Part 3. Makan seadanya
***
Azan subuh berkumandang, semua orang berbondong-bondong ke masjid untuk berjamaah. Sugi, setelah menunaikan salat subuh di rumah, ia pun mengambil uang secukupnya lalu pergi ke warung untuk berbelanja.Bersama adik iparnya Niswa yang juga kebetulan baru keluar dari rumah mereka berangkat. Tidak terlalu jauh. Sebelum sampai di warung, keduanya saling berpandangan kala mendengar suara seseorang yang sudah heboh pagi buta ini.
"Bukannya itu suara Munik ya, Nis?" tanya Sugi dengan kening mengerut.
Nissa mengangguk. "Iya, Mbak. Ngapain ya dia belanja sampe di sini? Padahal di sana, kan juga ada yang jual sayur? Mana kelihatannya heboh banget lagi."
"Tahu tuh." Pasalnya, seseorang yang bernama Munik itu berbeda lokasi tinggal dengan mereka. Ibaratnya Sugi dan Niswa di gang satu, maka Munik berada di gang sembilan. Sangat jauh.
"Pasti ada apa-apa nih, Mbak. Kalau nggak, ngapain itu orang lemes belanja sampe di sini pagi-pagi." Yang dikatakan Niswa masuk akal. Pasalnya di setiap gang itu ada penjual sayurnya, tetapi kenapa Munik yang tinggalnya di gang sembilan bisa belanja di gang satu?
"Hmm ... kalau bukan untuk gibah, ya biasanya karena hutang di warung sana udah numpuk."
Nissa memandang Kakak iparnya tanpa kedip. Sesaat kemudian Sugi menyadari sesuatu. "Astagfirulloh. Pagi-pagi sudah suudzon," ucapnya sembari mengelus dada.
Niswa terkekeh. "Ya udah deh, Mbak. Kita langsung belanja aja. Keburu siang nanti."
Sugi mengangguk. "He'em." Keduanya kembali melanjutkan langkah. Baru saja mereka menginjak pelataran rumah pedagang sayur itu, suara Munik menyambut keduanya.
"Eh, ada Mbak Sugi dan Mbak Niswa. Kebetulan," ucap Munik keras dan heboh.
Sontak saja hal itu membuat langkah Sugi dan Niswa kembali terhenti. Keduanya mendongak lalu meneliti seisi warung di mana pandangan semua orang tertuju pada mereka.
Kakak dan adik ipar itu saling berpandangan, menampakkan raut kebingungan. Namun, perempuan tambun bernama Munik itu mendekat.
"Lah ... kenapa malah diam di sini? Ya ayo kalau mau belanja." Memberikan sedikit senyum, Niswa dan Sugi mendekati jajaran sayuran yang akan mereka beli hari ini.
Munik yang tiba-tiba mendekat membuat Sugi dan Niswa saling melirik satu sama lain.
"Oh, iya Mbak Sugi. Itu saudaranya Hadi sejak kapan datang ke sini? Terus, sampai kapan mau menginap di sini?" tanya Munik tiba-tiba.
Sugi menoleh. "Saudara?" tanyanya dengan kening terlipat. Pasalnya dia tidak mengerti apa yang dimaksud Munik dengan saudara Hadi yang menginap.
Munik mengangguk. "Iya. Saudara Hadi yang cantik dan bahenol itu," lanjut Munik. Tangan perempuan tambun itu masih memilah sayur.
"Eh tapi, ya. Saya saranin deh, Mbak Sugi. Kalau di sini jangan seperti itu pakaiannya. Kasihan anak-anak kalau melihat yang kayak begituan."
Sugi menatap Niswa yang malah mendapat gelengan dari adik iparnya itu. Pertanda bahwa Niswa pun juga tidak tahu.
"Eh, Mbak Sugi. Ditanya kok malah bengong. Itu saudara Hadi memangnya mau ngapain ke sini? Kok tumben?"
Sugi tersenyum. "Aduh. Kalau itu saya nggak tahu ya, Mbak Munik. Kalau Mbak Munik pengen tahu, ya tanya saja sama orangnya langsung," jawab Sugi mencari aman.
"Loh. Kok bisa sih Mbak Sugi nggak tahu? Dia, kan saudara ipar Embak." Dari nada suara Munik sudah berubah. Mungkin merasa jengkel karena tidak mendapat jawaban pasti.
"Lah. Mau gimana lagi Mbak Munik? Orang saya memang tidak tahu. Kalau saya nggak tahu dan bilang tahu, Mbak pasti nanyanya nggak bakal berhenti di situ saja? Terus saya mau jawab apa? Asal begitu? Sama saja saya memberi informasi yang tidak benar dong. Nanti jatuhnya fitnah loh," jelas Sugi panjang lebar. Ia melampiaskan kekesalan pada biang gosip ini dengan petuah.
