"Cepatlah! Kenapa kau lambat sekali, Andra?" Suara wanita menggelegar di mansion megah, "Aku tak habis pikir, bagaimana Sofi bisa memilihmu? Apa kau menggunakan sihir?"
Andra yang tengah sibuk di dapur memasak keinginan ibu mertuanya, menghela napas.
Diabaikannya omelan Rose dan fokus pada masakannya.
Sofi, yang biasanya mual dengan aroma udang, pasti akan merasa tidak enak jika tahu harus memasak ini.
Itulah sebabnya Andra turun tangan.
"Kenapa diam saja, menantu tak berguna!" bentak Rose lagi karena Andra tak juga menjawab. Pria tampan itu menahan napas.Saat masakan matang, ia menyajikannya dengan tenang di hadapan ibu mertuanya.
Sera, kakak Sofi, tampak masuk dengan hidung berkerut senang. "Wah, harum sekali! Ibu kok bisa marah-marah sih?" tanyanya sambil mengambil nasi lalu duduk di samping Rose. "Ibu jangan terlalu memikirkan satu menantu. Biarkan Sofi sadar sendiri," ujar Sera. Andra menatap tajam Sera, "Selama ini, Sofi sadar akan pilihannya. Dia tidak akan pernah menyesal." Sera terbahak. "Lucunya! Sofi pikir dia memilih suami cerdas, tapi lihat saja dirimu sekarang. Pasti dia menyesal." Andra menahan amarahnya. Ya, mereka dulu teman sekelas. Sofi yang keras kepala ngotot menikahinya meski keluarga mereka tidak setuju. Sofi mengatakan bahwa ia sangat menyukai Andra karena Andra sangat cerdas. "Aku memang cerdas, aku berprestasi di sekolah." Sera semakin tertawa meremehkan Andra, "Kalau kau cerdas, setidaknya kau bertahan berkerja di perusahaan kami, tapi lihatlah, kau cuma pengangguran!" cibirnya. "Aku hanya tidak cocok bekerja di perusahaan keluarga kalian. Lucky Lucky bukan tempatku," bantah Andra, lalu bangkit membawa semangkuk sup ayam untuk Sofi. "Cih! Kau hanya lelaki bodoh dan pecundang. Kau sama sekali tidak berguna bagi perusahaan kami!" bentak Rose, menyela ucapan Andra. Mendengar itu, Andra menahan amarah. "Aku hanya tidak cocok bekerja di sana, Bu. Lucky Lucky bukan tempatku," balasnya mengulangi ucapannya tadi dengan tenang tenang, lalu pergi dari sana."Hei, kemana kau? Aku menyuruhmu membuat kopi!" seru Rose.
Andra berhenti sejenak, "Bu, Sofi harus makan ini sebelum dingin. Buat saja kopinya sendiri," katanya tegas, lalu melanjutkan langkahnya. Rose menatap kepergian Andra dengan senyum sinis. "Andai saja Sofi tidak terjerumus pada laki-laki miskin seperti dia," gumamnya. Sera mengamati semuanya dengan cermat. "Ibu, aku punya ide," katanya pelan. "Apa itu?" tanya Rose penasaran, matanya berbinar. "Biarkan Sofi bekerja di perusahaan kita. Dengan begitu, dia akan bertemu banyak orang sukses dan punya wawasan luas. Aku akan perkenalkan dia pada beberapa pengusaha kenalan kita. Mungkin saja dia akan sadar betapa jauh perbedaannya dengan Andra," jelas Sera. "Apa maksudmu? Kau ingin Sofi berselingkuh?" tanya Rose, sedikit ragu. "Bukan begitu, Bu. Tapi jika Sofi tertarik pada pria lain, itu bukan salahnya. Dia butuh lingkungan yang lebih sesuai. Ibu setuju kan?" bujuk Sera. Rose mengerutkan kening. Hatinya menolak ide itu, tapi harga dirinya sebagai seorang ibu dari keluarga kaya terluka. "Baiklah, perkenalkan dia pada pria yang pantas untuknya."Wanita itu akhirnya setuju.
