Mobil hitam itu berhenti perlahan di depan rumah besar bergaya modern yang berdiri megah di pinggir jalan utama kawasan elit. Halaman depan dipenuhi tanaman hias yang terawat, dengan lampu taman mulai menyala di bawah cahaya senja yang memudar.Dion turun lebih dulu dan segera membuka pintu untuk Clara. Ia mengulurkan tangan, membantu wanita itu berdiri dengan hati-hati, memastikan kruk-nya nyaman di genggaman. Tubuh Clara tampak ringkih.“Aku bisa jalan sendiri, Mas,” gumam Clara pelan.“Tahu. Tapi aku tetap pengin bantu,” balas Dion, setengah tersenyum.Langkah mereka pelan menuju teras. Begitu mereka tiba di depan pintu, suara engsel pintu terdengar lembut. Seorang pria paruh baya dengan wajah tenang tapi tegas berdiri di ambang pintu.“Clara,” sapa pria itu. “Kamu lama banget, Nak?”“Maaf, Pa. Ada sedikit … insiden,” jawab Clara sambil menunduk.Mama Clara menyusul dari dalam, mengenakan dress lengan panjang warna pa
Meski diusir secara tidak hormat, Rania tetap berdiri di depan gerbang perusahaan Dion, tempat pria itu terakhir terlihat. Matanya memerah, tapi tidak berkedip sedikit pun. Angin sore meniup ujung rambutnya yang mulai kusut, tapi ia tak peduli. Harga dirinya sudah koyak, lebih koyak daripada perban di tangannya yang kini mulai longgar.Ia menatap kosong ke arah jalan raya, menyaksikan satu per satu kendaraan lewat. Pandangannya kosong, tapi pikirannya penuh gejolak. Ia tahu, orang-orang pasti menganggapnya wanita gila. Wanita gila harta. Wanita yang pernah meninggalkan pria baik demi pria yang terlihat lebih mapan. Demi Yoga.Dan lihat hasilnya sekarang.Yoga bukan hanya menipunya, tapi juga memukulinya hingga tubuhnya nyaris hancur. Luka di wajahnya bisa sembuh, tapi luka di hati dan penyesalannya tak bisa ditutup makeup tipis."Aku bodoh … bodoh banget!" bisiknya, tangan mengepal di sisi tubuh.Ia masih ingat jelas malam ketika ia tak s
Langit sore berwarna jingga kemerahan ketika Rania akhirnya tiba di rumahnya. Tangan kanannya yang masih terbalut perban bergetar saat ia membuka kunci pintu. Begitu pintu terbuka, aroma lembap bercampur debu langsung menyambutnya.Rania berdiri mematung di ambang pintu, menatap ruang tamu yang berantakan. Lapisan debu terlihat jelas di atas meja, sofa kusam, dan lantai yang tampak seperti tak pernah disentuh sapu."Bagus sekali sepertinya hidupku sekarang. Mengenaskan!" gumamnya sinis, lalu melangkah masuk.Rania menjatuhkan tasnya di sofa. Tubuhnya masih terasa lemas setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit akibat serangan brutal Yoga. Luka lebam di lengan dan pipinya masih meninggalkan jejak, tapi yang paling sakit adalah penghinaan yang ia terima hari itu. Ucapan talak Yoga masih terngiang di telinganya."Aku ceraikan kamu, Rania! Aku nggak mau lagi lihat muka kamu!"Rania mengepalkan tangan. Ia tahu, talak itu adalah ak
“Dion, akhirnya kamu pulang juga,” sambut Nathalie sambil tersenyum hangat.Dion membalas senyuman itu dan mencium tangan ibunya. “Iya, Ma. Tadi ada urusan penting di kantor.”“Ya sudah, sekarang kamu duduk dulu. Mama sudah buatkan teh hangat,” ujar Nathalie, menyuruh Dion duduk di sofa besar ruang keluarga.Dion menurut, melepas jasnya dan melonggarkan dasi. Ia memijat pelipisnya sebentar sebelum meminum teh hangat yang disuguhkan. Nathalia duduk di sampingnya, menatap putranya dengan tatapan lembut tetapi penuh perhatian.“Bagaimana hubunganmu dengan Clara, Nak?” tanya Nathalie sambil tersenyum. “Mama mau tahu, apa kamu sudah benar-benar yakin sama Clara? Bukan cuma karena tekanan Mama dan Papa, kan?”Dion menghela napas panjang, mencoba menjawab dengan hati-hati. “Mama, awalnya mungkin iya, karena tekanan. Tapi sekarang, aku mulai terbiasa. Clara orang yang baik. Aku tahu dia tulus.”“Mulai terbiasa, ya?” Nathalia mengang