Meskipun ia tahu kalau itu tidak akan berhasil, yang penting Munik tidak lagi bertanya padanya. Benar saja. Perempuan itu terdiam seketika. Meski Sugi melihat betul kekesalan dengan gerakan tangan yang sedikit kasar saat memilih sayuran, ia tidak peduli.
Setelahnya, semua berbelanja sesuai urutan. Sugi dan Niswa pulang bersama. "Mbak. Maksudnya si Munik itu apa, sih? Saudaranya Hadi?"
"Mbak juga nggak tahu," jawab Sugi. Sesaat kemudian ia teringat sesuatu. "Tapi, kalau didengar dari ciri-ciri yang disebutkan si Munik. Perempuan yang dimaksud seperti orang yang kemarin kami temui di jalan."
"Maksudnya?"
"Kemarin Mbak ngajak Matun beli bakso, di sana kita nggak sengaja lihat suaminya Matun boncengan sama perempuan. Pakaiannya memang minim. Cantik, sih. Cantik bedak."
"Lah terus itu siapa, Mbak?"
"Udah dibilang Embak nggak tahu, kok. Setelah melihat itu Matun ngajak pulang. Setelahnya nggak tahu lagi soalnya Embak belum tanya."
"Kita tanya aja kali ya, Mbak sama Katun?" usul Niswa.
"Jangan. Jangan campuri urusan mereka. Kalau Matun bicara sendiri, baru kita dengarkan. Biar bagaimanapun, meski Marun saudara kita, itu urusan pribadi mereka antara suami istri. Kita nggak berhak ikut campur." Niswa mengangguk menyetujui ucapan kakak iparnya. Memang begitu adanya.
"Mbak masuk duluan, ya."
"Iya, Mbak."
***
Matun sedang memakaikan pakaian pada Rio putra bungsunya. Hari ini pekerjaan cukup mudah ditangani. Rio yang tidur nyenyak membuat ia leluasa menyelesaikan semuanya.
Tepat setelah ia membersihkan diri, Rio terbangun yang membuat dirinya segera memandikan sang anak.
Memutuskan melepas penat, Matun mengajak Rio untuk jalan-jalan di sekitar rumah.
Matun mendatangi rumah Yuti karena terlihat di sana ada beberapa ibu-ibu yang sedang berkumpul. Pasti sedang bergosip. "Lebih baik aku ikut kumpul bersama mereka."
Matun menggendong Rio, ia memutuskan ikut berkumpul karena tahu jika kumpulan ibu-ibu itu pasti menggosipkan ibu lainnya yang tidak ikut berkumpul. Tidak ingin menjadi buah bibir, Matun pun lebih baik bergabung.
"Eh, Matun. Sini, Tun," ucap si pemilik rumah—Yuti. Di sana juga ada Ibu Kasiati, Ibu Juwani, dan Ibu Ponera.
Matun bergabung dengan menggelar gendongan sewek agar ia bisa meletakkan Rio di bawah.
"Eh, Tun. Katanya ada saudara Hadi yang menginap di rumah kamu? Bener?" Ibu Ponera bertanya pelan pada Matun.
Matun melipat keningnya bingung. "Kata siapa, Bu?"
"Kat Munik tadi di warung belanja. Katanya kemarin dia ketemu suami kamu sama perempuan bahenol. Pas ditanya katanya dia saudaranya dari Lamongan."
Mendengar penjelasan itu entah kenapa hati Matun menjadi gelisah. Pasalnya, kemarin ia juga melihat sang suami bersama perempuan lain yang katanya adik dari temannya. Apa yang dimaksud adalah orang yang sama?
Tapi, kenapa mengaku sebagai saudara?
Di saat yang sama, terlihat Munik mengendarai motor dari arah selatan. "Itu Munik," ucap Juwani. Tangannya terangkat untuk memanggil Munik. "Munik. Sini!"
Munik yang asyik berkendara menoleh ke asal suara. Senyumnya mengembang ketika melihat kumpulan ibu-ibu itu. Apalagi saat tatapannya menangkap keberadaan Matun di mana ia masih kepo dengan perempuan yang kemarin ia lihat bersama suami Matun.
Menstandarkan motor, Munik sedikit mengangkat dasternya dan berjalan cepat ke arah kumpulan itu. "Mbak Matun," panggilnya.
