“Dion, akhirnya kamu pulang juga,” sambut Nathalie sambil tersenyum hangat.
Dion membalas senyuman itu dan mencium tangan ibunya. “Iya, Ma. Tadi ada urusan penting di kantor.”“Ya sudah, sekarang kamu duduk dulu. Mama sudah buatkan teh hangat,” ujar Nathalie, menyuruh Dion duduk di sofa besar ruang keluarga.Dion menurut, melepas jasnya dan melonggarkan dasi. Ia memijat pelipisnya sebentar sebelum meminum teh hangat yang disuguhkan. Nathalia duduk di sampingnya, menatap putranya dengan tatapan lembut tetapi penuh perhatian.“Bagaimana hubunganmu dengan Clara, Nak?” tanya Nathalie sambil tersenyum. “Mama mau tahu, apa kamu sudah benar-benar yakin sama Clara? Bukan cuma karena tekanan Mama dan Papa, kan?”Dion menghela napas panjang, mencoba menjawab dengan hati-hati. “Mama, awalnya mungkin iya, karena tekanan. Tapi sekarang, aku mulai terbiasa. Clara orang yang baik. Aku tahu dia tulus.”“Mulai terbiasa, ya?” Nathalia mengang“Dion, akhirnya kamu pulang juga,” sambut Nathalie sambil tersenyum hangat.Dion membalas senyuman itu dan mencium tangan ibunya. “Iya, Ma. Tadi ada urusan penting di kantor.”“Ya sudah, sekarang kamu duduk dulu. Mama sudah buatkan teh hangat,” ujar Nathalie, menyuruh Dion duduk di sofa besar ruang keluarga.Dion menurut, melepas jasnya dan melonggarkan dasi. Ia memijat pelipisnya sebentar sebelum meminum teh hangat yang disuguhkan. Nathalia duduk di sampingnya, menatap putranya dengan tatapan lembut tetapi penuh perhatian.“Bagaimana hubunganmu dengan Clara, Nak?” tanya Nathalie sambil tersenyum. “Mama mau tahu, apa kamu sudah benar-benar yakin sama Clara? Bukan cuma karena tekanan Mama dan Papa, kan?”Dion menghela napas panjang, mencoba menjawab dengan hati-hati. “Mama, awalnya mungkin iya, karena tekanan. Tapi sekarang, aku mulai terbiasa. Clara orang yang baik. Aku tahu dia tulus.”“Mulai terbiasa, ya?” Nathalia mengang
Setelah mengantar Clara pulang, Dion langsung menuju kantor cabang perusahaannya. Langkahnya tegap menapaki lobi gedung tinggi itu, mengenakan setelan jas hitam yang mencerminkan kewibawaannya sebagai pemilik perusahaan. Sesaat, ia melirik jam tangannya, pukul 16.30. Waktu yang cukup untuk menyelesaikan urusan penting sebelum malam tiba.Sesampainya di lantai 15, tempat ruang rapat utama berada, Dion disambut oleh Juan, kepala cabang yang telah menunggunya. Wajah Juan tampak serius.“Selamat sore, Pak Dion,” sapa Juan sambil membungkuk hormat.“Sore, Juan. Ayo, masuk ke ruang rapat,” balas Dion singkat, tanpa membuang waktu.Mereka berdua masuk ke ruang rapat yang sepi, hanya ditemani layar besar yang menampilkan dokumen dan video di tengah meja. Dion membuka laptopnya dan mempersiapkan beberapa berkas yang telah ia kumpulkan selama berminggu-minggu.“Juan, saya sudah punya cukup bukti soal Yoga,” ujar Dion dengan nada dingin, m