Senyum licik pun mengembang di bibir Sera.Dia langsung memikirkan Riko, konglomerat muda yang selama ini menaruh hati pada Sofi. Ini saatnya menjalankan rencananya. Andra harus disingkirkan!
Di kamar, Andra membawa semangkuk sup ayam hangat, senyum merekah di wajahnya. Sofi baru saja keluar dari kamar mandi, rambutnya masih basah. Melihat hidangan kesukaannya, Sofi langsung tersenyum lebar. "Ini untukku?" tanyanya penuh harap. Andra mengangguk, "Tentu, Sayang. Aku tahu kamu pasti suka." Sofi menerima mangkuk itu dengan senang. Mereka menghabiskan waktu sarapan dengan tenang. Suasana hangat menyelimuti kamar kecil mereka. Tiba-tiba, ponsel Sofi berdering nyaring. Panggilan dari Sera. "Halo." "Sofi, mulai sekarang kau harus membantuku bekerja di kantor. Perusahaan sedang membutuhkan, kau harus membantu perusahaan." "Tapi Sera, bukankah kita sudah sepakat kalau aku hanya bekerja di rumah? Akulah yang merawat ayah sambil bekerja di rumah." "Oh Sofi, pekerjaan merawat ayah itu bisa dilakukan Andra, kau tidak perlu mengurusi lelaki tua itu. Bersiaplah, kita akan berangkat sebentar lagi!" Sofi terdiam, menatap Andra bingung. "Andra, Sera memintaku bekerja di perusahaan hari ini," katanya pelan."Benarkah? Bagaimana dengan ayahmu?" tanya Andra, suaranya meninggi karena terkejut. Selama ini Sofi adalah yang paling dipercaya menjaga ayahnya, tiba-tiba berubah?
"Aku minta maaf, tapi bisakah kau menjaganya untukku?"
Sofi merasa ragu.
Di sisi lain, kekecewaan mendalam memenuhi hati Andra. Banyak hal yang berputar di kepalanya saat ini selain masalah ayah mertuanya.
Salah satunya adalah bagaimana dia akan merelakan Sofi bekerja di tempat seperti itu?
Sebenarnya, ia sudah lama curiga dengan perusahaan keluarga Sofi. Perusahaan Lucky Lucky yang selalu menyombongkan diri sebagai perusahaan yang peduli lingkungan, ternyata menyimpan banyak kegelapan di balik layar. Semua tindakan sosial yang mereka lakukan hanyalah topeng untuk menutupi praktik bisnis yang tidak bertanggung jawab. Andra baru menyadari hal ini setelah bekerja di sana.
Tatapan Andra masih terpaku di wajah istrinya, membuat Sofi bertanya-tanya.
"Apakah kau keberatan kalau aku bekerja? Kalau kau keberatan...."
"Bukan begitu, Sayang. Aku merasa kasihan dengan ayahmu, dia mungkin akan selalu bertanya soal putrinya. Aku kan cuma menantu."
"Jangan kuatir, aku akan menyempatkan diri untuk kembali ke rumah lebih awal. Percayalah."
Andra terpaksa membiarkan Sofi pergi bekerja sementara ia menjaga ayah mertuanya.
Ia pun bergegas ke rumah utama untuk melihat kondisi ayah mertuanya.
"Andra, apa kau tidak bersama Sofi?" tanya Edwin, ayah mertuanya.
"Sofi bekerja, Yah. Apa ayah membutuhkan sesuatu?"
Wajah Edwin langsung murung, ia jelas menunggu putri kesayangannya. "Bagaimana denganmu, apa kau tidak bekerja?"
Andra sedikit tersentak dengan pertanyaan Edwin. Ia sudah berhenti sebulan yang lalu dan menjadi pengangguran sekarang. Sementara itu Sofi malah bekerja.
Sebagai seorang pria, jujur saja ia merasa malu.
"Aku sedang mencari pekerjaan, Yah. Aku berharap minggu depan sudah bisa bekerja," ujar Andra lirih.