Langkah tergesa terlihat jelas, ketika sampai di samping Matun, ia langsung terduduk dengan napas tersengal. "Buru-buru amat, Nik."
Munik nyengir. "Eh, iya lupa. Saya mau tanya Mbak Matun. Itu saudara suamimu cakep bener. Sejak kapan dia di sini?"
"Saudara siapa, sih Mbak Munik?" tanya Matun bingung.
“Ya saudaranya suami Embak lah. Siapa lagi?” ucap Munik. Sedangkan Matun masih merasa bingung.
Sesaat kemudian Munik menyadari sesuatu. "Ah, iya. Sebentar." Perempuan tambun itu kali ini tidak lupa membawa ponselnya, segera meraih benda pipih itu dari saku dasternya.
Membuka aplikasi folder foto dan membukanya, mencari gambar yang kemarin sempat ia ambil. "Ini nih, Mbak. Katanya ini saudaranya Bang Hadi."
Matun menatap ponsel yang disodorkan Munik. Matanya membulat seketika saat ia melihat sosok perempuan di sana.
Dugaannya benar. Perempuan di dalam gambar adalah perempuan yang sama dengan yang ia lihat kemarin saat di bonceng suaminya.
Tapi, kenapa Munik mengatakan perempuan ini adalah saudara suaminya? Matun menatap perempuan di sampingnya.
"Mbak Munik kata siapa dia saudara suami saya?"
Wajah Munik terlihat terkejut. "Loh. Bang Hadi sendiri yang bilang kalau itu saudaranya. Jadi benar atau bukan ini sebenarnya?"
Matun tersenyum. "Iya. Saudara suami saya. Dia di sini mencari kerja. Trus sekarang ngekos di dekat jalan raya depan." Ya. Itulah jawaban Matun.
Ia menghindari pertanyaan lain yang akan didapat jika ia menjawab bahwa perempuan dalam gambar bukan saudara suaminya. Ia juga tidak ingin membuat nama suaminya terlihat jelek di mata orang lain sebelum ia mendapat jawaban langsung.
Setelah tujuh hari kematian ibunya, Hadi mendapat petuah dari para kakaknya mengenai Matun dan juga hubungan mereka. Lalu di sinilah ia berada, di depan rumah Matun yang masih tertutup.Setelah kemarin ia menempuh perjalanan dari Tuban kembali ke tempat ini, Hadi memutuskan mendatangi kediaman Matun esok harinya. Mengedarkan pandangan, keningnya sempat mengerut kala tidak mendapati siapa pun di sini."Biasanya, kan Matun main sama Rio di halaman. Ini pada ke mana?" Ia mendekati kaca, mengintip dai kaca buram itu untuk melihat ke dalam rumah. Tampak sepi.Tangan Hadi terangkat untuk mengetuk pintu. "Matun," panggilnya. Beberapa kali ia memukul pelan pintu kayu di hadapannya. Akan tetapi tidak ada sahutan dari Matun sama sekali."Tun," panggilnya lagi. Tetap tidak ada jawaban."Ngapain ke sini lagi?" Suara bernada sinis itu membuat Hadi menoleh. Ia melihat Fiddun dan Mbah Makijan berdiri di halaman rumah. Kalau dilihat dari penampilan mereka sepertin
Hadi segera berlari ke arah ibunya yang terlihat damai dalam mata terpejam. "Mak," panggilnya lirih.Mata mulai berkaca, bahu mulai bergetar dan suara isakan kecil mulai terdengar. "Mak," panggilnya lagi.Ia menggapai tangan ibunya dari genggaman Matun, bahkan Hadi sedikit mendorong tubuh Matun agar menyingkir dari tubuh ibunya. "Mak. Bangun, Mak." Ia mengguncang tubuh yang sudah mulai terasa dingin itu."Mak. Bangun, Mak. Jangan tidur, Mak." Air mata mulai berjatuhan dari pipinya.Hadi menoleh, memandang Matun yang berdiri di belakang tubuhnya dengan mata sembab meski tidak ada tangis yang terdengar. "Kau apakan Makku, Tun?"Matun yang sebelumnya memandang tubuh tidak berdaya mertuanya menoleh, memandang Hadi dengan sorot mata penuh kebingungan. "Apa maksudmu, Bang?""Kau yang sedari tadi bersamanya. Lalu kau apakan Makku sampai ia tidak mau bangun?" tanyanya dengan keras.Matun memandang Hadi sengit di balik mata berkaca. Ia menarik
