Satu minggu semenjak kepergiannya, aku seperti orang gila yang kadang ketakutan berada sendirian di rumah orang lain. Kadang juga aku merasa risih dan malu sendiri. Hal bisa kulakukan adalah menjaga dan membersihkan rumah ini.Aktivitasku sama sekali tidak ada yang terganggu. Gaffi masih bersekolah di sekolahnya yang dulu. Ingin rasanya aku pergi dari sini, menjauhi peluang untuk bertemu dengan Mas Akbar. Namun, semua itu masih kuurungkan dan menunggu hasil putusan sidang. Setelah itu mungkin aku akan pergi jauh.Tanpa kusadari aku mulai terbiasa dengan kehadiran Ryan. Walaupun, kebiasaan itu hanyalah berkirim pesan yang isinya sekedar mengingatkan untuk mengunci pintu. Kadang juga dia mengingatkan aku untuk menjemput Gaffi. Hal kecil seperti itu yang sama sekali tidak pernah kudapatkan dari suamiku semenjak satu tahun terakhir ini.7 tahun pernikahan kami, aku yang semula selalu mengandalkan dia, lama-lama menjadi
Semenjak pertemuanku dengannya kemarin, aku merasa semua doaku terkabulkan. Dari mulai waktu itu, di saat dia menghilang dariku, di saat aku mendapatkan undangan pernikahannya melalui pesan singkat itu. Hatiku hancur, sangat hancur. Saat itu, aku tidak bisa memilih dia.Kuakui, sebagai lelaki aku memang snagat berambisi terhadap pendidikan terkhusus dibidang ilmu kedokteran. Gelar itu tersemat untukku yang kudapatkan nyaris tanpa suatu halangan. Hanya saja … aku, membawa perselisihan di dalamnya. Ayah, yang tidak menyetujui aku menjadi dokter dan lebih ingin aku melanjutkan bisnis keluarga ini.Lucunya lagi karena Nala, karena keadaannya yang terpuruk, bisa merupah pikiranku begitu saja. Aku yang semula gengsi untuk menyapa ayah lagi. Kini, malah duduk di ruangan ini sebagai COO (Chief Operating Officer). Aku berada di bawah jabatan ayah sebagai CEO sekarang ini.Nantinya kalau aku sudah dianggap layak oleh anggot
Jantungku berdebar kencang saat Ryan dengan sengaja menindih tubuhku. Entah hantu macam apa yang membuatnya berani melakukan ini. Aku tidak menduga saja bila dia akan berani melakukannya. "Kamu mau apa?" tanyaku padanya dengan tatapan wajah pucat pasi dan ketakutan. "Hahahaha, mau apa? Aku ya mau istirahatlah. Setelah aku pikir, selama aku pergi kemarin, sepertinya aku udah pantas jadi ayah," katanya yang membuatku semakin gugup. "Aku kangen banget sama kamu sama Gaffi, kalian baik-baik saja 'kan?" tanyanya sambil tersenyum dengan sudut matanya yang menyipit. Sungguh saat ini aku menjadi semakin gugup. Tubuhku terasa kaku dan lidahku terasa kelu. Bukankah apa yang dilakukannya ini merupakan satu tindak pelecehan? Oh, tapi tidak. Mengapa otak dan tubuhku tidak sejalan?Otakku mengatakan ini adalah kesalahan, tetapi tubuhku menerima ini sebagai bentuk kesenangan. Bagaimana ini, aku harus apa? Oh tidak Nala, jangan tunjukan kalau kamu juga merindukan sentuhan pria. Ini bukan hanya se
Pertemuan yang Tidak Terduga“Ini sarapannya, silahkan di makan,” kataku sambil duduk di sebelah putraku.“Hari ini hanya masak nasi goreng?” tanya Ryan kepadaku dengan penampilannya yang terlihat sudah rapi. Rambutnya ia sisir kebelakang menampilkan kening paripurna yang ia miliki dengan aroma parfum yang memenuhi seluruh ruangan ini.“Iya, bahan dan juga bumbu habis. Nanti setelah mengantar Gaffi ke sekolah, baru aku akan ke pasar untuk berbelanja. Yan, aku mau tanya sesuatu apa boleh?” tanyaku kepadanya dengan perasaan malu lantaran aku ini sudah terlalu banyak merepotkan dia.“Iya, mau tanya apa?” sahutnya sambil melahap masakanku yang aku tahu dia sama sekali tidak pernah ada protes setiap menyantapnya. Lain dengan Mas Akbar yang akan melayangkan sedikit protes dan terkadang ejekan.“Nanti ‘kan aku ke pasar. Aku iseng-iseng pasang menu makanan di media sosialku yang baru, aku ingin menjual makanan online apa boleh aku memakai dapurmu?”“Nala, pakai saja. Kenapa harus izin, toh ju