Edwin menatap Andra dari kursi rodanya, hatinya terenyuh melihat kegelisahan menantunya.
"Sayangnya, Ayah sudah tidak punya kuasa atas perusahaan. Semua urusan sudah diserahkan pada Sera dan ibumu. Dalam kondisi seperti ini, Ayah tidak bisa banyak membantu," jawab Edwin dengan nada lembut.
Andra mengatupkan bibirnya, merasa tak enak hati pada mertuanya.
"Katanya pria itu kuat, tapi lihatlah Ayah sekarang... hanya bisa duduk di sini," lirih Edwin, suaranya terbata-bata.
Andra tersenyum kecut, percuma saja mertuanya bersimpati, ia samasekali tidak berminat untuk kembali bekerja di perusahaan itu.
Tak berselang lama saat mereka mengobrol, panggilan dari ibunya tampil di layar.
"Andra, bisakah kamu pulang ke rumah hari ini?"
"Untung saja aku lewat sini dan melihat salah satu pengawal ayahmu. Kalau tidak, kalian pasti kewalahan melawan anjing gila hanya dengan cangkul." Isabel sempat kebingungan karena Andra tiba-tiba muncul dengan beberapa orang. "Apa yang kau lakukan di sini? Bukannya kau..." "Itulah sebabnya aku tidak mau menemani ayahmu di klub, itu karena aku tidak mau kamu melakukannya sendirian." Entah mengapa, udara dingin yang tadinya mencekam berubah menjadi hangat dan penuh keberanian. Kehadiran Andra membuatnya penuh semangat untuk melanjutkan misinya. "Di mana lokasinya?" tiba-tiba Andra bertanya. Isabel memandu langkah menuju jalan setapak yang dipenuhi belukar. Cahaya bulan mengiringi langkah mereka. Setelah Isabel menunjukkan tempatnya, beberapa orang diantara mereka mulai menggali tanah. Mereka sangat waspada, akan tetapi Isabel terlihat gelisah dan mengeluarkan air mata. "Andra, aku ingin memindahkan jasad ayahku," lirihnya. "Tidak Isabel, ini bukan waktu yang tepat. Tuj
Untuk beberapa saat Isabel hanya bisa terdiam cemas. Tidak mudah melalui semua ini sendirian, dia sungguh membutuhkan Andra. "Nanti malam, bisakah kau meminta ayahku datang mengunjungimu? Aku ingin kau mengecoh ayah untuk beberapa waktu," kata Isabel pelan. "Apa maksudmu? Memangnya apa yang mau kau lakukan?" "Tentu saja aku akan membongkar makam ayahku dan menemukan chip itu sebelum ayahku mendapatkannya." Andra merenung, lalu menatap Isabel. "Aku tidak bisa, sebaiknya kau meminta Zein saja mengobrol dengan ayahmu. Aku bisa meyakinkan Zein tanpa dia tau apapun." Isabel benar-benar tak menduga jawaban Andra yang menolak membantunya. "Tapi..." "Serahkan saja soal Zein padaku dan aku sebenarnya tidak setuju kalau kau yang membongkar makam ayahmu." "Kenapa tidak? Inilah satu-satunya jalan untuk menemukan kebenaran pembunuhan ayah, aku putrinya, aku yang akan bertanggung jawab sepenuhnya," pungkas Isabel. Andra menatapnya datar, "Benarkah? Ah ya, kau memang seorang pember
Jika dipikirkan kembali, Sofi merasa menyesal membuat hubungan mereka hancur berantakan. Akan tetapi Sofi juga bersyukur Andra bukanlah pendendam. Siapa tau hubungan mereka bisa diperbaiki kembali, Sofi tak keberatan. Pada dasarnya Andra terlihat sangat memperhatikan dirinya, meskipun sudah tahu mereka sudah bercerai dan menjalin hubungan dengan Riko. "Kamu keren," tiba-tiba Sofi memuji Andra membuat Andra tersenyum tipis. "Dulu kau juga memujiku begitu, tapi sepertinya aku pantas dibilang keren." Sofi terdiam sebentar, memikirkan dulu saat dia memuji Andra si bintang kelas yang tampan. Cerdas, cool dan juga tampan wajahnya. "Kau memang pantas." Sofi menatap Andra yang tidak memberikan respon lebih baik. Pria itu malah melemparkan pandangan ke arah lain tanpa bersuara. Lalu Andra segera mengambil makanan yang tadi sudah dipesan untuk melahapnya. Sofi sedikit canggung, Andra terlihat murung. "Kamu terlihat sedih, apa ada masalah?" Sejenak Andra menatapnya, "Ya, ayah
