"Sekarang lebih baik kamu tidur," ucap Hana kemudian. Green diam tetapi dia menurut dan langsung merebahkan dirinya di sofa besar itu. Green tidur dengan hati yang terbebani. Mulai dari rasa tidak nyamannya karena Hana sangat menyukai anak lelaki itu, ditambah lagi Hana tiba-tiba mengharuskannya untuk melanjutkan sekolah.
Di tengah malam, Hana terbangun mendengar gumaman-gumaman tak jelas. Dia melirik ke arah Green yang sepertinya sedang mengigau.
"Green?" panggilnya, tetapi tidak ada sahutan. Green terus saja bergumam tak jelas. Hana segera turun dari ranjang dan menghampiri Green. Dia curiga jangan-jangan Green sedang kambuh.
Wajah Green tampak memerah. Hana langsung meletakkan telapak tangannya di kening Green dan mendapati Green kembali demam, walaupun tidak sedemam tadi siang. Hana pun keluar dari kamar dan kembali dengan membawa termos. Lalu dia memeriksa obat Green, dan mengambil obat penurun panas yang ada di san
"Pa, apa maksud Papa memakai pengawal yang sama untuk menjaga Green?" Hana langsung bertanya begitu sampai di ruang makan."Memangnya kenapa jika papa tetap memakainya?" Anton bertanya dengan nada ringan."Aku tidak melarang papa untuk mempekerjakannya. Tapi tidak untuk mengawasi Green." Hana benar-benar keberatan."Hana, bukankah kamu pernah mengatakan kalau tiap manusia berhak mendapat kesempatan yang kedua? Papa hanya memberikannya kesempatan.""Tapi kan...""Memang teorimu itu lebih mudah untuk dikatakan daripada dipraktekkan," sela Anton.Hana terdiam. "Jika dia berbuat kesalahan lagi, Papa harus pecat dia." Setelah berucap seperti itu, Hana berbalik dan menemui Green."Hana," ujar Green dengan raut sedih. Dia tidak ingin pengawal itu yang menjaganya. Hana menarik Green ke ruang lain."Green, aku masih tidak paha
Reyhans menghela nafas pelan. Saat ini dia sendirian berada di balkon kamarnya. Dia menyesap teh hijau miliknya lalu membuka ponsel. Di sana ada potret lama seorang wanita muda yang cantik memiliki bola mata indah berwarna hazel. "Seville," gumam Reyhans sambil memandangi foto itu. Seville adalah cinta pertama Reyhans semasa sekolah dulu. Sayangnya ketika dewasa, Reyhans dipaksa menikah dengan perempuan yang berstatus sederajat dengan keluarganya. Walaupun Seville sangat mencintai Reyhans tetapi ia tidak mau menjadi wanita kedua yang merusak rumah tangga orang. Pada akhirnya, Seville menikah dengan pria lain. Tetapi Seville dan lelaki itu meninggal muda karena kecelakaan. Seville meninggalkan seorang putri bernama Alicia. Alicia begitu mirip dengan Seville. Apalagi mata indahnya yang berwarna hazel. Itu benar-benar mirip. Benar-benar hasil duplikat Seville. Reyhans yang masih begitu mencintai Seville, memutuskan untuk membawa Alicia dari panti asuhan, merawatn
Green sedang menikmati kue stroberi yang baru saja disajikan oleh pelayan Silvi. Kue itu masih hangat dan benar-benar lezat, apalagi potongan-potongan buah stroberinya terasa segar ketika Green mengunyahnya.Green melirik pada pengawal itu yang hanya duduk diam menatap ke arah yang lain. Walaupun Green tidak menyukai pengawal itu, tetapi ia tetap menawarkannya untuk menyicipi kue stroberi yang dibuatkan khusus untuknya. Dan seperti kemarin, pengawal itu menolak tetapi kali ini dengan nada yang lebih sopan.Green memakan dan memakannya lagi. Dia suka kue stroberi ini. Puding buah kemarin juga disukainya. Sepertinya semua makanan dia sukai asalkan rasanya enak. Pengawal itu diam-diam meliriknya dan menghela napas perlahan. Sebenarnya dia adalah pekerja yang bisa diandalkan oleh Anton. Kejadian kemarin juga sebenarnya dia melakukan tugasnya dengan cukup baik sesuai keinginan Tuan Anton, tetapi di mata Nona Hana, dia malah disebut pengawal tak b
"Hmm, sepertinya besok memang tidak bisa, Green. Aku akan membuat janji temu dengan dokter itu segera. Mungkin kalau dua hari lagi sudah bisa," ucap Hana. Andai saja tidak ada presentase, dia pasti akan permisi untuk tidak sekolah besok. Dia sudah berjanji pada ayah dan ibunya agar lebih mendahulukan prestasi sekolah dan Marcell di atas Green. Itu sebabnya ia tidak bisa melewatkan presentase besok. Selain masalah nilai, Marcell tentu kecewa jika besok dia tidak hadir. "Baiklah. Tidak apa-apa," jawab Green tersenyum. Mereka pun pulang ke rumah. Pelayan Ema langsung menghampiri Hana. "Nona, tadi ada barang yang datang. Kami menaruhnya di kamar Nona." "Oh, ya sudah. Terima kasih, Ema." Hana menoleh pada Green. "Kamu mandi dulu di kamarmu, setelah mandi, datang ke kamarku. Barang yang datang itu milikmu, Green." "Baiklah, aku mandi dulu." Hana dan Green pun berpisah. Sementara Pak Bian mengekori