Suara monitor berdetak teratur memenuhi ruangan, diselingi bunyi langkah kaki sibuk para perawat. Cahaya lampu putih yang menyilaukan perlahan membangunkan Rania dari pingsannya. Kelopak matanya terasa berat, tapi ia memaksakan diri membuka mata. Dunia di sekitarnya tampak buram, tapi siluet seorang perawat segera muncul di samping tempat tidurnya.“Bu, sudah sadar?” suara perempuan lembut itu menyapa.Rania mengerjapkan mata, mengumpulkan kesadarannya. “Di mana ini?” tanyanya lirih, suaranya hampir tenggelam.“Bu Rania sekarang ada di UGD. Beberapa warga tadi menemukan Ibu tidak sadarkan diri di rumah, lalu mereka membawa Ibu ke sini. Kondisi Ibu cukup serius, tapi sudah kami tangani,” jawab perawat itu dengan nada tenang.Rania mencoba bergerak, tapi tubuhnya terasa lemas. “Apa yang terjadi sama aku?”Perawat memeriksa infus yang menancap di tangan Rania sebelum menjawab. “Ibu mengalami benturan di kepala dan memar di beberapa
Rania masuk ke rumah dengan berlari cepat. Setelah kejadian di restoran tadi, tubuhnya terasa lunglai, seolah semua energinya terkuras habis. Ia menutup pintu dengan perlahan, lalu bersandar di sana. Air mata yang sejak tadi tidak berhenti akhirnya kembali mengalir. “Kenapa semua ini terjadi sama aku?” gumamnya, suara lirih hampir tenggelam oleh heningnya ruangan. Ia melangkah masuk ke ruang tamu dan duduk di lantai, memeluk lututnya sendiri. Pikirannya kembali melayang pada adegan di restoran tadi—wajah Yoga yang panik, wanita itu yang pergi tergesa-gesa, dan amarahnya yang meluap tanpa bisa ia tahan. Tak lama setelah itu, suara langkah kaki suaminya mengekor masuk. Rania menoleh dengan napas tercekat. Suara langkah kaki berat mendekat semakin jelas terdengar. BRAK! Pintu rumah terbuka kasar. Yoga muncul dengan wajah merah padam. “Rania!” suaranya menggema di seluruh rumah.
Dion menatapnya beberapa saat, seperti sedang mempertimbangkan apakah ia harus menjawab pertanyaan itu atau tidak. Namun, akhirnya, ia memutuskan untuk jujur.“Dia selingkuh,” jawab Dion, suaranya datar tapi penuh dengan luka yang masih terasa. “Aku tahu hubungan kami nggak sempurna, tapi aku nggak pernah berpikir dia akan mengkhianati aku. Apalagi ... dia selingkuh dengan pria yang sekarang jadi suaminya.”Clara terkejut mendengar pengakuan itu. “Dia yang memutuskan untuk pergi?”“Iya,” Dion menghela napas panjang. “Dia bilang dia lebih bahagia sama pria itu. Jadi aku biarkan dia pergi, meskipun ... awalnya sulit buat aku.”Clara bisa merasakan kepedihan dalam nada suara Dion. Ia tahu betapa beratnya pengalaman seperti itu. “Tapi kenapa dia masih datang ke sini, memohon seperti tadi?” tanyanya lembut.“Karena dia tahu sekarang dia salah,” kata Dion dengan nada pahit. “Aku dengar pernikahannya nggak bahagia. Tapi Clara, aku nggak bisa kem
Dion berdiri di ambang pintu ruangannya, wajahnya mengeras. “Satpam!” panggilnya dengan suara tegas yang menggema di koridor. Tak butuh waktu lama, dua orang satpam bergegas masuk ke ruangannya, melihat situasi Rania yang masih menangis tersedu-sedu di lantai.“Bawa dia keluar,” perintah Dion dingin tanpa sedikit pun menoleh ke arah mantan istrinya.“Mas Dion! Jangan begini, aku mohon!” Rania meronta, mencoba meraih kaki Dion, tapi salah satu satpam segera memegang lengannya, menariknya berdiri.“Bu, mohon ikut kami,” ucap salah satu satpam dengan nada tenang namun tegas.Rania menggeleng keras, berusaha melepaskan cengkeraman mereka. “Mas Dion! Kamu nggak boleh ngelakuin ini ke aku! Aku istrimu! Aku masih istrimu sebelum pengadilan memutuskan!” teriaknya histeris.Dion berbalik, menatapnya sekilas dengan ekspresi yang tidak lagi peduli. “Kamu bukan istriku, Rania. Kamu sudah memilih jalanmu sendiri. Sekarang keluar dari hidupku
