“Pembantu kurang ajar! Nggak tahu diri!” Hesti masih meluapkan segala amarahnya dengan memaki-maki Niko habis-habisan.Echa yang tak ingin Mamanya dan Niko terus bertengkar, lantas dia pun berkata kepada suaminya, “Bukannya kamu mau keluar, ya?”“Echa, bicaranya nggak usah dilembut-lembutin!” cerocos Hesti.Dengan menahan amarah, Niko bangun dan berkata, “Aku keluar dulu.”“Nggak usah balik sekalian!” Hesti masih menatap Niko dengan mata melotot. Tanpa memedulikan tatapan sinis Mama mertuanya, Niko bergegas keluar. Sepuluh menit berjalan kaki menjauh dari rumah tersebut, sebuah mobil tiba-tiba berhenti di sampingnya. Tanpa menunggu, dia pun segera memasuki mobil itu.“Jalankan mobilnya!” Karena suasana hatinya memburuk karena Mama mertuanya, Niko memukul-mukul jok mobil dengan penuh emosi. Danang yang duduk di sampingnya pun bertanya, “Ada apa, Niko?”Niko menghela napas panjang, “Tidak penting,” ucapnya kemudian menoleh ke samping. “Sudah kamu temukan orang itu?”“Sudah. Mereka a
Mata Echa membelalak. Niko melebarkan senyumnya, lalu mulai melepas pakaian yang dikenakan.Keringat dingin membanjiri kening Echa. Dia berulangkali menelan salivanya dengan terus menatap Niko yang terus naik ranjang dan berjalan beringsut ke arahnya.“Malam ini kamu yang lebih aktif,” ucap Niko tiba-tiba, seketika Echa membelalakkan matanya menatap wajah suaminya yang hanya berjarak beberapa centi saja dari wajahnya.“Kemarilah,” ucap Niko sambil berbaring di samping istrinya.Seolah terbius, Echa menurut dan berpindah posisi duduk di atas tubuh Niko. Malam itu juga pun dia menuruti kemauan suaminya.Besok harinya, menjelang jam 6, Niko dan Echa masih di tempat tidur. Niko memeluk erat tubuh istrinya dengan mata terpejam.“Lepaskan pelukanmu. Aku mau mandi, hari ini hari pertamku kerja,” ucap Echa. Ini sudah ketiga kalinya dia meminta kepada Niko.“Masih jam 6, Sayang,” jawab Niko sesantai-santainya, tanpa menggerakkan tangan sedikitpun.Echa mendengus kesal mendengar jawaban Niko. D
“Apa, Ma?” tanya Echa, merasa tatapan aneh Mamanya memiliki makna yang buruk.“Cari pria sampah itu. Suruh dia jadi babu tanpa bayaran di rumah teman Mama. Mama yakin teman Mama gak akan menolak,” jawab Hesti.Echa menggelengkan kepala tak percaya mendengar ide Hesti yang sangat keterlaluan. “Jangan aneh-aneh, Ma,” protes Echa dengan suara pelan.“Apanya yang aneh? Justru ini kesempatan emas untuk menyingkirkan si curut selamanya dari rumah ini,” kata Hesti.Echa kecewa mendengar Sang Mama tidak menunjukkan rasa belas kasihan sedikitpun pada Niko yang notabenenya adalah menantunya sendiri.“Aku mau ke kantor.” Echa memilih tidak menanggapi.Echa berbalik pergi ke kamar pribadinya, karena tahu semakin dirinya banyak menanggapi, kata-kata sampah yang lebih menyakitkan pasti keluar dari mulut Mamanya.Saat memasuki kamarnya, tatapan Echa langsung tertuju pada sebuah sandal heels satu-satunya yang diletakkan di sudut kamarnya.“Mungkin aku bisa menggadaikannya,” gumam Echa sambil melang
“Niko, mana minumannya?! Si lelet ini, bisa kerja gak, sih? ” Lengkingan suara sang Nyonya seketika memenuhi rumah, membuat pria 20 tahunan itu berjalan cepat menuju ruang tamu sambil membawa nampan dengan tiga gelas di atasnya.Selalu seperti ini, Hesti akan memarahinya tanpa ampun jika tidak sesuai keinginan wanita itu. Padahal, Niko awalnya melamar menjadi sopir di rumah ini untuk membiayai kuliahnya sendiri di kampus yang kebetulan sama dengan Echa–anak Nyonya Hesti. Tapi, perlahan jobdesknya justru terus bertambah akibat sang Nyonya. “Maaf, barusan aku masih meracik minuman, Nyonya,” ucap Niko sembari memindahkan gelas ke atas meja untuk nyonya rumah dan kedua temannya yang baru saja pulang dari acara arisan Ibu-ibu sosialita itu. “Ck! Mau kupecat kamu?”“Udahlah, Hes. Kamu hebat loh bisa menemukan pembantu multitalenta kayak dia!” Salah satu teman sosialita Hesti berbicara. “Penurut kayak seekor anjing,” sambung yang lain dengan nada sarkas. “padahal dia ganteng sih. Tubuh
