Setahun berselang setelah batalnya pernikahan Leah. Meski berat di awal karena Leah harus menutup telinganya dari omongan tetangga. Ada yang mengatakan kalau calon suami Leah kabur, ada juga yang mengatakan jika calon suami Leah menghamili perempuan lain. Bahkan ada yang mengatakan kalau Leah selingkuh sehingga ditinggalkan oleh calon suaminya.
Namun Leah hanya menanggapinya dengan senyuman. Berbeda dengan ibu yang selalu mengamuk setiap ada yang membicarakan putri semata wayangnya.
“Nak, kapan kau akan menikah?” Ibu berbicara dengan serius saat sarapan pagi ini.
“Ibu, aku belum memikirkannya.” Leah menanggapi dengan mulut dipenuhi oleh nasi goreng.
“Ayah dan ibu keburu tua, lho.” Ayah seolah membantu ibu menasehati anaknya supaya lekas mencari jodoh. Karena mereka mau Leah move on dari mantan dan segala kenangannya.
“Hah! Ayah dan ibu tua? Dari mana letak tuanya? Kalian berjalan denganku saja orang lain mengira berjalan dengan saudara.” Leah bersungut, entah dia yang terlihat tua atau orangtuanya yang awet muda. Ayah dan ibunya memang baru berusia 40an tahun, termasuk kategori muda karena sudah memiliki anak yang tamat kuliah dan bahkan sudah bekerja.
Itu semua terjadi karena setelah tamat sekolah mereka langsung menikah. Ayahnya menceritakan bahwa ibunya adalah primadona sekolah dulu dan banyak yang menyukai sehingga ayah nekat melamar ibu dan beruntungnya kakek menerima lamaran itu. Setelah itu baru mereka melanjutkan pendidikan, Leah dikandung saat ibu masih kuliah. Dengan status istri sah tentu saja. Ayah pernah bercerita jika dulu ibu sangat bangga memamerkan perut buncitnya.
“Ibu, kalau aku menikah, kalian akan kesepian,” kelit Leah berbicara setelah meneguk habis susu cokelat yang masih hangat.
“Kami justru senang karena bisa terus berduaan,” jawab ayah menimpali ucapan anaknya.
“Ayah!” Leah mendelik sambil setengah berteriak.
“Lagian kenapa kalian tidak punya anak selain aku, sih?” Entah sudah berapa kali Leah bertanya pertanyaan itu. Alasan mengapa dia menjadi anak satu-satunya di rumah. Padahal Leah mengira jika ramai akan semakin menyenangkan. Tapi Leah tidak pernah tahu alasannya, ayah ataupun ibu selaku menjawab dengan jawaban yang tidak pernah memuaskan hati Leah.
“Karena kami hanya punya satu.” Ayah tersenyum penuh arti, lalu beranjak dari kursinya dan bersiap untuk berangkat kerja. Ayah Leah adalah seorang manager di salah satu cabang warehouse e-commerce terbesar di Indonesia. Sedangkan ibu adalah pemilik katering yang cukup terkenal di kotanya. Katering yang diberi nama “Leah’s Catering’ itu sudah wara-wiri di berbagai pesta dari pesta kecil hingga besar. Karyawan ibu juga sudah banyak, bahkan sudah ada admin sendiri yang bertugas untuk mengkoordinasi setiap jadwal. Peralatan yang dulunya sewa kini ibu sudah memilikinya sendiri, dengan jumlah yang lumayan banyak.
Semua bermula karena kepandaian ibu dalam memasak. Apalagi rendang dan dendeng baladonya, mana cukup kalau hanya makan sedikit.
“Nah kan!” Leah lagi-lagi protes dengan jawaban ayahnya.
“Hei, cuci tangan dulu,” perintah ibu saat melihat anak gadisnya mengambil keripik kentang setelah memegang ponsel.
“Vitamin, Bu.” Leah terkekeh sendiri.
“Anak gadis tidak boleh jorok! Pamali!” Ibu geleng-geleng kepala melihat Leah, dia mengikuti anaknya dari belakang untuk mengantar suami dan anaknya pergi bekerja.
“Ayah berangkat, ya. Kalau sudah selesai langsung istirahat, jangan kerja terus.” Ayah menasehati istrinya yang memiliki sifat tidak mau diam. Ayah kemudian mencium kedua pipi dan kening istrinya dengan sayang.