Daren mengerutkan dahinya, berpikir soal jalan pikiran Andra yang selangkah lebih maju dibandingkan dengannya. Dia sedikit menyesal karena bersikap kasar pada putranya. "Aah... seharusnya kau bilang sejak awal..." "Ayah nggak nanya dulu. Lagipula ayah sudah mempercayakan Andromeda untukku, tapi Ayah masih juga menganggap aku anak kecil." "Ekhem... bukan begitu. Setidaknya kau ceritakan saja rencanamu, jadi ayah nggak akan protes." Andra sudah merapikan berkas lalu duduk di sofa dengan wajah berkerut seolah memikirkan sesuatu. "Apa yang kau pikirkan?" tiba-tiba sang ayah menegurnya. Andra menatap sejenak ayahnya, "Ayah, jasad Paman Burhan, bagaimana kita menemukannya? Aku penasaran bagaimana paman Gendon menyembunyikan." "Kita akan lihat nanti, sepertinya dia sudah mulai gelisah karena Isabel mulai ketahuan menyelidiki kematian ayahnya." Andra tertegun, "Bukankah itu terlalu berbahaya?" "Lalu harus bagaimana, dia pasti menduga akulah yang memprovokasi Isabel. Itulah
"Setelah semua kesalahan yang kita lakukan, ternyata Andra masih membantumu juga membantuku. Tidakkah kamu merasa aneh?" katanya dengan mimik wajah serius, "Aku memikirkannya, apakah mungkin dia sebaik itu?" Riko tertegun, Andra memang tidak terkesan mendendam. Andai semua itu terjadi pada dirinya, bisa saja dia membunuh lelaki itu atau bahkan wanitanya. Andra punya kemampuan untuk melakukannya tapi dia sangat baik dan sempurna untuk berlapang dada. "Benar juga, aku hanya merasa dia lelaki lemah yang tidak berani melakukan apapun pada orang lain. Tapi siapa yang tau kalau dia merencanakan sesuatu?" Sofi juga Riko terdiam, mengenang betapa besar jasa Andra terhadap perusahaan mereka. "Aku sadar sekarang, sepertinya kita sudah dalam jeratan yang disiapkan Andra untuk menjadi bagian dari Andromeda...," tiba-
Dulu Andra tak seperti ini. Pria ini lemah lembut dan tidak mudah marah. Sangat aneh karena perubahan karakter terjadi hanya karena dia berkuasa. Perubahan emosi yang menggebu biasa dikarenakan ketidak puasan atas sesuatu tapi apa yang diharapkan Andra saat ini? Dokter Mark juga merasakan perubahan sikap Isabel yang semakin cerewet dan membantah ucapan Andra tanpa merasa bersalah. Seolah membuat Andra marah adalah sebuah cara untuk menunjukkan keterikatan dan menguji seberapa jauh Andra perduli dengannya. Saat ini dokter Mark justru sengaja membuat Andra meledak dengan mencoba memprovokasi Andra menyebutkan betapa perhatiannya Zein pada gadis ini. "Eh eh, kenapa kau bilang itu kolaborasi bodoh?" Andra tak menggubris lalu melenggang pergi meninggalkan dokter Mark bersama Isabel. Isabel terkekeh, merasa mendapatkan pembelaan dari dokter Mark. Saat dokter Mark melihatnya, Isabel hanya mengedikkan bahunya. "Kau bisa dipecat karenanya," dokter Mark memperingatkan. "Memang itul