Setelah mengantar Clara pulang, Dion langsung menuju kantor cabang perusahaannya. Langkahnya tegap menapaki lobi gedung tinggi itu, mengenakan setelan jas hitam yang mencerminkan kewibawaannya sebagai pemilik perusahaan. Sesaat, ia melirik jam tangannya, pukul 16.30. Waktu yang cukup untuk menyelesaikan urusan penting sebelum malam tiba.Sesampainya di lantai 15, tempat ruang rapat utama berada, Dion disambut oleh Juan, kepala cabang yang telah menunggunya. Wajah Juan tampak serius.“Selamat sore, Pak Dion,” sapa Juan sambil membungkuk hormat.“Sore, Juan. Ayo, masuk ke ruang rapat,” balas Dion singkat, tanpa membuang waktu.Mereka berdua masuk ke ruang rapat yang sepi, hanya ditemani layar besar yang menampilkan dokumen dan video di tengah meja. Dion membuka laptopnya dan mempersiapkan beberapa berkas yang telah ia kumpulkan selama berminggu-minggu.“Juan, saya sudah punya cukup bukti soal Yoga,” ujar Dion dengan nada dingin, m
Suara monitor berdetak teratur memenuhi ruangan, diselingi bunyi langkah kaki sibuk para perawat. Cahaya lampu putih yang menyilaukan perlahan membangunkan Rania dari pingsannya. Kelopak matanya terasa berat, tapi ia memaksakan diri membuka mata. Dunia di sekitarnya tampak buram, tapi siluet seorang perawat segera muncul di samping tempat tidurnya.“Bu, sudah sadar?” suara perempuan lembut itu menyapa.Rania mengerjapkan mata, mengumpulkan kesadarannya. “Di mana ini?” tanyanya lirih, suaranya hampir tenggelam.“Bu Rania sekarang ada di UGD. Beberapa warga tadi menemukan Ibu tidak sadarkan diri di rumah, lalu mereka membawa Ibu ke sini. Kondisi Ibu cukup serius, tapi sudah kami tangani,” jawab perawat itu dengan nada tenang.Rania mencoba bergerak, tapi tubuhnya terasa lemas. “Apa yang terjadi sama aku?”Perawat memeriksa infus yang menancap di tangan Rania sebelum menjawab. “Ibu mengalami benturan di kepala dan memar di beberapa
Rania masuk ke rumah dengan berlari cepat. Setelah kejadian di restoran tadi, tubuhnya terasa lunglai, seolah semua energinya terkuras habis. Ia menutup pintu dengan perlahan, lalu bersandar di sana. Air mata yang sejak tadi tidak berhenti akhirnya kembali mengalir. “Kenapa semua ini terjadi sama aku?” gumamnya, suara lirih hampir tenggelam oleh heningnya ruangan. Ia melangkah masuk ke ruang tamu dan duduk di lantai, memeluk lututnya sendiri. Pikirannya kembali melayang pada adegan di restoran tadi—wajah Yoga yang panik, wanita itu yang pergi tergesa-gesa, dan amarahnya yang meluap tanpa bisa ia tahan. Tak lama setelah itu, suara langkah kaki suaminya mengekor masuk. Rania menoleh dengan napas tercekat. Suara langkah kaki berat mendekat semakin jelas terdengar. BRAK! Pintu rumah terbuka kasar. Yoga muncul dengan wajah merah padam. “Rania!” suaranya menggema di seluruh rumah.
Dion menatapnya beberapa saat, seperti sedang mempertimbangkan apakah ia harus menjawab pertanyaan itu atau tidak. Namun, akhirnya, ia memutuskan untuk jujur.“Dia selingkuh,” jawab Dion, suaranya datar tapi penuh dengan luka yang masih terasa. “Aku tahu hubungan kami nggak sempurna, tapi aku nggak pernah berpikir dia akan mengkhianati aku. Apalagi ... dia selingkuh dengan pria yang sekarang jadi suaminya.”Clara terkejut mendengar pengakuan itu. “Dia yang memutuskan untuk pergi?”“Iya,” Dion menghela napas panjang. “Dia bilang dia lebih bahagia sama pria itu. Jadi aku biarkan dia pergi, meskipun ... awalnya sulit buat aku.”Clara bisa merasakan kepedihan dalam nada suara Dion. Ia tahu betapa beratnya pengalaman seperti itu. “Tapi kenapa dia masih datang ke sini, memohon seperti tadi?” tanyanya lembut.“Karena dia tahu sekarang dia salah,” kata Dion dengan nada pahit. “Aku dengar pernikahannya nggak bahagia. Tapi Clara, aku nggak bisa kem
Dion berdiri di ambang pintu ruangannya, wajahnya mengeras. “Satpam!” panggilnya dengan suara tegas yang menggema di koridor. Tak butuh waktu lama, dua orang satpam bergegas masuk ke ruangannya, melihat situasi Rania yang masih menangis tersedu-sedu di lantai.“Bawa dia keluar,” perintah Dion dingin tanpa sedikit pun menoleh ke arah mantan istrinya.“Mas Dion! Jangan begini, aku mohon!” Rania meronta, mencoba meraih kaki Dion, tapi salah satu satpam segera memegang lengannya, menariknya berdiri.“Bu, mohon ikut kami,” ucap salah satu satpam dengan nada tenang namun tegas.Rania menggeleng keras, berusaha melepaskan cengkeraman mereka. “Mas Dion! Kamu nggak boleh ngelakuin ini ke aku! Aku istrimu! Aku masih istrimu sebelum pengadilan memutuskan!” teriaknya histeris.Dion berbalik, menatapnya sekilas dengan ekspresi yang tidak lagi peduli. “Kamu bukan istriku, Rania. Kamu sudah memilih jalanmu sendiri. Sekarang keluar dari hidupku