradu pelan di udara. Di tengah keramaian itu, aku—Rani Pramudita—berdiri di sisi seorang pria yang bagi banyak wanita adalah mimpi: Adrian Mahendra.

Tanganku melingkar di lengannya, senyumku tertata rapi di bibir.

Dari luar, kami tampak seperti pasangan sempurna: dia, CEO muda yang sukses; aku, istri yang anggun dan berpendidikan. Tidak ada satu pun orang di ruangan ini yang akan curiga kalau pernikahan kami hanya bertahan di atas panggung—sementara di balik layar, segalanya hampa.

“Selamat malam, Pak Adrian, Bu Rani,” sapa seorang pengusaha paruh baya sambil menjabat tangan suamiku.

“Selamat malam,” jawabku sambil tersenyum ramah.

Begitulah kami, Adrian dan aku. Dua orang yang menghafal peran masing-masing. Dia akan menggenggam tanganku di hadapan publik, menatapku dengan tatapan yang nyaris meyakinkan, lalu melepasnya begitu tak ada lagi mata yang mengawasi.

Aku masih ingat betul, di awal pernikahan, aku percaya segalanya akan membaik. Aku pikir cinta akan datang seiring waktu. Tapi tahun demi tahun berlalu, dan jarak di antara kami semakin lebar. Kami hanya bertemu di acara keluarga, rapat bisnis, atau pesta seperti malam ini. Di rumah, dia lebih sering mengurung diri di ruang kerja atau keluar entah ke mana.

Acara itu berlangsung lebih lama dari yang kukira. Aku bisa merasakan rasa lelah mengendap di ujung mataku, tapi Adrian masih sibuk berbicara dengan rekan-rekan bisnisnya. Aku berdiri di sisinya, memegang gelas minuman yang sudah tak lagi dingin, sambil menghitung menit demi menit.

Akhirnya, hampir tengah malam, pesta berakhir. Kami meninggalkan hotel, masuk ke mobil sedan hitam milik Adrian. Sopir pribadi menyambut kami dengan sopan sebelum menutup pintu. Aku menghela napas lega dan melepaskan high heels-ku, membiarkan punggungku menempel di jok mobil.

Lalu, aroma itu menyerangku.

Wangi bunga melati yang lembut tapi menusuk. Bukan aroma ruangan hotel, bukan aroma parfumku. Aku mengenali parfum itu—aku pernah mencium aromanya sebelumnya, tapi aku tidak bisa mengingat di mana.

Mataku beralih pada jas hitam yang terlipat di pangkuannya. “Adrian,” aku memecah keheningan, “kamu ganti parfum?”

Dia menoleh sekilas, ekspresinya tetap datar. “Bukan. Mungkin cuma terbawa dari ruangan tadi.”

Jawabannya cepat, tapi aku menangkap jeda sepersekian detik sebelum ia berbicara.

Aku tersenyum tipis, menunduk, berpura-pura percaya. Tapi hatiku mulai memanas.

Firasatku mengatakan ada sesuatu yang salah.

Sepanjang perjalanan pulang, kami nyaris tidak berbicara. Adrian sibuk dengan ponselnya, jempolnya bergerak cepat di layar. Sesekali ia tersenyum kecil, senyum yang sudah lama tidak pernah ia berikan padaku.

Sampai rumah, Adrian langsung menuju ruang kerja tanpa menoleh. “Aku ada beberapa hal yang harus kuselesaikan,” ucapnya singkat sebelum menutup pintu.

Aku masuk ke kamar, berganti pakaian, lalu duduk di tepi ranjang. Sepi. Begini setiap malam. Aku sudah terbiasa, tapi malam ini berbeda. Ada sesuatu yang menggangguku—parfum itu, senyum itu, dan tatapan matanya yang entah kenapa terasa bersalah.

Sekitar satu jam kemudian, aku keluar untuk mengambil air di dapur. Lampu ruang kerja Adrian masih menyala. Saat kembali ke kamar, mataku tertuju pada ponselnya yang tergeletak di meja rias. Aku tahu ini salah, tapi jemariku bergerak sendiri.

Layar menyala, menampilkan notifikasi pesan baru. Dari nama yang tidak tersimpan: “Sampai ketemu di tempat biasa. Aku sudah rindu.”