Sementara itu, di rumah kecil yang ditinggalkan Yoga, Rania duduk di sudut kamar. Matanya bengkak karena terlalu banyak menangis. Foto-foto masa lalunya dengan Dion masih berserakan di atas ranjang, tapi kini ia hanya bisa memandang kosong ke arah dinding."Kenapa semuanya jadi seperti ini?" bisiknya lirih pada dirinya sendiri. Tangannya gemetar saat menyentuh salah satu foto. Dalam gambar itu, ia dan Dion tersenyum bahagia di depan rumah mewah mereka yang dulu.Air mata kembali mengalir, jatuh di atas foto. "Aku bodoh ... bodoh sekali!"Rania memeluk lututnya, mencoba menahan suara tangis yang terus keluar. Ia tahu betul bahwa ia sedang menerima karma dari semua kesalahan yang pernah ia lakukan. Namun, menyadari itu tidak membuat rasa sakitnya berkurang sedikit pun."Mas Dion," ia berbisik, suara lirihnya nyaris tak terdengar. "Aku rindu ... tapi aku tahu aku nggak pantas lagi untuk rindu sama kamu."Waktu terasa berj
Rania masih terduduk di sudut kamar, wajahnya basah oleh air mata. Pandangannya tak lepas dari layar ponsel yang kini menampilkan foto dirinya bersama Dion, mantan suaminya. Ia terlalu tenggelam dalam kenangan dan rasa sesal hingga tak menyadari kehadiran Yoga yang tiba-tiba berdiri di belakangnya.Tanpa peringatan, tangan Yoga menyambar ponsel dari genggaman Rania. "Apa ini?!" bentaknya dengan suara penuh emosi.Rania tersentak, matanya membelalak melihat Yoga yang memegang ponselnya dengan tatapan marah. "Mas! Kembalikan ponselku!" serunya panik, tangannya mencoba merebut ponsel itu kembali.Namun, Yoga dengan kasar melempar ponsel itu ke lantai, membuatnya terjatuh dan layarnya retak. Suara bantingan membuat Rania tertegun. "Mas! Kenapa harus dibanting?! Itu ponselku!"Yoga menunjuk layar ponsel yang kini mati dengan bekas retakan. "Kenapa? Karena kamu masih ngelihatin foto-foto mantanmu itu! Kamu belum m
Keesokan harinya.Pagi itu, suasana di kediaman keluarga Elmer terasa sibuk. Para pelayan mondar-mandir mempersiapkan berbagai hidangan dan dekorasi sederhana tapi elegan. Kabar pertunangan Dion dan Clara akan diumumkan secara resmi di hadapan keluarga, kolega bisnis, dan beberapa tamu penting. Dion, yang masih merasa canggung dengan situasi ini, duduk di ruang kerjanya, mencoba menenangkan diri sebelum acara dimulai.Elmer, sang ayah, masuk ke ruang kerja dengan senyuman penuh arti. "Dion, kamu sudah siap?" tanyanya santai sambil duduk di kursi di seberang meja kerja putranya.Dion menatap ayahnya dengan tatapan datar. "Siap nggak siap, kan, acara tetap jalan, Pa," gumamnya sambil menghela napas.Elmer tertawa kecil. "Kamu ini memang selalu begitu. Tapi, percaya, deh, ini keputusan yang tepat. Clara itu wanita yang baik. Kamu pasti akan bahagia."Dion mengangkat bahu. "Aku nggak bilang Clara nggak baik, Pa. Tapi ini t