Tanpa menunggu lagi, Hadi segera menyiapkan diri untuk berangkat ke Tuban. Tidak peduli saat kondisi langit sudah menggelap dikarenakan sang Surya sudah waktunya beristirahat. Yang jelas Hadi ingin pulang dan menemui ibunya.Gelisah meliputi diri Hadi sepanjang perjalanan. Ia mencoba fokus untuk tetap dalam keadaan aman. Hingga hampir jam sembilan malam ia telah sampai di kediaman ibunya.Seperti biasa, beberapa anak dari kakak-kakaknya berkumpul di pelataran rumah tua yang didominasi kayu jati itu. Setelah memarkirkan motornya ia langsung berlari memasuki rumah."Mak," panggilnya. Ia melihat beberapa kakak dan kakak iparnya yang duduk di ruang tamu. Pandangannya mengedar, ketika tidak mendapati sosok ibunya Hadi berlari lebih ke dalam rumah, tepatnya menuju kamar sang ibu."Mak," panggilnya. Ia melihat seorang kakak perempuan Hadi yang duduk di tepi ranjang. Tanganya tidak diam, melainkan sedang memijat kaki yang memiliki kulit keriput itu."Sudah
Hadi segera menyalakan mesin motor dan mengikuti seseorang yang baru saja dilihatnya. Kecepatan yang dipacu di atas rata-rata membuat seragamnya bertebaran karena angin.Motor melambat, berbelok pada suatu gang membuat ia melakukan hal yang serupa. Hingga sampai di mana motor yang ia ikuti sampai di sebuah bangunan yang cukup besar, lagi-lagi membuat Hadi terkejut.Memarkirkan motor di bawah pohon nangka, Hadi berjalan pelan ke arah rumah itu. Keadaan gerbang yang tidak dikunci membuat ia bisa memasuki teras rumah bernuansa abu-abu di hadapannya.Motor yang sebelumnya ia ikuti sudah berdiri berbaris dengan sebuah mobil. Hadi kembali melanjutkan langkah untuk mengetahui siapa pemilik rumah ini sehingga Reta masuk ke sini."Apa ini rumah orang tuanya?" tanya Hadi pada diri sendiri. Ia berpikir di samping tiang rumah, menyangga dengan satu tangan. Sedangkan tangan yang lain membelai dagu dengan kerutan yang menghiasi kening."Lalu, laki-laki tadi?" Bo
Hadi mengacak rambutnya kasar, merasa frustrasi dengan apa yang dihadapi saat ini. "Kenapa semuanya bisa kacau begini, sih?" Ia menarik napas dalam lalu membuangnya melalui mulut dengan kasar.Bangkit dari duduk, ia berjalan mondar-mandir ke sisi kanan ruangan lalu berbalik lagi ke sisi kiri ruangan. "Gimana bisa ketahuan? Sekarang Matun udah minta pisah. Ah. Mana belum dapat apa-apa dari dia."Menunduk dengan menumpukan kening pada dinding, lalu memukul dengan tangan. Saat ini ia berada di suatu kosan kecil sederhana yang asal-asalan ia dapat. Yang terpenting ada tempat berteduh dari panas dan hujan. Untuk sementara. Ya. Untuk sementara.Karena. "Aku harus meyakinkan Matun lagi untuk mau kembali denganku. Bagaimanapun aku nggak bisa hidup seperti ini."Pandangan Hadi jatuh pada bungkusan di atas kasur lipat, sebuah nasi bungkus dengan satu gelas air minum kemasan lima ratusan. Ia menarik napas panjang. Jika biasanya Hadi sarapan dengan masakan Matun yang
Setelah Pendi berangkat dan menitipkan Rio ke tempat kakaknya, Matun memasuki kamar. Ia mulai mengeluarkan semua pakaian Hadi yang ada di lemari, lalu memasukkannya ke dua plastik merah besar seperti saat dia akan menarik kreditan. Kali ini putusannya benar-benar bulat untuk berpisah dari Hadi.Matun meneliti lemari, berharap tidak ada baju Hadi yang tertinggal. Semua barang yang bersangkutan dengan Hadi harus segera disingkirkan. Ia tidak ingin lagi berurusan dengan pria itu."Semuanya harus dibuang, dibalikkan pada orangnya. Sudah lelah aku menjadi perempuan bodoh," ucap Matun yang memasukkan sisa-sisa pakaian Hadi ke dalam plastik.Setelah selesai Matun membawa plastik merah besar berisi pakaian Hadi menuju ruang tamu, ia akan mengeluarkan semua pakaian itu di depan rumah, menunggu suaminya datang lalu mengutarakan niat yang sudah diambil.Baru saja perempuan itu membuka pintu rumah, ia sudah dikejutkan dengan kehadiran Hadi di balik pintu yang memasan