Darahku berdesir.

Tempat biasa? Rindu?

Aku menatap layar itu beberapa detik lebih lama. Ada dua pilihan: membiarkan rasa curiga ini membusuk atau mencari tahu lebih jauh.

Langkahku mundur pelan, meletakkan ponsel itu kembali, pura-pura tidak melihat apa-apa. Tapi di dalam kepalaku, ribuan pertanyaan berputar liar.

Siapa dia?

Sejak kapan?

Dan… apakah selama ini aku hanya memegang gelar istri sah di siang hari, sementara hatinya sudah lama berpindah di malam hari?

Aku menarik selimut, tapi mata ini enggan terpejam.

Karena untuk pertama kalinya… aku merasa pernikahan ini akan segera runtuh.

Hening malam semakin menelanku, tapi pikiranku justru riuh. Kata-kata di pesan itu terus berulang di kepalaku, seperti rekaman yang tak mau berhenti diputar.
"Sampai ketemu di tempat biasa. Aku sudah rindu."

Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Mungkin saja itu hanya rekan bisnis. Mungkin “tempat biasa” adalah restoran langganan untuk meeting. Dan “rindu” hanyalah gurauan.

Tapi… aku tahu Adrian. Dia bukan tipe pria yang membiarkan wanita lain berbicara padanya seperti itu, kecuali ada sesuatu di antara mereka.

Jam dinding menunjuk pukul 01.17. Adrian belum juga masuk kamar.

Aku memutuskan untuk keluar. Langkahku pelan, mencoba tidak menimbulkan suara di lantai marmer yang dingin. Dari lorong, aku melihat cahaya tipis menyembul dari celah pintu ruang kerja.

Aku mendekat. Terdengar suara pelan dari dalam—suara Adrian.

Bukan suara yang tegas seperti biasanya, tapi lembut. Hangat. Seolah ia sedang berbicara dengan seseorang yang membuatnya nyaman.

“Ya… aku juga,” suaranya terdengar jelas. “Besok malam aku sempat. Kita di tempat biasa, ya.”

Ada jeda sebentar. Lalu dia tertawa kecil.

Tawa yang sudah bertahun-tahun tidak pernah kudengar lagi di rumah ini.

Dadaku terasa sesak. Aku mundur perlahan sebelum ia sempat membuka pintu. Kembali ke kamar, aku menutup pintu rapat-rapat, bersandar di baliknya.

Air mataku jatuh tanpa izin.

Bukan karena aku tidak siap kehilangan dia—tapi karena aku sadar, mungkin aku sudah kehilangannya sejak lama.

Aku menatap cermin di meja rias. Perempuan di sana masih terlihat rapi dengan sisa make-up malam ini. Tapi matanya… kosong.

Inikah yang disebut pernikahan? Bersama tapi sendiri?

Ponselku bergetar. Sebuah pesan masuk dari sahabatku, Lila:
"Besok kita lunch, ya? Aku kangen banget sama kamu. Mau cerita banyak."

Aku menatap layar ponsel itu lama. Entah kenapa, aku ingin sekali bercerita. Tapi bagian dari diriku masih ingin menyimpan semua ini rapat-rapat. Mungkin… aku belum siap mengaku bahwa pernikahan yang selama ini kulindungi dengan segala cara mulai retak dari dalam.

Lampu ruang kerja akhirnya mati. Beberapa menit kemudian, pintu kamar terbuka. Adrian masuk, melepaskan jasnya dan menggantungnya di kursi.

“Kamu belum tidur?” tanyanya sambil berjalan menuju lemari.

Aku menggeleng pelan. “Baru mau tidur.”

Dia hanya mengangguk. Tidak ada pelukan, tidak ada kecupan di kening, bahkan tidak ada tatapan.

Dia langsung rebah di sisi ranjang, memunggungiku.

Aku menatap punggungnya yang lebar tapi terasa jauh. Dalam hati, aku berjanji: jika memang ada wanita lain, aku akan menemukannya. Dan saat hari itu tiba… aku akan memutuskan apakah masih pantas aku berada di sini.

Di luar, hujan mulai turun. Dan entah kenapa, rasanya seperti pertanda bahwa badai sesungguhnya baru akan dimulai.

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

More Chapters

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

No Comments
7 Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status