“Kalian ini romantis-romantisan di depan jomblo.” Leah mengerucutkan bibirnya.
“Makanya nikah.” Ayah tertawa menggoda anaknya.
“Ayah!” Leah berteriak sambil berkacak pinggang.
“Sudah, sana berangkat.” Ibu mendorong tubuh suaminya supaya berhenti menggoda Leah.
Leah memeluk ibunya sebelum masuk ke mobil. “Aku berangkat ya, Bu. Sayang ibu.”
Ibu tersenyum lalu menutup pagar sesaat setelah mobil itu pergi.
***
“Nero, kau harus menikah jika kau ingin mendapatkan perusahaan!” Pria paruh baya itu setengah berteriak.
“Tapi ....” Nero tampak gugup, sekarang dia mencengkram lututnya sendiri.
Pria yang berteriak tadi adalah Surya Aditama, ayah kandung Nero Aditama. Sang ayah pernah mengatakan jika Nero akan memimpin perusahaan jika dia sukses dengan proyek yang diberikan. Tetapi sepertinya Nero tidak mengindahkan syarat terakhir yang mengatakan bahwa dia harus menikah sebelum serah terima jabatan.
“Syarat tetaplah syarat, Nero. Lagipula ini juga untuk kebaikannmu.” Ayah Nero berkata lagi, kali ini dia sedikit melembutkan suaranya.
“Ayah akan memberimu waktu dua bulan, jika tidak maka perusahaan tidak akan menjadi milikmu.” Meskipun terdengar lembut tapi Nero tahu jika itu adalah sebuah ancaman dan beban untuknya.
“Aku akan menikah bahkan sebelum dua bulan.” Nero menyetujui syarat yang diberikan sang ayah, dia menundukkan kepala dan hendak pergi meninggalkan ruangan itu dengan wajah tanpa ekspresi.
“Nero.” Surya memanggil saat anaknya sudah memegang pegangan pintu.
“Sesekali datanglah ke rumah untuk makan malam,” pinta Surya.
Tidak ada jawaban dari Nero, dia tetap keluar dan menutup pintu tanpa mengeluarkan suara. Nero Aditama adalah sulung keluarga Aditama, dia memiliki seorang adik laki-laki dari pernikahan kedua ayahnya. Ibu kandung Nero meninggal saat dia masih kecil. Sejak saat itu hubungannya dengan sang ayah menjadi tidak akur. Dan setelah beranjak dewasa Nero memilih untuk keluar dari rumah karena tidak tahan dengan perlakuan dari ibu tiri.
Setelah berdebat cukup panjang dan hanya kekalahan yang Nero dapat, pria itu lebih memilih pulang ke rumah. Meninggalkan pekerjaan yang sebenarnya masih menumpuk.
Di dalam mobil menuju rumah, Nero berpikir di mana dia bisa mendapatkan istri dalam waktu dua bulan. Sedangkan dia saja tidak pernah dekat dengan wanita mana pun. Hal itu karena Nero mengidap syndrom OCD dan membuatnya seperti anti pada wanita. OCD yang diidap Nero terjadi karena masa lalunya yang kelam.
OCD atau Obsessive Complusive Disorder merupakan gangguan mental yang menyebabkan penderitanya harus melakukan hal yang sama berulang-ulang. Jika tidak maka penderitanya akan diliputi rasa cemas dan ketakutan. Dan Nero adalah salah satu penderita itu, rumahnya harus dibersihkan lebih dari tiga kali sehari meski tidak ada aktivitas di dalamnya. Benda-benda juga harus selalu berada di tempatnya, Nero tidak segan memarahi pegawai di kantor atau pelayan di rumah jika tidak patuh pada aturan tersebut.
“Syarat itu pasti dari wanita itu.” Nero seperti bisa menebak bagaimana wanita yang menjadi ibu tirinya menghasut sang ayah agar perusahaan tidak jatuh ke tangannya.
Setelah sampai di rumah, Nero disambut oleh satu-satunya sahabat Nero yang mengerti dengan apa yang terjadi padanya. Pria itu bernama Alton.
“Sejak kapan rumahku menjadi tempat penampungan?” Nero mengabaikan Alton yang tersenyum manis seperti seorang istri yang menyambut suaminya pulang kerja.
