Share

Makan Malam

"Astaga! Adikku datang, kamu cuma nyiapin ini buat makan malam?" geram Arka ketika melihat makanan yang terhidang di atas meja makan.

Nabila menatap heran pada suaminya. "Bukannya tadi pagi aku udah bilang, Mas. Aku udah enggak punya uang. Sisa kemarin aku beliin gas yang habis. Jadi, hari ini aku masak apa yang tersisa di kulkas."

Arka menggeleng-gelengkan kepalanya. "Benar-benar boros kamu, ya, Na! Masa aku kasih seratus ribu enggak cukup seminggu? Emang kamu belanja apa aja, sih, tiap harinya? Aku juga cuma makan pagi doang, kan, di rumah ini?"

Nabila berjalan ke arah lemari dapur dan mengambil buku catatan belanjanya. Diserahkannya buku itu kepada Arka. Karena Nabila hafal betul dengan sikap Arka yang suka mengungkit pemberiannya itu. Jadi, Nabila selalu mencatat apa saja yang ia beli setiap harinya.

Sementara Arka membaca catatan belanja istrinya, Nabila menatap cah kangkung dan tahu goreng yang ada di meja makan. Sehari-hari bahkan Nabila jarang makan lengkap dengan sayur dan lauk seperti itu. Biasanya kalau sudah ada sayur, Nabila tidak makan dengan lauk. Begitu juga sebaliknya. Karena jatah dari Arka memang hanya memungkinkan untuk makan sesederhana itu.

Nabila memasak lengkap seperti itu karena tahu Hanan akan datang. Ia takut adik iparnya itu belum makan, sehingga untuk berjaga-jaga ia siapkan makanan.

Sementara untuk sarapan, Arka selalu makan roti bakar atau meminta dibuatkan omelette dan minum segelas kopi atau susu tergantung keinginan. Untuk makan siang dan malam, Arka selalu makan di luar. Jadi, dia memang tidak pernah tahu apa yang istrinya makan di rumah.

Arka memang selalu memberi uang belanja tiap minggu kepada Nabila senilai seratus ribu. Arka tahunya cukup. Entah itu untuk beli gas, beras, telur, gula, kopi, teh, susu, minyak goreng, sayuran, bumbu dapur, dan keperluan lainnya. Sementara untuk keperluan kamar mandi, listrik, dan roti tawar beserta selainya, Arka memang membeli sendiri.

Ia selalu menekankan pada Nabila untuk berhemat sejak awal mereka menikah. Karena kondisi keuangan Arka dulu memang masih memprihatinkan. Jadi, Nabila sudah terbiasa. Namun, kebiasaan itu ternyata tidak berubah saat penghasilan Arka berubah. Arka selalu berdalih uangnya mau ditabung untuk masa depan mereka.

"Nih!" Arka melempar pelan buku catatan belanja Nabila ke meja makan. Lelaki itu masuk ke kamar tanpa berkata-kata lagi. Ia tahu kalau Nabila tidak menggunakan uangnya dengan sembarangan.

Hanan yang sejak tadi mendengarkan pembicaraan Arka dan Nabila dari kamar, geleng-geleng kepala. Ia baru mengetahui bagaimana sikap Arka terhadap Nabila. Padahal setahu Hanan, Arka bukanlah sosok yang pelit dan perhitungan. Bahkan setiap bulan, Arka selalu mengirim uang untuk orang tua mereka.

Lalu mengapa sikapnya seperti itu kepada Nabila?

Hanan kemudian keluar kamar. Di ruang makan tampak Nabila sedang duduk dengan kepala menunduk di meja makan. Hanan merasa tidak tega kepada kakak iparnya itu. Terlebih ia mendengarkan ucapan Arka yang begitu tajam kepada Nabila.

"Na!" Hanan memanggil Nabila seolah-olah tidak mendengar percakapan Arka dan Nabila.

Nabila langsung menoleh dan mengusap wajahnya dengan cepat. Ia tidak mau Hanan melihatnya menangis.

"Masak apa? Aku lapar, nih." Hanan mendekati meja makan di mana Nabila duduk.

Nabila berdiri dan merasa tidak enak kepada Hanan karena hanya menyajikan masakan sederhana seperti itu. Padahal Hanan datang dari jauh.

"Ehm ...." Belum juga Nabila bicara, Hanan langsung menyela.

"Wah, enak sekali ini kelihatannya!" seru Hanan dengan mata berbinar begitu melongok ke meja makan. "Cah kangkung masakanmu, kan, juara!"

Nabila tersenyum getir. Ia tahu kalau adik iparnya itu sedang berusaha menghiburnya. Jarak ruang makan dan kamar Hanan yang hanya bersekat tembok, tentu membuat laki-laki itu bisa dengan leluasa mendengar percakapannya dan Arka tadi.

Hanan langsung mencomot tahu goreng yang tampak garing dan renyah itu, kemudian memasukkannya ke mulut. "Hmm, selalu sempurna!" puji Hanan sembari mengacungkan jempolnya.

Nabila tersenyum kecil. Hanya dengan hal sesederhana ini, nyatanya dirinya sudah merasa sangat dihargai. Tak perlu pujian yang setinggi langit. Hanya berpura-pura menyukai masakannya saja sudah lebih dari cukup.

Hanan kembali mencomot tahu di atas piring dan mengunyahnya dengan ekspresi nikmat. "Mana piringnya?" tanya Hanan. Ia ingin terlihat tidak sabar untuk menikmati masakan Nabila.

Nabila kemudian berjalan ke rak, mengambil piring untuk Hanan.

Sebelum pindah ke kota ini, Arka dan Nabila memang sempat tinggal di rumah orang tua Arka meski tidak lama. Pada saat itulah, Hanan terbiasa dengan masakan Nabila. Menurut Hanan masakan kakak iparnya itu selalu enak.

"Kamu udah mau makan, Han?" tanya Arka begitu keluar dari kamar. Laki-laki itu sudah mandi dan berganti pakaian dengan kaos berwarna hitam serta celana pendek selutut. Lagi-lagi dengan brand cukup terkenal dengan harga yang lumayan mahal. Sangat kontras dengan Nabila.

"Iya, Mas, ayo makan bareng!" ajak Hanan sembari menerima piring yang diberikan Nabila.

Namun, di luar dugaan Hanan, Arka justru menyingkirkan piring itu. "Ayo, makan di luar! Udah jauh-jauh ke sini, masa makan sama kangkung. Dikit-dikit ngantuk nanti kamu!"

Nabila dan Hanan tercengang dengan apa yang dilakukan Arka.

"Tapi, Mas ...." Hanan berusaha menolak Arka, tetapi laki-laki itu langsung memotong ucapan Hanan.

"Udah, ayo! Keburu kelaparan nanti kamu!"

Hanan kemudian menoleh ke arah Nabila dan berkata, "Buruan, Na, ganti baju!"

Belum juga Nabila bergerak, Arka sudah mencegahnya. "Enggak usah!Kalau dia ikut, siapa yang makan kangkung ini?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status