Pikiran Niko seketika kosong. Dengan gagap dia menjawab, “Ka-kakek-ku? A-abraham?”“Benar.” Danish mengangguk. “Kakek Pak Niko adalah pengusaha dan tokoh bisnis yang sangat disegani di seluruh dunia. Beliau adalah pendiri Bakhi Group, yang memiliki nilai pasar terbesar di dunia. Semua aset yang dimiliki Pak Abraham, termasuk yang ada di Indonesia sekarang adalah milik Pak Niko. Anda bisa mengambil alih posisi Kakek anda kapan pun anda mau.”Niko tersentak. Dia membayangkan warisan yang akan dia terima. Namun, dia tersadar dan menggelengkan kepala.“Tidak, aku tidak mau!” Niko menjawab tanpa keraguan.“Kenapa?” tanya Danish.“Waktu orang tuaku meninggal, dia tidak merawatku. Dia malah membuangku. Dan sekarang kamu memberitahuku kalau dia kakekku? Lucu! Lucu sekali!” Danish sudah menyangka Niko akan menolak tawaran itu.“Pak Abraham tidak membuang anda. Beliau dulu sengaja mengirim anda ke salah satu asrama putra di kota ini agar anda selamat dari marabahaya,” jelas Danish.Kening Nik
“Mulai detik ini kamu aku pecat!” teriak Echa begitu lantang. Karena masalah yang menimpa keluarganya, untuk pertama kalinya Echa tidak bisa berpikir jernih. Niko jelas merasa heran melihat Echa tidak seperti biasanya, “Maaf, Nona. Apakah Nona tersinggung dengan perkataanku barusan? Sungguh, aku tulus ingin membantu Nona.” “Diam kamu, Niko! Kamu mau menertawakan keterpurukan keluargaku, ‘kan?!” Echa benar-benar tidak terkendali. “Di mana hatimu? Tiga tahun kamu hidup dari belas kasih keluargaku. Dan ini balasanmu? Oh aku tahu … kamu sengaja cari gara-gara biar aku memecatmu? Kamu pikir aku sudah nggak mampu lagi membayar gajimu? Gitu, ‘kan?!” Niko menggelengkan kepala. Rupanya wanita itu telah salah paham. “Tidak, Nona. Aku–” sayangnya saat Niko ingin menjelaskan, wanita itu kembali berteriak penuh amarah. “Turun, kamu! Aku nggak sudi melihatmu lagi!” “Nona–” Niko benar-benar tidak diberi kesempatan untuk bersuara. Terlebih lagi Echa semakin tak terkendali dalam berucap, “Kamu
“Aku akan menikah dengan pembantuku, Niko Pram.”Usai menyetujui penawaran itu, Echa langsung melangkah pergi tanpa pamitan. Hatinya benar-benar hancur, merasa hidupnya sudah berakhir. Dia terpaksa mengorbankan masa depannya demi menyelamatkan nyawa Papanya.Sarah dan Tessa tersenyum penuh kemenangan. “Dengan begini, keluarga mereka tidak akan pernah bangkit meski Om Fikram pulih.”Tampak sekali, keduanya tidak sabar ingin menyaksikan penderitaan Echa dan keluarganya di hari-hari berikutnya.Sementara itu, di tempat lain, Niko sedang berdiri di dekat tembok dan menatap nyalang pada teman-temannya yang menertawakan dirinya. Fenomena ini sudah tak asing baginya. Selama 4 tahun kuliah, cibiran dan hinaan sudah biasa dia dapatkan.“Dasar anak yatim! Aku masih heran, kenapa kamu bisa sampai lulus dari kampus elit ini, padahal kamu cuma pembantu rumah tangga.” Aldi menatap Niko dengan pandangan mengejek.“Mungkin dia ada pekerjaan sampingan jadi gigolo,” sahut Dito yang disambut tawa keras
“Dasar bego! Kamu tuh harusnya bersyukur. Tinggal cium sepatunya Aldi, masa depanmu bakalan lebih baik.” Seorang wanita tiba-tiba menimpali, “4 juta loh, jauh lebih besar dibandingkan ngebabu di keluarganya kak Echa.” Niko menatap nyalang pada teman-temannya, “Masa depan tidak ada yang tahu. Jangan suka menghina orang lain, mungkin saja orang yang kalian hina masa depannya jauh lebih baik dari kalian!” Ucapan Niko malah disambut tawa keras dengan tatapan menghina dari teman-temannya. “Memotivasi diri sendiri itu penting, tapi sadar diri itu jauh lebih penting,” ucap Aldi penuh ejekan. “Atau kemiskinan telah membuatmu jadi punya gejala gangguan jiwa?” Mereka kembali tertawa. Sayangnya, mereka salah besar mengira Niko kali ini diam saja. Mood-nya sudah buruk akibat pertengkarannya dengan Echa tadi. Belum lagi, wanita tadi membawa-bawa keluarga wanita itu. “Apa kalian tidak bosan melakukan hal ini kepadaku?” “Bosan? Tidak ada kata bosan untuk membully makhluk sampah sepertimu.”