"Apa?" Hana tampak kaget."Aku memberikannya untukmu." Green kembali mengulangi kata-katanya dengan tenang."Ini..ini kan peninggalan dari mama kamu. Kalung ini sangat berharga untukmu. Kenapa kamu malah mau memberikannya padaku?" Hana masih tidak menyangka Green dengan entengnya ingin memberikan benda yang sangat mahal ini untuknya, ditambah itu adalah peninggalan dari ibunya sendiri. Apa tidak salah?Green diam. Ingatannya samar-samar tentang kalung itu. Kalau tidak salah saat dia masih kecil seseorang menaruh kalung itu di lehernya dan memintanya untuk menyimpan baik-baik kalung itu karena kalung itu adalah peninggalan satu-satunya dari mendiang ibunya.Jika mengingat itu, Green hanya bisa menghela napas pelan. Dia sungguh tidak paham. Ibunya masih hidup tetapi 'orang itu' mengatakan bahwa kalung itu adalah peninggalan dari 'mendiang ibunya', seolah ibunya sudah mati. Green tidak mengetahui fakta
Malam ini Green tidur di kamar yang berbeda. Jika harus menjawab secara jujur, walaupun kamar ini bagus, dan ranjangnya lebih nyaman daripada sofa besar di kamar Hana, tetapi Green lebih suka tidur di kamar Hana. Dia ingin selalu bersama Hana. Jika Hana ada di sampingnya, dia selalu merasa lebih baik.Hana sekarang sedang apa ya? Apa dia sedang belajar? Green tersenyum kecil saat mengingat ekspresi gembira Hana karena kalung yang ia berikan. Sudah bertahun-tahun dia menyimpan kalung itu tetapi dia sama sekali tidak merasa sayang memberikan itu pada Hana. Ia justru senang memberikannya. Hana berkata, ia akan menjaga kalung itu baik-baik.Beberapa waktu kemudian, Green menoleh ke arah pengawal yang sedang berbaring di ranjang single bed, di seberang ranjang miliknya. Pengawal itu belum tidur. Dia sibuk dengan ponsel miliknya. Green memutuskan memejamkan mata dan perlahan tertidur lelap. Melihat Green benar-benar sudah terlelap, pengawal itu la
Green semakin menunduk mendengar ucapan Hana. Bagi Green, soal yang diberikan Hana padanya benar-benar sulit. Jadi yang bisa ia lakukan adalah menjawabnya dengan asal. Siapa sangka dia hanya benar lima dari lima puluh soal? Hana menatap Green dan memutuskan untuk mengetesnya dengan pertanyaan-pertanyaan yang lebih mudah dan sederhana saja tentang materi yang ia berikan. Green memiliki penyakit syaraf, hal ini membuat Hana mencoba untuk mengerti. Tetapi sepanjang ia bertanya, Green hanya terpelongok. Dia benar-benar tidak paham, seolah-olah baru masuk ke dunia baru yang tidak ia kenal. Saat Hana mencoba menjelaskan ulasannya, Green hanya membisu. Wajahnya seolah mengatakan, 'kamu sedang bicara apa?'. Hana kembali tidak habis pikir. Apa Green memang bodoh? Ia memutuskan kembali bertanya, kali ini pertanyaannya simpel, di luar materi, dan sangat mudah. "Green, jika nilai tertinggi adalah 100, kira-kira kamu yang cuma
"Sudah berapa menit?" tanya Hana pada Pengawal itu ketika ia berjongkok menghadap Green. Di bawah kepala Green sudah ada sebuah bantal kecil. Pengawal itu yang langsung menaruhnya begitu mendapati Green kejang-kejang. "Baru saja, Nona." Hana mengatupkan mulutnya saat matanya memandangi Green sedang menggelepar di hadapannya. Tidak ada yang bisa mereka lakukan selama Green mengalami kejang beberapa menit ini. Kejang yang dialami Green berangsur berkurang dan berhenti. Seperti biasa Hana langsung memosisikan tubuh Green ke samping, dan perlahan Green kembali sadar. Hana mengusap lembut mulut Green dengan tisu. "Apa kamu sudah bisa bangun?" tanya Hana setelah beberapa waktu. Green hanya menganggukkan kepalanya pelan. Dia merasa linglung. Selalu seperti itu jika mengalami kejang. Hana berpikir, apa epilepsi memengaruhi kecerdasan seseorang? Hana belum tahu jawabannya, tetapi setidaknya saat berbi