Selama dalam perjalanan, tante Ratna masih saja mengomel. Dia semakin kesal setelah aku menceritakan siapa tante Anggi. Di saat seperti ini aku justru merasa bersalah karena membawanya ke pasar dan membuatnya dalam keadaan yang tidak baik.“Oh, darah tinggiku kambuh,” gumamnya dengan tangannya yang bergerak memijit keningnya.“Maaf ya Tante, gara-gara ikut aku ke pasar malah tante jadi kayak gini,” kataku yang tak enak hati.“Enggak apa-apa Nala, tante merasa di saat seperti ini memang harus melindungi kamu. Kenapa kamu tidak mau melawan tadi atau meneriakinya pelakor begitu?” tanya Tante Ratna masih dengan emosinya.“Aku masih memikirkan semuanya Tante, kalau aku sendirian mungkin aku akna melakukannya. Tapi tadi kita berdua, kalau harus ada campur tangan polisi, nanti nama Tante malah terbawa. Aku tidak mau Tante, sudah cukup aku sudah banyak merepotkan anak Tante, masa
“Enggak, bukan maksud aku buat bohong Yan, hanya saja Mamamu memintaku untuk seperti itu. aku juga enggak tahu kenapa dia minta aku rahasiakan ini. Memangnya ada apa diantara kalian?” tanyaku kepada Ryan.Ryan tidak menjawabku, dia hanya beranjak dari duduknya dan kemudian menyambut tante Ratna dan juga Gaffi. Aku tidak bisa memastikan ekspresi apa yang wajahnya tampilkan itu. hanya saja, dia terlihat tidak begitu menyukainya. Tatapan yang membuat tante Ratna yang beru masuk ke dalam rumah terlihat sedikit gugup.“Mama,” panggil Ryan dengan pelan namun cukup membuat tante Ratna sedikit terlonjak sebab Ryan berada di balik pintu dengan kedua tangannya yang terlipat ke dada.“Astaga!” sentak tante Ratna yang terlonjak kaget sambil menggendong Gaffi. “Ryan? Bukannya kamu kerja harusnya Sayang?” tanya tante Ratna yang terlihat begitu gugup.Ryan menyambut tangan tante Ratna lalu menciumnya. Ia dia bertakzim dan kemudian memeluk mamanya. Terlihat begitu lembut dan hangat membuatku iri seba
Selesai dengan masakanku, aku kemudian mengajaknya makan. Namun tidak semuanya yang aku ambilkan ia habiskan. Aku paham, mungkin dia sudah kehilangan selera makan karena keadaan tubuhnya.Tetapi Gaffi, dia mencontohkan bagaimana caranya makan dengan lahap. Bujang kecilku itu begitu perhatian kepada Ryan dan aku akui itu saling berbalasan. Tidak seperti saat bersama ayahnya yang semenjak mengenal tante Anggi jadi tidak memperhatikan bagaimana putranya lagi dan hatiku sakit sekali setiap mengingatnya.Apa kurangnya Gaffi? Apa ini hanye karena warna kulit atau ukuran tubuh putraku? Iya, suamiku memang selalu menuntut kesempurnaan. Mulutnya memang sering mengomentari tubuh gembil putraku. Hanya saja dahulu aku sama sekali tidak peka. Aku mengira semuanya baik-baik saja. Tapi nyatanya aku salah.“Yan, minum obatnya ya?” kataku yang memberikannya obat magh untuk menurunkan kadar asam lambungnya yang mulai meninggi.Dia mengangguk lalu berusaha untuk meminumnya meski sewaktu kulihat dia kesu
“Terus siapa Nala?”“Bukan aku atau Ayah ibu Yan, tapi Mas Akbar yang bersikukuh ingin mengundangmu.”Aku sudah tidak bisa lagi menyembunyikan apa yang sebenarnya terjadi. Hal ini sudah cukup lama menggangguku. Waktu itu, Mas Akbar yang mengundangnya dengan niatan ingin mengejeknya dengan balutan silaturahim. Aku cukup bersyukur karena waktu itu Ryan tidak datang.“Untuk apa dia mengundangku? Tunggu, kalau begitu dia itu tahu kalau kita ini adalah mantan pacar?” cetusnya yang membuatku sedikit merasakan kegugupan.“Iya, dia tahu. Menurutmu apa sebabnya dia datang kemarin lalu sampai marah dan menghajarmu?” tanyaku kepadanya yang membuatnya sedikit termangu dalam diamnya.“Aku bilang juga apa? Manfaatkan aku saja Nala, kita ini sudah terlanjur salah,” kata Ryan yang aku bisa merasakan bahwa dia ingin menantang dan emngejek balik mas Akbar.Aku menolaknya, tidak seharusnya kita melakukan kesalahan hanya karena suatu tuduhan yang tak berdasar yang sama sekali tidak pernah kita lakukan. B