“Ada apa dengan wajahmu?” Alton bertanya dengan nada heran.
“Aku harus menikah sebelum dua bulan.” Nero berkata tiba-tiba, dia duduk di sofa berwarna gelap setelah menyemprotnya dengan cairan anti kuman.
Alton hanya bisa menggelengkan kepala melihat apa yang Nero lakukan. Kini pria itu duduk di samping Nero.
“Menikah? Dua bulan?” tanya Alton.
“Kalau kau tidak bisa membantu, tidak usah banyak bertanya.” Nero membuang napas kasar.
“Aku banyak stok wanita kalau kau mau.” Alton mengeluarkan ponselnya, bermaksud untuk memilihkan salah satu wanita yang dia kenal.
“Wanita yang bekas kau pakai? Kau mau aku bunuh?” Mata Nero memicing pada sahabatnya yang dijuluki buaya. Berbeda dengan Nero, jika Nero tidak pernah melibatkan wanita dalam hidupnya maka Alton adalah kebalikannya.
“Ah, itu .... Gadis yang waktu itu kau antar pulang. Kau masih ingat?” tanya Alton. Gadis itu adalah gadis pertama yang bisa naik mobil milik Nero.
“Gadis Bougenville No.12.” Nero berpikir sejenak, entah kenapa dia masih ingat dengan kejadian waktu itu.
“Baiklah, aku akan ke sana.” Sudah lebih dari setahun, apa yang terjadi pada gadis itu Nero tidak tahu, tetapi Nero akan mencobanya. Semoga tidak mengecewakan karena Nero juga menganggap gadis itu cukup menarik.
"Ken.""Ya, Tuan?""Isi ruang kerja dengan buku baru." Nero menatap sekretarisnya."Buku? Buku seperti apa yang anda inginkan, Tuan?" tanya Ken."Isi dengan novel yang pernah kau bawa waktu itu.""Novel? Apa anda yakin?" tanya Ken bingung."Hmm." "Baik, Tuan. Saya akan segera menyiapkannya." Ken berlalu meninggalkan Nero dengan raut wajah penuh tanya.***Vero berjalan melintasi beberapa ruangan, dia menuju ruang private yang sudah disiapkan seseorang yang menghubunginya.Tepat di depan ruangan yang dimaksud, dua orang berbadan besar berdiri."Saya Veronika," ucap wanita itu.Salah satu dari pria itu membukakan pintu. Vero melihat seseorang tengah duduk membelakanginya."Duduklah," ucap pria itu dengan nada serius.Seketika Vero duduk di depan pria itu, dilihatnya pria itu ternyata masih muda. Pria yang terlihat gagah dengan setelan jasnya."Sebelumnya perkenalkan, nama saya Kevin. Ah, tidak perlu dikenalkan, ya. Kau sudah tahu siapa aku," ucap pria itu sambil menyeruput teh hijaunya
Nero terbangun, kaget saat mendapati kaki Leah menjadi bantalan tidurnya. Dilihatnya Leah yang masih tertidur meski dalam posisi duduk."Apa aku sudah gila sehingga aku tertidur dipangkuan seorang gadis," batin Nero."Kamu sudah bangun?" Leah meregangkan seluruh ototnya, lehernya sedekit sakit karena posisi tidur yang tidak benar."Apa yang terjadi? Kenapa aku bisa tidur di pangkuanmu?" tanya Nero penasaran, raut wajahnya terlihat malu."Kamu tidak ingat? Semalam kamu bermimpi buruk, aku sudah mencoba membangunkanmu namun tidak bisa. Setelah itu kamu tertidur di sini." Leah menepuk kakinya yang dijadikan bantalan oleh Nero.Nero menggeleng, dia tidak ingat apapun."Aku mau mandi," ucap Leah. Namun kaki Leah mati rasa, dia terjatuh saat akan berdiri."Kaki ku kram," ucap Leah.Nero mengampiri Leah, menggendongnya lalu merebahkan tubuh gadis itu di kasur."Hari ini kau tidak usah bekerja. Besok saja.""Kenapa?" tany
Sesuai janji Leon, dia menemani Leah berkeliling rumah. Rumah yang ternyata memiliki satu rumah lagi di bagian belakang, khusus untuk para pelayan. Tampak pelayan yang tanpa sengaja berpapasan dengan mereka terlihat menundukkan kepala hormat. Leah merasa canggung meski dia tahu jika dia adalah nyonya rumah ini. Setelah selesai Leah dan Leon duduk di kursi yang berada dekat kolam setelah berkeliling rumah, hari ini bintang-bintang tidak diselimuti awan membuat pemandangan langit dari sana sungguh sangat indah."Kak, bolehkah aku bertanya?" tanya Leon membuka perbicaraan."Boleh." Leah kini menatap Leon."Apakah kakak mencintai kakakku? Aku tahu kakak terpaksa kan menikah dengan Kak Nero? Aku tidak tahu apa alasan di balik kakak menyetujui pernikahan ini. Tapi, aku tahu kakak orang baik. Kakak tidak akan menyakitinya kan?" ucap Leon."Kenapa kamu bertanya seperti itu? Tentu saja aku tidak akan meninggalkannya, aku akan jadi istri yang baik seperti ibu
Leon menatap kakaknya dengan mata memicing, banyak sekali pertanyaan yang harus dia tanyakan. Dia melihat kakaknya yang sedang duduk di kursi malah sedang santai makan aneka buah-buahan."Katakan, Kak!" Leon bersuara dengan nada yang lumayan tinggi.Nero menatap adiknya sekilas, lalu kembali fokus pada buah kiwi yang segar dan dingin."Kakak." Kali ini suara Leon merengek."Kau ini kenapa?" Nero tampak acuh menjawab adiknya."Kenapa kakak ipar memakai baju yang kakak ambil di rak?""Kenapa? Apa ada yang salah dengan itu?""Tidak, tidak ada," ucap Leon. Kakaknya adalah suami Leah, tentu saja bisa melakukan apapun. Pantas saja Leon dilarang masuk ke kamar, ternyata benar jika kakak iparnya tidak memakai baju. Seketika wajah Leon memerah lalu dia menatap kakaknya lagi yang wajahnya masih terlihat tenang."Bagaimana rasanya, Kak?" tanya Leon yang kini duduk mensejajari kakaknya."Apa?" Yang ditanya malah balik bertanya
Setelah menunggu beberapa saat akhirnya Nero keluar dari dalam kamar. Sebelum keluar, sekali lagi dia menoleh ke belakang, memastikan Leah tidak mengikutinya.Nero menatap Ken seolah memberi isyarat jika keadaan sudah aman dan mereka bisa meletakkan barang-barang itu ke dalam kamar.“Satukan saja dengan pakaianku,” perintah Nero yang ditanggapi dengan tatapan bingung Ken. Namun, pria bertubuh tinggi itu menganggukkan kepalanya, menuruti apapun yang tuannya inginkan.Hanya seorang karyawan laki-laki yang berstatus sebagai menager di galeri tersebut dan Ken beserta kepala pelayan yang masuk untuk menyusun semua barang-barang yang akan menjadi milik nyonya rumah. Leon yang mencoba untuk ikut masuk ditahan oleh Nero di depan pintu.“Mau apa kau masuk?” Nero menatap sinis adiknya.“Aku mau bertemu kakak ipar,” kata Leon, pria itu melirik ke arah kamar yang pintunya terbuka.“Aku akan memanggilnya na
"Kakak ipar?" Nero duduk di sofa, memandang adiknya dengan tatapan menyelidik."Iya, dia kan istrinya kakak tentu saja harus aku panggil kakak ipar. Bukankah begitu?" Leon ikut duduk di sofa mensejajari kakaknya."Aku sudah cuci tangan." Leon seolah mengerti arti tatapan kakaknya."Di mana kakak ipar?" tanya Leon."Di kamar." Nero menjawab singkat."Kenapa di kamar?" Kini tatapan Leon yang menyelidik, dia tersenyum seolah mengerti apa yang telah terjadi dan apa yang membuat kakak iparnya berada di dalam kamar."Jadi bagaimana?" Leon mendekati kakaknya, meminta review atas malam pertama semalam."Apa?" Nero manatap sinis."Itu," jawab Leon."Itu apa? Bicara yang benar." Nero berkata ketus."Malam pertamanya lah, Kak." Leon menyerah, dia baru sadar jika kakaknya adalah manusia paling kaku di dunia."Ya, begitulah." Nero tidak perlu menjelaskan apa yang terjadi, karena memang tidak ada yang terjadi diantara me